Senin, 28 Desember 2020 Komunitas Gubuak Kopi menggelar pameran Kurun Niaga #2 bertajuk “Lanskap”. Pameran ini merupakan presentasi publik dari proyek seni “Kurun Niaga”, sebuah studi tentang sejarah perniagaan di Solok secara khusus dan Sumatera Barat secara umum. Pameran ini melibatkan partisipan dari berbagai macam disiplin, untuk membaca kembali arsip-arsip, baik itu berupa arsip fisik, ingatan, serta narasi yang berkembang di kalangan warga. Kemudian pembacaan ini dipresentasikan dalam medium seni, buku, dan peristiwa seni. Ini adalah seri kedua, sedangkan Kurun Niaga pertama bertajuk “Kala Negeri Dikelola Pemodal” diselenggarakan tahun 2019 lalu.
Pengantar Buku Kurun Niaga: Kala Negeri Dikelola Pemodal*
Melalui perperangan, membangun benteng pertahanan yang sulit direbut, dan memonopoli perniagaan, orang-orang Eropa berhasil menguasai beberapa bandar pelabuhan dan hasil bumi penting yang sebelumnya mempertemukan kawasan ini dengan perekonomian dunia yang sedang berkembang. Peran mereka tetap kecil, pemain-pemain di pinggiran kehidupan kawasan yang berjalan tanpa henti, namun mereka telah mengubah keseimbangan yang rapuh antara perniagaan dan kerajaan.[1]
Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, Anthony Reid.
Sejak awal Agustus 2019 lalu bersama tiga belas orang partisipan kami
membaca ulang sejumlah rujukan sejarah dan koleksi-koleksi arsip sejak tahun
1600-an hingga akhir 1800an. Bagi kami pembacaan ini adalah sebuah studi yang
menarik, melihat kembali sudut pandang Eropa mencatat Sumatera Barat. Melihat
bagaimana perniagaan membuka akses persilangan budaya, sekaligus melihat
perniagaan menguasai sebuah tatanan politik. Peristiwa-peristiwa ini, saya kira
membantu untuk memperkaya pandangan kita memahami situasi Indonesia hari ini.
Sejak abad 15, telah banyak kapal-kapal pelancong, datang ke pantai
barat Sumatera, mulai dari Aceh, Arab, China, Portugis, Belanda, Inggris,
Prancis, dan Amerika. Ada banyak hal yang bisa kita catat dari sumber-sumber yang
terbatas itu. Keterbukaan masyarakat Minangkabau yang terpusat di pebukitan
pada masa itu, menjadi sebuah hal yang unik. Ia berkembang dengan persilangan
budaya internal Sumatera maupun eksternal yang difilter terlebih dahulu di
pinggiran kawasan, di pantai barat, dan pangkalan-pangkalan besar di timur.
Sekilas para pemimpin terlihat menikmati posisi nyamannya dalam waktu
yang sangat panjang di pebukitan, sekalipun bergantung besar pada
produksi-produksi pertanian, pertambangan, dan segala aktivitas warga di
nagari. Namun, perhatian dan kekawatiran mereka terhadap negeri-negeri tetangga
tak pernah lepas. Mereka selalu memikirkan apa-apa yang terjadi di
kawasan-kawasan pintu masuk, kawasan perniagaan besar, kawasan saingan.
Minangkabau sebagai sebuah ekosistem kebudayaan besar pada masa lampau
hampir tidak terjangkau oleh publik Eropa. Sebelum terjadinya perang saudara,
Padri, konflik antar bangsa tetap dikelola di wilayah pesisir barat. Salah satu
catatan awal menyinggung Minangakabau ditulis oleh Henrique Dias, seorang ahli
obat-obatan yang menompang di kapal portugis Sao Paulo. Kapal ini diriwayatkan
terseret badai hingga Sumatera pada 21 Januari 1561. Beberapa bulan mereka yang
selamat harus membangun kembali kapal untuk berlayar ke tujuan lain. Beberapa
kapal bantuan datang untuk mendampingi.
Raja berjarak kurang lebih dua hari dari lokasi itu. Suatu kali putra
raja datang, para awak Portugis memberikan beberapa hadiah untuk raja, tapi ia
sedikit tersinggung mengetahui kaptennya malah makan ketika ia sedang
menampakkan diri. Raja mengatakan bahwa ia bersedia mengawal jika kapten ingin
mengirim orang melalui jalur darat, dengan durasi 10 hari. Dan raja ternyata
berkeinginan memiliki artileri-artileri milik kapten itu. Raja bersedia
menukarnya dengan kapal-kapal besar yang bisa mengantarkan mereka pulang.
Tetapi kapten menolak permintaan itu, bahwa artileri itu harus diserahkan pada
raja muda di India. Raja merasa puas dengan jawaban itu, dan meminta izin untuk
melihat lebih dekat artileri itu.
