Dua Hari Mengintip Bakureh Project

1 Juni 2018, tujuh orang partisipan telah hadir di Gubuak Kopi, turut bersama kita beberapa orang fasilitator maupun relawan yang akan terlibat di Lokakarya Bakureh Project. Para partisipan yang datang dari beragam kota dan latar belakang pendidikan ini, berkenalan bersama fasilitator dan yang lainnya. Siang itu, mereka disambut oleh Albert Rahman Putra selaku ketua Komunitas Gubuak Kopi dan Delva Rahman selaku pimpinan proyek, yang sekaligus membuka kegiatan ini. Setelah pembukaan, semuanya beristirahat, dan dilanjutkan pukul 13.30, dengan sesi kelas bersama Albert.

Albert memberikan materi tentang Sejarah dan Perkembangan Media. Bagaimana pesan atau informasi yang disampaikan oleh si komunikator (pembawa pesan/informasi) menyampaikan pesan kepada si komunikan. Contoh tersebut terus dikembangkan hingga sejarah seni yang dapat dikaitkan bahwa si pembuat seni (komunikator) menyampaikan pesan melalui karya seninya dan ditujukan kepada siapapun yang melihat karyanya (komunikan).

Kelas Literasi Media bersama Albert Rahman Putra. (foto: Arsip Gubuak Kopi, 2018)

Media yang merupakan medium untuk menyampaikan pesan. Pada zaman dulu simbol merupakan “text” yang bisa dipahami oleh kelompoknya; seperti simbol-simbol di zaman purbakala, di Negeri Mesir dan India. Zaman terus berkembang, “text” yang berbentuk simbol berupa gambar tadi berkembang menjadi tulisan yang dituliskan di papyrus. Lalu, ditemukanlah kertas di Negeri China, dan kemudian industri kertas berkembang di Arab.

Kertas menjadi medium menyampaikan pesan yang juga digunakan berbagai negeri, termasuk di Perancis. Di Perancis orang-orang mengabarkan jadwal keberangkatan kapal melalui teks yang ditempelkan pada sebuah dinding atau papan atau seperti mading. Orang-orang berbondong-berkumpul melihat papan informasi itu. Di Perancis, hal ini disebut Djournal. Media terus berkembang menjadi surat kabar yang bisa datang ke rumah-rumah warga, muncul banyak perusahaan media, terus berkembang, radio, televisi, dan kini kita ketahui adanya media berbasis jaringan internet.

Lantas, bagaimana dengan keadaan hari ini? Keberadaan televisi yang merupakan media informasi satu arah, ditambah juga dengan keberadaan internet yang berada digenggaman setiap individu kini. Setiap orang dapat mengakses, mendistrisbusikan, serta memproduksi informasi sendiri. Fenomena ini berkembang masif tanpa adanya halau yang membatasi. Tentunya, kurangnya pemahaman akan literasi media dikawatirkan dapat memperbesar dampak buruk media.

Atmosphere diskusi semakin menarik saat kuliah memasuki materi sejarah seni dan periode-periode kebudayaan. Terlihat pula setiap partisipan mulai menjalankan ritme keberlangsungan kelas. Setelah istirahat siang, kelas sejarah seni rupa pun dilanjutkan. Salah satu yang saya simpulkan adalah seni yang baik adalah seni yang terdokumentasi dengan baik. Ia dibaca untuk dikemudian hari sebagai pembelajaran. Dalam hal ini juga bisa kita pahami, bahwa suatu ide kreatif tidak berlaku sama sekali atau tidak berlaku sama di luar lingkungannya, karena tidak ada elemen dalam ide itu tidak berlaku sama di lingkungan lain.

Pemaparan periode kebudayaan sejak masa Yunani Kuno, lalu Gothic, dimana pada periode tersebut dikenal sebagai puncak-jayanya agama, dan berlanjut pada Era Kegelapan (Dark Ages), ketika lembaga-lembaga yang mengatasnamakan agama turut mendominasi kebijakan, menimbulkan kekacauan, dan ketidakpercayaan terhadap agama; era ini menjadi transisi menuju Era Pencerahan (Reinansans) yang mana dinamika perkembangannya berbasis pada rasio dan pengetahuan; hingga munculnya Era Modern. Begitu juga dalam bidang seni rupa, muncul pula gaya impresionis yang dipantik oleh temuan alat bantu lukis luar ruangan, juga membuat seniman yang sebelumnya hanya memiliki banyak waktu di studio, mulai mengamati dinamika sosial dan lingkungan sekitarnya, bersama mempelajari gerak cahaya. Beberapa contoh gambar ditampilkan di layar, lukisan Claude Monet pula dijelaskan oleh Albert. Ia juga menyebut nama lainnya seperti Gustave Courbet yang juga memperngaruhi kehadiran gaya lukis impresionis dan kubisme, terutama secara ideologis.

Penjelasan periode kebudayaan ini merupakan jembatan untuk menjelaskan bagaimana medium karya seni sebagai lukis dapat merepresentasikan situasi sosial politik di era-era terdahulu. Materi berlanjut hingga malam, terkait kehadirkan teknologi kamera, filem, dan video. Muncul nama-nama seperti Lumiere Bersaudara sebagai titik kehadiran filem, dan Dziga Vertov sebagai pengembangan medium kamera ataupun filem sebagai seni.

