Akhir April 2017 lalu, saya berkunjung ke rumah bapak Irwin. Beliau adalah seorang ketua RT di RT 03/RW 01, Kelurahan Pasar Pandan Airmati, Kota Solok. Memasuki gang menjelang rumah Pak RT sungguh menarik. Di sana ada satu gapura, yang terlihat belum lama dibuat. Keberadaan gapura ini, membuat gang sedikit menonjol dari gang-gang yang ada di sekitar sana. Di sepanjang gang, mata saya disegarkan dengan tanaman-tanaman jenis sayur maupun tanaman hias yang berderat di atas got gang. Gang itu bernama Gang Rambutan. Continue reading
Tag Archives: Lingkungan Hidup
Cerita Liburan Banjir di Kampung Kita
Kamis, (05 Januari 2017) kemarin, Batang Lembang kembali meluap. Luapannya menggenangi Solok, Selayo, Koto Baru yang berdekatan dengan daerah-daerah aliran sungai. Ini bukan kali pertama Batang Lembang meluap, semacam fenomenda tahunan. Biasanya terjadi ketika pergantian musim yang beberapa tahun terakhir itu selalu berdekatan dengan hari-hari pergantian tahun: November atau Desember atau Januari atau Februari.
Tahun lalu, banjir itu terjadi di bulan Februari, daerah yang sama selalu ditutupi banjir. Kali ini terjadi di Januari, dua minggu sebelumnya sering hujan di beberapa titik, dan setau saya ini yang paling besar. Tapi tungggu dulu, ini bisa saja tidak se-menyedihkan yang dibayangkan, atau ada hal lain yang lebih menyedihkan. Continue reading
KULTUR DAUR SUBUR DAN AGENDA LAINNYA
Sore itu, 01 Agustus 2016, Solok diguyur hujan yang lebat sedari siang nan lengang. Hari itu juga merupakan hari jadi Komunitas Gubuak Kopi, hari pertama kalinya kelompok ini diperkenalkan pada publik tahun 2011 lalu. Kali ini kita berjanji merayakannya bersama anak-anak di sekitar markas kita setelah semalam berpesta dan berevaluasi. Kali ini dalam dengan tajuk “Kultur Daur Subur”, yang memang sudah kita agendakan dalam program Kelas Warga.
Kegiatan ini pada dasarnya kita tujukan sebagai respon atas sampah yang selama ini semata-mata menjadi keluhan. Ini bukan pertama kali nya kita “bermain-main” dengan sampah, selain markas kita yang memang dihiasi “sampah”, sebelumnya persoalan ini juga mendasari lahirnya kegiatan “Aku, Kita, dan Kota” pada tahun 2012. Tak lama sebelum kegiatan “Aku, Kita, dan Kota”, kota kecil ini mendapat penghargaan “adipura”, semacam penghargaan pemerintah pusat untuk kota yang bersih. Piala kebersihan itu, oleh Walikota diarak keliling jalan protokol dengan penuh kebanggan. Sebagian besar pengawai negeri ikut merayakannya dihadapan publik, sementara di saat itu kami sibuk menonton publik yang kebingungan, atau tidak antusias. Continue reading
Bilih: Ikan Kecil Kita yang Hampir Habis, dan Keluarganya Di Perairan Toba
Bilih adalah nama jenis ikan langka yang konon hanya hidup di perairan Danau Singkarak. Baru pada kisaran 2000-an, peneliti dari Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan Dan Perikanan, Departemen Kelautan Dan Perikanan, mengintroduksi spesies ini ke perairan Danau Toba. Di sana, bilih berkembang menjadi dua bentuk. Yang satu, berukuran lebih besar, sekitar dua sampai tiga jari orang dewasa. Yang lainnya berukuran biasa, satu sampai dua jari orang dewasa, mirip dengan bilih Singkarak, namun untuk dimakan rasanya jauh berbeda. Bilih yang berkembang di Toba tersebut, oleh masyarakat lokal disebut ikan Pora-pora, diambil dari nama ikan yang telah punah di sana. Ikan Pora-pora ini kemudian dijual lagi ke kampung halamannya, Singkarak. Di sini, keluarga yang berkembang biak di Toba itu lebih akrab disebut Bilih Medan. Rasanya lebih pahit, kadang hambar, dan ia juga beredar dalam kemasan berlabel Bilih Singkarak. Continue reading
Lukisan Lampau: Kabar Indah di Singkarak