Warga sekitarpun menukarkan beberapa barang pangan dengan sejumlah
peralatan seperti pisau dan paku milik rombongan kapten itu. Semua terkesan
cair dan membaur, mereka pun melonggarkan pengamanan. Tapi ia tidak menyadari 5
hari terakhir sampan-sampan berdatangan membawa orang-orang bersejanta,
bersembunyi di pohon-pohon dan kemudian menyerang mereka, lebih dari 70
rombongan portugis terbunuh. Sementara yang selamat berhasil menaiki kapal dan
pergi.[2]
Sketsa Dika Adrian (Kurun Niaga, 2019)
Sebelum Thomas Dias pada tahun 1684 dan dilengkapi Raffles pada tahun
1818 yang memasuki pusat Minangkabau, tidak sedikit yang percaya pada narasi
Marcopolo, yang menggambarakan Sumatera sebagai negeri yang dihuni oleh
masyarakat kanibal. Terlihat banyak catatan-catatan pejalan Eropa kesulitan
menggambarkan Minangkabau dan Batak. Negeri yang memiliki konsep pemerintahan
yang cukup berbeda dengan negeri lainnya yang berbasis kerajaan seperti Jawa,
atau raja-raja di Sriwijaya, Aceh, dan lainnya.[3]
Di Minangkabau, raja adalah pemimpin-pemimpin kecil yang setara dengan
penghulu, dan jumlahnya sangat banyak. Menurut Anthony Reid, ketika Sriwijaya
tidak lagi disebut-sebut pada abad 14, beberapa reputasi kerajaan tersebut
bergeser ke hulu Sungai Batang Hari. Di sana terdapat patung dan prasati
tertanda 1347. Menurut Reid, kemungkinan kerajaan Budha Raja Adhitiawarman
(diduga adalah Dharmasraya) memulai tradisi kekuasaan “raja nan agung” di
Sumtera Barat bagian tengah, dimana tradisi tersebut hidup berdampingan tetapi
kurang harmonis dengan masyarakat Minangkabau yang matrilineal dan pluralistik.
Raja-raja Minangkabau bagi Reid memiliki kharisma yang sangat kuat di
seluruh pulau Sumatera pada abad 17 sampai 18. Tapi kharisma itu hanya terpapar
oleh pengaruhnya di setiap pusat niaga di Sumatera.
Pada tahun 1684 Gubernur VOC di Malaka mengirim Thomas Dias menemui
“Raja Minangkabau” di Pagarayung. Menurut Reid, tujuannya sederhana agar
Belanda dapat berdagang langsung dengan penyedia emas, lada, dan timah
Minangkabau, menjadikannya sekutu yang potensial di tengah konflik yang terus
menerus terjadi antara Siak, Johor, Jambi, Palembang, dan Malaka.
Dias memulai misinya dengan mengirimkan utusan ke “Raja Minangkabau”
untuk memberi tahu rencana kedatangannya. Direspon oleh Raja Minangkabau dengan
mengirim 9 orang utusan untuk menjemput Thomas Dias. Ia mencatat total 37 orag
termasuk timnya melakukan perjalanan ke pusat Minangkabau. Ia mengaku dibawa
melewati jalur-jalur yang tidak lazim dilewati warga. Menghindari beberapa
“kerajaan kecil” yang bisa saja curiga dengan kedatangan mereka. Selain itu, ia
juga mendapat respon yang tidak baik dari warga, sebab takut akan adanya
eskpedisi lanjutan dari Eropa untuk menaklukkan mereka. Beberapa kali harus
tidur di bawah pohon. Thomas Dias mengaku disambut dengan baik di Pagaruyung,
dan pulang membawa sejumlah kesepakatan. Perdagangan emas di jalur timur,
terbuka untuk Malaka.
Hal serupa diupayakan Raffles atas inisiatifnya. Kebesaran pengaruh
Minangkabau di sepanjang pesisir Sumatera dan pangkalan-pangkalan
mengantarkannya ke sebagai bangsa Eropa pertama yang menaiki pebukitan Padang
menuju pusat Minangkabau pada tahun 1818. Ia bertaruh pada momen-momen yang
sempit dan sekaligus strategis. Pada masa itu, dikenal dengan masa interregnum
Inggris. Napoleon menguasai sebagian besar Eropa dan mengambil alih kerajaan
Belanda. Pimpinan Belanda mengungsi ke Inggris, dan sejumlah wilayah kekuasaan
Belanda melalui sebuah perjanjian akan dikelola oleh Inggris, salah satunya
adalah Sumatera Barat.
Raffles membuat kesepakatan dengan sejumlah pemimpin adat yang juga
terdesak oleh Padri. Dengan tidak begitu rumit, ia memperoleh kesepakatan dan
surat untuk Raja Inggris agar tidak membiarkan Belanda kembali ke Padang.
Sebagai gantinya, Raffles meninggalkan sejumlah pasukannya di Simawang, menjaga
warga dari Padri Lintau, dan memastikan agar jalur penting antara pusat
Minangkabau, menyeberangi Singkarak, melalui Solok (Kubuang Tigo Baleh) ataupun
Koto Tangah tetap terbuka untuk Inggris.
Niat Raffles tidak berjalan dengan baik. 1819, Sumatera Barat kembali dikuasai
Belanda.