Malam itu diskusi berlanjut hingga pukul 11.00 dengan bersemangat. Namun para partisipan harus beristirahat.

***

Maria (penulis) dan Mak Katik saat kelas sastra dan sistem sosial masyarakat Minangkabau. (foto: Arsip Gubuak Kopi, 2018)

Hari Kedua, 2 Juni 2018, pukul 11.00 siang partisipan berkumpul kembali di Gubuak Kopi untuk melanjutkan berlangsungnya acara bakureh project. Saat itu partisipan didampingi oleh Delva Rahman yang me-review dan melakukan diskusi ulang terkait tema yang dipaparkan Albert di hari sebelumnya; antara lain perkembangan komunikasi, sejarah seni, hingga era-era seni rupa sampai video. Diskusi tersebut berjalan dengan cukup baik saat saya menyimaknya dari dapur, terdengar suara yang berbalas-balasan mengenai pemahaman yang dimaknai oleh pandangan masing-masing partisipan.

Lalu, setelah diskusi, waktu beristirahat, penyelenggara terlihat menunggu kehadiran narasumber yang akan mengisi kelas hari ini. Dering telpon genggam Albert berbunyi, terdengar percakapan dirinya dengan seseorang yang menanyakan keberadaan lokasi Gubuak Kopi. Maka, kehadiran narasumber sudah dapat diterka jarak keberadaannya. Beberapa menit kemudian, tibalah narasumber yang merupakan tokoh adat atau budayawan Sumatera Barat bernama Mak Katik.

Mak Katik memiliki ketekunan khusus pada sastra Minangkabau, terlihat dari banyak karya-karya pantunya, kesenian randai yang dia garap, dan kemampuanya menuturkan sastra dalam lisan. Awalnya, saya tidak memahami betul apa yang diucapkan Mak Katik berlandaskan kendala Bahasa. Namun, perlahan saya mencoba memahami apa yang dibicarakannya sembari meminta bantuan yang lain untuk sedikit mengartikan. Alunan pantun Minang terdiri dari Sembilan suku kata, sedangkan Melayu biasanya sampai 11 sukukata.

Terdapat empat pembagian pantun yang disebutkan oleh Mak Katik, antara lain ia sebut; dialog ibu, yang merupakan bahasa keseharian. Kemudian dialog pantun, seperti pantun secara umum di Nusantara; lalu bidarai kato ciri-cirinya tidak ada bunyi yang sama di akhir akhir kalimatnya, biasanya ia menuturkan pituah-pituah atau nasehat dari ayah ke anak, ataupun dari mamak (paman) ke kemenakan; dan bidarai adat, ciri-ciri bentuknya sama dengan bidarai kato, namun biasanya berisikan ketentuan-ketentuan adat, seperti tentang pakaian adat penghulu dan makna-maknanya, dan lainnya.

Seperti, nilai-nilai adat yang diapaparkan oleh Mak Katik adalah nilai yang menurutnya dapat menjaga kontrol sosial. Hal-hal detail lainnya seperti makanan apa saja yang seharusnya disajikan saat upacara pernikahan adat Minangkabau pun dipaparkan olehnya dalam pantun yang indah. Salah satu yang dijelaskan Mak Katik, yaitu saat memasak rendang, tidak sewajarnya mengaduk olahan rendang seperti menggoreng nasi goreng, melainkan mengaduknya dengan perlahan maju dan mundur. Memasaknya harus diaduk secara tulak rayiah sasakali lenong (ditolak dan ditarik sendoknya, sesekali diputar dikuali) prinsip ini sama halnya dengan prinsip musyarawah niniak mamak. Panghulu tidak boleh menimba hitungan dalam nagari dan dalam kaum, seperti itu membuat perundingan dalam berdiskusi, jangan ditolak saja semua argumentasi orang dan jangan juga ditarik semuanya, kita harus memilah dan memilih.

Kuliah bersama Mak Katik berakhir hingga sore. Setelah Ashar para partisipan kembali berkumpul, dan Albert memandu para partisipan untuk mengungkapkan pemahamannya dari apa yang disampaikan Mak Katik.

Bakureh Project adalah sebuah proyek seni yang berbasis riset kolaboratif, proyek ini akan berlangsung hingga Agustus 2018. Lokakarya ini merupakan tahap awal proyek dan akan berlanjut sampai tanggal 7 Juni.

 

Maria Christina Silalahi (Mei 1994), biasa disapa Maria. Lulusan Departemen Kriminologi Universitas Indonesia. Pernah berkegiatan di Rumah Kreasi Centre (Jakarta) dan kini aktif sebagai ketua kelas di club belajar @milisifilem di Forum Lenteng. Ia merupakan salah satu partisipan lokakarya literasi media "Di Rantau Awak Se" yang digelar oleh Komunitas Gubuak Kopi bersama Forum Lenteng (2017). Pernah terlibat dalam performance "Unprediction and Unexpected" bersama 69 Performance Club, dalam pameran tunggal Social Organism, Hafiz Rancajale, di Galeri Nasional Indonesia, 2018.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.