Tahun 1905, Eugen Koehler dan putranya Woldemar Koehler pemilik sebuah penerbitan di Jerman, menerbitkan beberapa karya lukis Earnts Haeckel dengan judul Wanderbilder, atau dalam bahasa Inggris “Travel Images”. Haeckel adalah seorang profesor biologi di University of Jena. Ia juga dikenal sebagai pelukis naturalis berkebangsaan Jerman yang juga pengikut setia, pelestari, dan pengembang filsafat Darwinisme di Eropa. Wanderbilder adalah sebuah kumpulan lukisan pemandangan dari tempat-tempat indah yang pernah ia kunjungi di daerah tropis selama melakukan pendataan spesies makhluk hidup. Salah satu dari banyak lukisan itu, terselip sebuah pemandangan kampung di tepian danau dengan latar bukit yang berdempetan. Saya menemukannya secara terpisah di internet. Danau itu adalah Danau Singkarak, tertulis di sisi kiri lukisannya dengan tanda tahun 1901.1 Kalau ditanya, sejak kapan masyarakat dunia mengenal Singkarak, mungkin itu adalah pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Tapi setidaknya publikasi lukisan Haeckel ini menunjukan bahwa keindahan visual danau Singkarak sudah terkabar hingga Jerman sejak 1905.2 Continue reading
Muara Lembang
I – Pak Mali
Di sebuah sisi danau seekor bangau terbang tanpa koloninya. Sepertinya dia tengah tersesat. Danau diselimuti kabut, seberang tak tampak. Tapi seskali hembusan angin menyibak, orang-orang diseberang sepertinya baru saja panen dan membakar tumpukan jerami mereka. Di dekat saya, sorang wanita terlihat anggun dengan sapu lidinya yang seakan tengah mendayung tanpa sampan. Dia dia tidak sedang berandai-andai mendayung sampan, apa lagi memparodikan cerita nenek sihir yang terbang dengan sapu lidinya. Perempuan ini tengah menyapu sampah yang melayang-layang di perukaan danau Singkarak. Continue reading
Singkarak: Kisah-kisah Malam Para Pemancing
Singkarak malam itu sebenarnya tidak begitu dingin, tapi angin bertiup kencang. Berbeda dengan Kota Padangpanjang yang akan tetap dingin dengan angin yang bertiup kencang ataupun tidak. Hawa dinginnya langsung terasa ke tulang-tulang dan membuat daun telinga menjadi sangat dingin. Continue reading
Melayang dan Mengendap Di Muara Berbuih
Lelaki tua itu biasa saya sapa Pak Gaek (Pak Tua). Suatu hari ia meletakkan kopi di hadapan saya. Saya sering mampir di kedai kopi kecilnya setiap kali dalam perjalanan malam Solok ke Padangpanjang. Seperti biasa, ia tidak banyak bicara. Ia senang duduk di kursi malasnya yang berdekatan dengan meja tempat ia biasa membuat kopi. Di meja yang padat itu, tersusun beberapa mi instan, tabung kopi, gelas, kaleng susu dan sebuah radio tuanya. Kalau sudah lewat pukul sembilan malam, biasanya radio tua itu melagukan tembang-tembang Pop Minang. Kemudian ia bersandar menikmatinya sambil memegang senter dan telepon genggam. Ia sering kali terlihat menahan kantuk menikmati lagu-lagu itu, maka saya putuskan untuk mengganggunya.
Continue reading
VideoGubuakkopi – Mendulang Emas
Batang Jujuhan dulunya terkenal karena menyimpan banyak butiran emas. Pada masa itu hampir setiap warga berprofesi sebaga pendulang emas. Namun seiring berjalannya waktu emas semakin berkurang, banyak warga yang beralih menjadi petani karet dan sawit, tapi ada juga beberapa warga yang masih berupaya menemukan emas di batang Jujuhan ini dengan cara tradisional.
Bagai Pinang Dipanjat Pemuda
Tahun 2013 lalu saya terlibat dalam sebuah proyek Revitalisasi Budaya di Dusun Sirih Sekapur, Kecamatan Jujuhan, Muaro Bungo, Jambi. Sirih Sekapur adalah desa yang menjadi pintu masuk provinsi Jambi dari Sumatera Barat. Hampir sebagaian besar lahannya digunakan untuk kebun karet beberapa bagian untuk sawit, sangat berbeda sebagian besar wilayah di Sumatera Barat, saya hampir tidak menemukan sawah dan hutan di sini. Sebagian besar masyarakatnya bekerja sebagai petani karet, sawit, dan pendulang emas. Sebagian lagi bekerja sebagai buruh kasar di pabrik karet, dan tambang batu bara.
Minggu ke dua di negeri panas ini, saya dan kawan-kawan memenuhi undangan untuk menghadiri pesta yang diadakan oleh seorang pengusaha tambang batu bara setempat. Waktu itu kami di undang untuk hadir dalam perayaan yang disebutnya perayaan tujuh belas-an (hari kemerdekaan; 17 Agustus). Continue reading