Sebelumnya, pada tahun 1600an Belanda memulai peniagaanya dengan setara.
Pelakat dan pertukaran utusan menjadi seni politik yang lazim pada masa itu. Di
Pantai Barat, Belanda dan Aceh tidak menjadi mesra dengan plakat semata.
Setelah mendapati pintu masuk ke pantai barat, Belanda membuat sejumlah
perjanjian dengan penguasa-penguasa lokal. 1663 para petinggi adat di Painan
dan VOC menyepakati “Painansche Contract”[4].
Kesepakatannya ini memberikan perdagangan secara bebas dan tanpa pajak di
wilayah Tarusan dan Air Haji, dan kemudian mendirikan Loji[5]
di Salido. Tapi VOC selalu menginginkan Padang yang menjadi sentra strategis.
Sketsa Hafizan (Kurun Niaga, 2019)
Pada tahun 1667, loji dipindakan ke Padang. Tapi kota ini tidak begitu
aman bagi Belanda, sebab Aceh masih memiliki pengaruh yang kuat di sana. Loji
kembali dipindahkan ke Painan, tepatnya di Pulau Cingkuak. Di saat yang sama,
loji-loji kecil dibangun di Pariaman dan Tiku. Tahun 1668, Belanda mematangkan
niatnya. Aceh berhasil dihalau. Sebagian dari orang-orang Aceh yang berpengaruh
pindah ke Pauh. Tapi untuk wilayah pantai barat Sumatra, Padang terlalu
strategis untuk dilepaskan begitu saja. Keberadaan Aceh di Pauh dan Koto Tangah,
mengerakan semangat perang warga lokal melawan VOC.[6]
Sejak tahun 1669 hingga 1750an lebih dari 20 kali perang besar terjadi
antara Pauh dan Aceh. 1679 Pauh mulai berkoalisi dengan para pemimpin Tiga
Belas Kota (Kubuang Tigo Baleh, yang sekarang disebut sebagai wilayah Kota dan
Kabupaten Solok) yang merupakan produsen rempah utama. Tahun 1688, 5 orang
penghulu Pauh tunduk, dan 9 penghulu masih rewel. Berbagai serangan kembali
terjadi, walau sering kali “marasai” Pauh tak henti-henti memperlihatkan
ketidak-taatannya. Tahun 1713, sekitar 500 pasukan, termasuk pemuka
agama, di bawah pimpinan Rajo Putiah dan Rajo Saruaso berada di Padang untuk
menghadang, tetapi “Padang” dibantu oleh para awak kapal Belanda dan 120 awak
Bugis berhasil menghalau mereka. [7]
Tahun 1716 Pauh bersedia bekerja sama dengan VOC dan menetap di wilayah
yang ditentukan Belanda. Tapi, 1720, Pauh diam-diam kembali ke tanah asal.
Tahun 1724, VOC mengeluarkan perjanjian dengan Pauh bahwa, wilayah itu tidak
boleh dihuni. Beberapa warga berusaha kembali dan diusir paksa. Beberapa
penghulu, menaiki pebukitan membangun kerja sama dengan Kubuang Tigo Baleh. [8]
Pada 1726, Pauh dan warga Kubuang Tigo Baleh menuju Padang, namun
bantuan militer Belanda dari Batavia datang. 1727, para pemimpin Pauh dan
Kubuang Tigo Baleh datang ke Padang untuk bernegosiasi, dan akhirnya meminta
maaf pada Belanda. Salah satu alasan utama permintaan maaf ini adalah karena
Belanda menyetop penjualan garam. Tapi, rupanya itu tidak berlangsung lama,
1728 Pauh menduduki tempat-tempat yang dilarang VOC, melakukan sabotase dengan
mengeringkan air sawah dan membuat perdagangan dengan Kubuang Tigo Baleh menjadi
lebih sulit.[9]
Pauh memang pintu perdagangan hasil alam penting. Ia berada di lembah
barat Minangkabau yang menghadap ke pelabuhan, di belakangnya membentang wilayah
Kubuang Tigo Baleh, produsen rempah yang tidak bisa diakses Eropa hingga
Raffles menaikinya pada tahun 1818 tadi.
Secara bertahap, setelah segala bunyi plakat dan perjanjian, VOC mulai
mendirikan loji-loji, mengusasai bandar-bandar pelabuhan besar. Memberikan
gelar-gelar tertentu pada pimpinan-pimpinan adat yang bisa diasuh. Menanjak
1700an hubungan dagang yang setara mulai berganti dengan monopoli yang dikuasai
VOC. Ketimpangan. Pada tahun 1668 VOC menandatangi perjanjian kerjasama dengan
penghulu di Barus, tak lama setelah Pauh bergolak, Rajo Lelo di Barus
diasingkan karena mulai menyadari dampak negatif dari VOC terhadap tatanan
ekonomi-sosial-politik kerajaannya.
Melalui para pemimpin lokal yang bisa diasuh, Belanda memulai
permainannya dari pesisir yang terus bergerak. Pola-pola di atas hanyalah salah
satu contoh tentang bagaimana VOC mengambil peluang dari kerapuhan antara
perniagaan dan kerajaan, seperti yang digambarkan dikutipan awal.
“Negara-negara baru” muncul di 1600-1800an. Ibu kota yang sebelumnya di
pedalaman kini bergeser ke pesisir pantai, sesederhana VOC mendirikan pusat
administrasi di sana. Kota-kota dibangun kembali dengan titik nol yang dekat
dengat akses pelabuhan dagang dan askes bantuan militer.
Sejak 1660 Belanda sudah mulai memberikan gelar Opperkoopman
kepada daerah-daerah yang dianggap betul-betul bisa dijadikan wilayah
perdagangan. Pemimpin operasinya kebanyakan berasal dari saudagar dagang dan
ada pula beberapa saudagar kecil. 1691 Belanda juga menunjuk Maharaja Indra
sebagai penghulu regen baru Belanda. Proses-proses seperti ini sering terjadi,
Belanda menunjuk perwakilan-perwakilan Penghulu dengan dalih mempermudah
administrasi, satu persatu Belanda berhasil mendirikan “badan”nya di
Minangkabau.[10]
Pintu semakin lebar setelah Padri mulai bergolak di wilayah perbukitaan
Minangkabau. Satu persatu wilayah penghasil Akasia dan Cangkeh dikuasai Padri.
Rajo Alam dikudeta. Padri mulai membentuk sebuah administrasi baru yang
menyerupai sebuah “negara” atau badan yang berbeda dengan prinsip egaliter
tradisional Minangkabau. Kudeta Padri dengan cara yang keras membuat sebagian
besar masyarakat yang merasa terancam mengundang keterlibatan Eropa.
Du Puy, residen Belanda di Padang mendesak pemerintah di Batavia supaya
mengerahkan Garnisum Simawang kembali. 1820 Du Puy membuat perjanjian dengan
kepala-kepala di pusat atau “pedalaman” untuk penyerahan tanah mereka pada
pemerintah Hindia Belanda. 1821 Padri diusir dari Sulik Aia oleh garnisum
Belanda, dan berlanjut ke daerah-daerah lainnya, hingga Belanda menguasai dan
mengambil alih pemerintahan.[11]
“Negara” atau badan legal untuk memunguti pajak, membuat tentara,
mensakralkan bendera, membuat penjara, dan mencetak uang. Hadir menggantikan
Padri yang belum mendapatkan posisi nyamannya. 1825 Belanda sudah mulai
memberlakukan pajak 5% dari bahan yang dijual di 34 pasar di Tanah Datar dan 14
pasar di Agam. Nederlansche Handle Maatscappij (NHM) mendirikan pabriknya di
Padang. 1831 Pengumpulan pajak dilakukan melalui para penghulu yang ditunjuk.
1834 Januari, sebuah kontrak yanag berlaku selama tiga tahun ditandatangani
oleh Gebernur Jenderal dan wakil NHM di Padang, tentang pendirian dua depot
besar di wilayah Minangkabau, dan terus berlanjut.
Membangun Negara dari prespektif niaga tentunya manyisakan banyak resiko
dan keuntungan, mengabaikan aspek-aspek lingkungan dan kebudayaan, mengantarkan
pertanyaan untuk siapa nagara ini dibangun?
Pertanyaan menggebu-gebu ini, saya kira tidak ada salahnya kita
lontarkan agak sering. Tidakpun menjadi prioritas, hasrat menguasai ini harus
tetap dibentengi dengan nilai-nilai kemanusiaan, atau sekedar jadi lalat di
ekosistem perniagaan besar yang kompleks.
Selain itu, Akbar Yumni, seorang kawan
pernah menuliskan, bahwa selama ini pengertian sejarah sosial-politik yang
berlangsung selalu sejarah yang dibangun oleh negara atau para akdemisi.
Sementara warga negara yang sebenarnya adalah subjek sejarah dan sering kali
mengalami dampak langsung dari konstruksi sejarah tersebut, tidak diberikan
peluang untuk dilibatkan dalam merumuskan sejarah.[12]
Kolaborasi ini adalah aksi alternatif dalam mengembang wacana sejarah publik.
Melibatkan sejumlah partisipan dari generasi hari ini, dari beragam sudut
pandang menafsirkan peristiwa sejarah yang tidak ia alami secara langsung.
Mengabaikan ataupun merespon sejarah yang ditata oleh negara ataupun akademisi.
Berbekal bagasi situasi
sosial-politik-ekonomi hari ini, sejumlah pemuda ini meminjam lagi sejumlah
arsip, meminjam sudut pandang para pencatat, menganalisanya kembali untuk
memahami peristiwa hari ini yang seolah kita lepaskan dari masa lampau, membaca
pola-pola perisitwa memperkaya sudut pandang. Dalam diskusi lain, saya juga
ingat Akbar menekankan, ketika kita membaca ulang sejarah, dalam sudut pandang
tertentu kita juga tengah berada dalam situasi sejarah itu sendiri. Secara
performatif kita menghubungkan diri secara horizontal dari sejarah yang selama
ini berjarak.
[1]
Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, Anthony Reid.
Komunitas Bambu, 2019, hlm. 4
[2]
Sumatera Tempo Doeloe, Anthony Reid, Komunitas Bambu, 2010. Dalam buku ini Reid
mengkurasi sejumlah catatan petulang yang menarasikan Sumatera pada masa
lampau, dan diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Komunitas Bambu.
[3]Ibid, hlm 186-212; lihat juga: Memoir of the Life and Public Service
of Sir Thomas Stamford Raffles by His Widow. Vol. I, London, 1835.
[4]
Pemerintahan Daerah Sumatera Barat Dari VOC Hingga Reformasi, Gusti Asnan,
Yogyakarta, 2006. Hlm, 20-21.
[5]Loji
(loge, factory, atau facrorij) berasal dari kata Portugis feictoria
yang berarti tempat tinggal, kantor, atau gudang tempat bangsa tersebut
melakukan kegiatan perdagangan di kota-kota seberang laut. Fetoria bisa
berupa benteng (kubu pertahanan) dan bisa juga berupa gedung biasa. (Wikipedia
– Ensiklopedia Bebas Bahasa Indonesia (https://id.wikipedia.org/wiki/Loji) diakses
pada September 2019)
[6]
Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang, Rusli Amran. Jakarta, 1981. Hlm 171-188
Masyarakat Padang di pelabuhan pantai barat Sumatera dengan latar belakang kapal pengantar surat ‘Insulinde’ yang sedang bertolak bersama Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum. Koleksi Tropenmuseum
Sabtu, 26 Oktober 2019, malam minggu di Solok kembali diguyur hujan. Beberapa pangunjung masih bertahan di Gedung Kubuang Tigo Baleh menantikan pertunjukan spesial yang dihadirkan dalam kuratorial pameran kesejarahan Kurun Niaga. Malam ini terdapat pertunjukan Candasuara yang akan mempresentasikan karya Bakisa. Lebih dari satu bulan sebelumnya, kelompok ini diundang untuk merespon tema kuratorial Kurun Niaga, bagaimana proses persilangan budaya yang dipantik oleh perdagangan dan politik antar bangsa pada masa lampau dihadirkan dalam bahasa musikal ataupun pertunjukan.
Walaupun sempat diguyur hujan, tapi pada malam itu, Jumat, 25 Oktober 2019, sejumlah orang masih bertahan menyaksikan tiga pertunjukan dalam rangkaian pameran Kurun Niaga. Sementara persiapan sedang berlasung sejumlah orang tetap memasuki ruang pameran. Pameran ini menghadirkan arsip-arsip masa lampau juga sejumlah karya yang menarasikan tentang sejarah perdagangan, transportasi, dan silang budaya yang terjadi di Sumatera Barat pada priode 1600-1900an. Dalam hal ini disebut oleh Gubuak Kopi sebagai priode Kurun Niaga. Selain itu pameran ini juga merespon tentang perngarsipan itu sendiri. Bagaimana kita memanfaatkan arsip? Bagaimana pentingnya arsip? Dan bagaimana arsip dalam mendia kreatif dan kearifan lokal.
Jumat, 25 Oktober 2019, setelah seremoni pembukaan pameran
Kurun Niaga, para hadirin dipandu oleh Albert Rahman Putra, selaku kurator
memasuki ruang pamer. Ia menjelaskan sejumlah arsip dan karya-karya yang
dipajang. Seperti karya garis waktu yang ditulis oleh Biahlil Badri dalam
kertas besar sepanjang delapan meter. Di sana tertulis rentetan waktu atau
pirode penting dalam perniagaan Sumatera bagian barat sejak tahun 1600 hingga
1900an. Catatan ini antara lain disusun dari 17 buku yang dikaji oleh Komunitas
Gubuak Kopi bersama 12 partisipan sejak dua bulan terakhir. Buku-buku itu
termasuk arsip-arsip yang dipameran di Gedung Kubuang Tigo Baleh, Kota Solok
yang disulap menjadi galeri itu.
Lapuak-lapuak Dikajangi(LLD) adalah sebuah perhelatan dari kegiatan studi pelestarian tradisi melalui platform multimedia. Kegiatan ini pertama kali digagas oleh Gubuak Kopi melalui program Lokakarya Daur Subur pada tahun 2017, sebagai rangkaian presentasi publik dalam membaca tradisi masyarakat pertanian. Presentasi publik ini dihadirkan dalam bentuk kuratorial pertunjukan dan open lab/pameran multimedia. Tahun ini LLD mengangkat tema silek, dan bermitra dengan Silek Arts Festival sebagai rangkaian festival.
Pagelaran seni multimedia LLD #2 dimulai dari tanggal 1-4 November di Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Kota Solok. Bagi saya, pameran yang digarap oleh Komunitas Gubuak Kopi bersama partisipan dari beberapa daerah ini sangat memecahkan beberapa kebuntuan pandangan terhadap silek di Minangkabau.
Albert memberikan pengantar kuratorial pameran dan memperkenalkan seniman-seniman yang terlibat
Di malam yang gerimis itu, turut hadir sejumlah pemangku kebijakan baik itu daerah dan pusat. Malam itu diawali oleh pengantar oleh Albert Rahman Putra selaku ketua Komunitas Gubuak Kopi dan kurator dari pagleran seni media LLD #2 ini. Tidak lupa Albert juga memperkenal para partisipan dan menjeleskan aktivitas para partisipan lebih dari dua minggu di Solok. Para partisipan diajak untuk mengikuti sejumlah kuliah umum untuk mengenal pemahaman tentang silek dan kebudayaan Minangkabau secara umum melalui para guru-guru silek di Solok yang diundang oleh Gubuak Kopi, juga Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Solok, Dr. Hasanuddin, seorang akademisi peneliti silek, hingga Ery Menfri, pegiat seni senior yang mendalami silek bertahun-tahun sebagai materi garapannya. (lihat juga: Portofolio Lapuak-lapuak Dikajangi 2)
Malam itu turut memberikan sambutan, Kepala Dinas Pariwisata Kota Solok, yang mengaku pertama kali terlibat dalam kegiatan yang digagas oleh Gubuak Kopi; Hadir pula malam itu memberi sambutan Kasubdit Seni Media, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Bapak Andre Tubagus. Beberapa tahun terkahir, ia baru tahu ada aktivitas seni media di Solok, sebuah kota kecil, dan beruntung malam itu ia dapat hadir. Turut memberi sambutan Walikota Solok yang diwakili oleh Asisten/ajudannya bapak Jefri, yang menyambut kegiatan ini dan berharap kegiatan ini dapat diapresiasi lebih jauh.
Kiri ke kanan: Palmer Keen mewakili seniman, Ibu Elvi Basri (kepala Dinas Pariwisata Kota Solok), Bapak Jefrizal (Ajudan Walikota/mewakili Walikota Solok), Andra Tubagus (Kasubdid Seni Media – Kemendikbud), dan Albert Rahman Putra (kurator/Komunitas Gubuak Kopi)
Malam
itu, pameran dibuka oleh perawakilan Walikota Solok, didampingi Albert,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Dinas Pariwisata, dan perwakilan seniman
partisipan, sembari membunyikan gendang bertalu-talu. Di sela tepuk tangan yang
meriah, muncul Ethnic Percussion dari sisi kiri kanan lobi pameran, memainkan
pukulan-pukulan gendang yang memukau malam itu.
Setelah
pertunjukan pembuka oleh Ethnic Percusision, para tamu diajak memasuki ruang
pamer dan dipandu oleh Albert menjeleskan setiap karya yang ditampilkan bersama
para seniman. Karya pertama adalah kita temui ketika kita masuk adalah“Runciang Indak Manusuak“
(Runcing Tidak Menusuk), karya performance art oleh Ragil Dwi Putra, salah satu
seniman partisipan dari Jakarta yang berkegiatan di 69 Performance Club dan
Klub Karya Bulu Tangkis (KKBT) ini. Karya inimerespon tentang bagaimana
intimnya sebuah proses pembelajaran silek
di Minang dan juga membicarakan permasalahan “Tamaik Kaji”
(Khatam).
Sementara kita menikmati karya Ragil, ruang pamer masih dibiarkan gelap. Karyanya ia sajikan secara performatif, dalam ruang persegi tanpa pintu dan ditutupi oleh kain hitam, serta bertuliskan kata-kata kiasan yang selalu muncul ketika para tuo silek memberi pemahaman tentang silek. Kalimat dan ruang gelap dalam galeri ini memperkuat pemaknaan betapa intimnya sebuah kegiatan tamaik kaji pada silekMinang. Dalam karya ini juga menjelaskan bagaimana susahnya dan perlu usaha untuk belajar silek di Minang yang di gambarkan dengan cara masuk kedalamnya ini dengan menyeruak menunduk untuk memasukinya. Didalam ruangannya juga terdapat dua kursi berhadapan.Sekitar sepuluh orang pengunjung diundang untuk memasuki ruang persegi itu dan diberikan satu lilin. Satu persatu lilin itu menyala, dari luar sekilas ia terlihat seperti lampion. Tulisan-tulisan menjadi seakan menyala.
Performance art “Runciang Tapi Indak Manusuak” karya Ragil Dwi Putra
Tagak itiak, karya Hafizan
Silek Batino, karya Arum Dayu
Raso Pareso, karya Zekalver Muharam
Suasana kunjungan pameran
Dalam
performannya, Ragil berusaha duduk di atas sandaran kursi dengan kaki sebelah
sambil memegang lilin dan disaksikan oleh beberapa pengunjung pameran yang diundang
masuk pada kubus yang sakral itu.
Setelah
lampu menyala, pengunjung digiring ke sisi kiri melihat karya Hafizan yang
berjudul Tagak Itiak. Hafizadalah seniman partisipan dari Kota Padang.Ini
mencoba mengungkap makna ketelitian dan kesabaran melalui karya instalasinya
yang terangkai dari ranting-ranting pohon yang disatukan dengan ikatan benang
sehingga membentuk sebuah gesture dan gerakan silekyang juga biasa disebut “tagak
itiak” (berdiri sebelah kaki). Karya ini memliki dimensi 3.5m x
1.5m x 1m, dengan tembakkan lampu bayangan ranting instalasi menjadi dua kali
lebih besar.
Masih
membicarakan konteks tertutupnya silek di Minangkabau. Arum Tresnaningtyas
Dayuputri salah seorang seniman partisipan dari Bandung yang aktif berkegiatan
di Omnispace, ini menampilkan beberapa karya foto yang ia kolase diatas
sejumlah koleksi arsip masa lampau, mengenai transisi silek mejadi ajang olah raga. Dari karyanya ini pada dasarnyaArum mencoba
menghadirkan sosok perempuan dalam dunia persilatan di tanah matrilineal ini.
Di mana biasanya silek ini didominasi oleh laki-laki di Minang, dan kali
ini Arum mencoba menjawabnya dengan karya foto yang mempresentasikan “Silek
Batino”(Silat Perempuan), di Minagkabau. Dalam karya ini ia
berkolaborasi degan Dewi Safrila, dari Pekan Baru, yang selama riset juga aktif
berlatih gerak pencak silek batino di
Sasaran Limbago Budi, Solok.
“foto
pesilat perempuan ini menjadi relevan dengan koleksi arsip yang melatar
belakanginya. Silek sebagai olah raga
pada dasarnya memberikan dampak buruk, pada pendangkalan makna silek itu sendiri.” Jelas Albert
Ia
menambahkan, tapi dengan masuknya ia pada cabang olah raga pada Pon tahun
1950an di Makassar, dan gencar perkembangan silek
di Eropa, yang bahkan sempat menggeser polpularitas karate dan tekwondo, juga
memunculkan banyak pesilat perempuan di berbagai belahan dunia. Sebenarnya
bukannya tidak ada pesilat perempuan di Minangkabau, tapi itu privat sekali,
biasanya hanya dari paman ke kemenakan atau ayah ke anak. Sementara tidak semua
perempuan seberuntung itu. Karena tidak pernah melihat itu, menjadi pesilekperempuan seakan tidak lazim.
Menghadirkannya ke hadapan publik, juga sebagai penegasan akan kesempatan yang
sama, dan memecah ketabuan akan pesilek
tradisi perempuan itu sendiri.
Berlanjut pada karya Zekalvel Muharram salah seorang seniman partisipan asal Solok. Ia mengadirkan sejumlah komik strip buatannya dalam lembaran A3 dan satu ia lukiskan di dinding dalam ukuran 2 x 3 meter.Komik-komik itu ia beri tajuk “Raso Pareso”. Komik-komik berkarakter khas itu, menegaskan sejumlah persoalan adab yang selama ini jarang kita kritisi. Dalam karyanya mural misalnya, ia juga menjelaskan sebuah pergeseran makna dan mencoba masuk melalui cerita lucu yang sebenarnya menyuruh pembaca lebih otokritik kepada diri sendiri, dimana tradisi lisan kita yang sering menambah-nambahkan atau mengurangi segala sesuatu informasi.
Suasana pameran
Beutiful Demage, karya Untempang Club
Performativitas, karya Untempang Club
Jatul menjelaskan karyanya
Berburu Gerak, karya Hujatul Islam
Dari
karya Zekalver, kita berajang pada ruang presentasi kelompok”Untempang Club”,
sekelompok remaja yang dibina oleh Komunitas Gubuak Kopi sejak awal Oktober
lalu dalam program Remaja Bermedia. Kehadirnya menambah warna dan menunjang
semangat generasi muda untuk terus berkarya dan memanfaatkan teknologi media
yang akrab dengan keseharian kita sebagai alat untuk berkarya. Karya foto yang
mereka tampilkan tidak hanya berbicara garis, warna, tekstur, kedalaman, pola,
dan cahaya. Melalui pelatihan yang mereka dapatkan di Gubuak Kopi dan bersama beberapa
seniman partisipan LLD, hasil karya mereka mampumenghadirkan pemaknaan silek dalam medium kekikinian tanpa
menghadirkan silek itu sendiri.
Detil, intensitas, dan kepekaan. Demikian yang dihadirkan remaja yang tak
memiliki kesempatan belajar silek
ini.
Dari
ruang remaja bermedia itu, kita berlanjut pada kumpulan skesta yang dipajang di
dinding dan sebuah meja kerja. Karya itu berjudul “Berburu Gerak”. Proyek
skesta ini dikerjakan oleh Hujatul Islam alias Dokter Rupa dari Yayasan Pasir
Putih, Lombok, sebagai studi gerak melalui skesta bersama sasaran-sasaran silek tuo di Solok, seperti Limbago
Budi, Sinpia, dan Silek Tuo Kinari. 50
karya skesta ini sekaligus menjadi sebuah aksi pengarsipan gerakan-gerakan khas
di masing-masing perguruansilek yang mungkin cukup jarang ditemukan.
Setelah menyimak karya Hujatul para pengunjung diajak untuk menyimak performance oleh Dewi Safrila. Dewi salah seorang seniman dari Riau ini menjelaskan sebuah perlawanan terhadap ego, kelembutan, dan sebuah ketegasan dalam diri seorang pesilat. Karya yang menggunakan teknik maping, menghadirkan Dewi yang berdialog melalui gerakan dengan bayangan ataupun imajinasinya yang terpanggung di sebuah skesel ini cukup membuat penyegaran dalam dunia seni media maupun seni pertunjukan tari di Sumatera Barat.
Performance: Sil(e)k, karya Dewi Safrila
Performance: Sil(e)k, karya Dewi Safrila
Suasana pameran menonton pertunjukan Dewi Safrila
Tidak
hanya persoalan visual, berikutnya kita digiring pada karya bunyi: The Sound Of
Silek. Karya ini disajikan dalam
bentuk playlis dalam sebuah TV oleh Palmer Keen, salah seorang peneliti musik
asal Amerika yang kini berdomisili di Yogyakarta. Dalam residensi LLD #2 Palmer
mencoba meneliti keterkaitan gandang sarunai dengan silek di
minang. Karyanya ini mencoba menjawab apakah silek itu sunyi. Dalam
karyanya Palmer juga melakukan recording di mana silek itu sebenarnya
penuh dengan bunyi, bunyi gerak, gesekan kain, tepukan paha, dan serta hembusan
nafas dari pesilat itu sendiri, dan disini Palmer mencoba membuat karya dari
bunyi dari gerakan dari dua tuo silek
yang tengahbasilek di sasaran Limbago
Budi.
Di seberang karya palmer kita dihadapkan pada pengembangan bunyi dalam sebuah TV yang terhubung earphone: Virusakita. Karya ini digarap oleh Ade Jhori mencoba memperpadukan bunyi “Pupuik” dengan distorsi digital. Dalam karyanya ini Ade mencoba mengangkat sebuah suara kegelisahan dari bunyi pupuik itu sendiri dan mencoba mempertegas bunyi-bunyi kegelisahan itu sendiri dengan sentuhan digital.
Sounds art: Virusakita, karya Ade Jhori
Sounds art: The Sounds of Silek, karya Palmer Keen
Video art: Satitiak Jadikan Lauik, karya Prashasti Wilujeng Putri
Dibelakangan
juga terlukis karya Hujatul yang tergambar impresif diatas tempelan arsip koran
tentang silek pada media skesel
seluas 2 kali 3 meter. Demikian kita dihantarkan pada karya terkahir di ruang
pamer, yakni“Setitik Jadikan Laut” karya Prashasti Wilujung Putri.
Karya
ini menhadirkan menangkap gerak pesilat dari berbagai arah. Karya Asti yang
melihatkan gerakan pesilat bukan hanya dari sudut pandang penonton saja tetapi
juga dari pesilat itu sendiri. Terlihat para penonton silat dan pesilat solo di
sebuah ruang latihan yang dilengkapi kamera di kepalanya. Dalam karyanya ini
Asti mencoba membingkai sebuah proses di mana ia menegaskan “menjadi pasilek bukan berarti tunggal dan besar,
namun menjadi tetap kecil, banyak, dan memasyarakat”. Karya Asti ini
berkolaborasi dengan Sasaran Silek Limbago
Budi di sisi lain mengajak kita mengalami sesansi basilek melalui mata-mata yang hadir dalam ruang yang telah lewat itu.
Dari pameran seni media Lapuak Lapuak Dikajangi #2 bertemakan silek yang digarap rekan-rekan Komunitas Gubuak Kopi bersama seniman partisipan ini,bagi saya memperkaya dan menambah pengetahuan tentang bagaimana silek itu sendiri. Hasil dari karya para seniman ini juga memecah kebuntuan kita selama ini mengenai bagaimana silek di Minangkabau. Dan juga menjelaskan pendangkalan makna, pergeseran kebudayaan, dan kurang pedulinya generasi muda saat ini tentang bagaimana pentingnya melestarikan budaya itu sendiri.
Pembukaan Lapuak-lapuak Dikajangi 2 – Silek
“Silek adalah sebuah tradisi beladiri masa lampau yang tidak hanya soal pertarungan, di dalamnya terkandung pendidikan karakter, ketelitian, filosofi, dan sebagainya. Ia bukan sekedar olah raga, tapi juga olah rasa, dan olah pikiran.” Jelas Albert.
Ia
menambahkan, selayakanya silek yang
berkembang pada kesenian tradisi lainnya, seperti tari dan randai oleh generasi
jauh sebelum kita. Ia tidak menutup kemungkinan untuk dikembangkan pada medium
baru oleh generasi kini. Tentunya tidak hanya sebagai objek bingkaian semata,
tetapi juga di-reinterpretasi nilai-nilainya.
Malam itu turut hadir Jumail Firdaus Project yang mempresentasikan karya komposisi musiknya yang berjudul Basikencak, dan Orkes Taman Bunga yang menghangatkan malam.
*Artikelnya sebelumnya dipublis di Kolom Budaya, Koran Haluan, edisi Minggu, 11 November 2018 dengan judul: Tanya Berjawab Tentang Silek. Dipublikasi kembali sebagai distribusi arsip.