Artikel ini adalah transkrip percakapan Arief Yudi (Jatiwangi Art Factory) yang dicatat oleh Biki Wabihamdika pada “Diskusi Terpumpun Pengembangan Platform Daur Subur sebagai Strategi Penguatan Ekosistem Kebudayaan Pertanian”. Diskusi ini diselenggarakan di Aula Balitro, Laiang, Solok, dihadiri oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Solok, Dinas Pariwisata Kota Solok, Dinas Pertanian Kota Solok, Komunitas Gubuak Kopi dan jaringan Daur Subur. Catatan ini melewati proses editorial Komunitas Gubuak Kopi dan disesuaikan untuk kenyamanan pembaca.
Artikel ini adalah transkrip percakapan sesi diskusi bersama Bapak Desmon (Bappeda Kota Solok) yang dicatat oleh Biki Wabihamdika pada Diskusi Terpumpun Pengembangan Platform Daur Subur sebagai Strategi Penguatan Ekosistem Kebudayaan Pertanian. Diskusi ini diselenggarakan di Aula Balitro, Laiang, Solok, dihadiri oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Solok, Dinas Pariwisata Kota Solok, Dinas Pertanian Kota Solok, Komunitas Gubuak Kopi dan jaringan Daur Subur. Catatan ini melewati proses editorial Komunitas Gubuak Kopi dan disesuaikan untuk kenyamanan pembaca.
–
[Pada FGD ini Komunitas Gubuak Kopi mengundang Representasi BAPPEDA Kota Solok untuk berdiskusi dan mendapat gambaran rencana pembangunan Kota Solok, jangka pendek dan jangka panjang, serta bagaimana strategi BAPPEDA dalam mengakomodir kepentingan warga, dan menempatkan posisi dalam melihat agenda bersama “Solok sebagai salah satu Hub Kebudayaan Pertanian. Sebelum sesi ini, Komunitas Gubuak Kopi memberikan review singkat pertemuan hari sebelumnya, pemetaan sementara dan gagasan pengembangan platform Daur Subur]
Pertama, terima kasih kami sampaikan kepada teman-teman dari komunitas dan seluruh pihak yang menggagas kegiatan kita pada hari ini. Kami melihat ini adalah sebuah forum yang sangat baik sekali dan sangat berharga sekali. Dan sebaik mungkin harus diperbanyak dan diperluas. Paradigma kedepan memang sudah harus seperti itu, pemerintah itu juga harus memposisikan dirinya tidak lagi sebagai pelaku, lebih kepada sebagai fasilitator. Kemudian, kebetulan kami di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Solok, sekarang kita dalam tahap proses penyusunan untuk dokumen perencanaan mau dibawa kemana Kota Solok ini dalam 20 tahun ke depan, dan yang terdekat adalah 5 tahun yang akan datang. Sebagai penggalan dari 20 tahun menuju Indonesia emas 2045. Sebetulnya kita juga merencanakan untuk bertemu dengan teman-teman komunitas itu sebelum bulan ini berakhir, tapi karena Walikota terpilih ini harus ikut retret, jadi diskusinya mungkin kita tunda setelah bulan Ramadhan.
[Di layar terpampang slogan kampanye walikota terpilih dengan poin-poin janji semasa kampanye]
Ini bukan kebetulan tapi ini disengaja menampilkan itu, sebab inilah yang akan ditagih oleh seluruh masyarakat Kota Solok dari usia nol sampai usia lanjut, dari apa yang disampaikan oleh Walikota ketika masih menjadi calon waktu masa kampanye. Jadi kita berhak menagih apa saja yang sudah dijanjikan, apa yang sudah menjadi visi misinya itulah nanti menjadi rujukan perencanaan kota atau lima tahun yang akan datang. Persoalan kemarin menjadi pendukung atau tidak pendukung, sudah tidak ada hubungannya. Sekarang beliau sudah menjadi walikota, maka apa yang diucapkan dulu itu adalah janji itu yang harus dipenuhi. Janji ini pulalah yang akan dituangkan dalam dokumen perencanaan dan akan dianggarkan dari APBD 2025-2029 dan menjadi ini visi-misi kota. Ini juga nantinya akan menjadi dasar dalam penyusunan dokumen perencanaan di setiap perangkat daerah yang ada.
Nah, penguatan pondasi transformasi menuju “Kota Serambi Madinah” ini sebetulnya selaras dengan visi nasional untuk lima tahun kedepan. Jadi ada transformasi, ada penguatan di situ, penguatan ada karena pondasinya kita anggap sudah terbangun selama 20 tahun yang lalu, sehingga yang diperlukan adalah penguatan. Jadi tidak ada hal hal baru yang akan diciptakan dengan menghilangkan yang lama, tetapi justru memperkuat pondasi-pondasi. Hanya saja mungkin ada perlu transformasi percepatan.
Berhubungan langsung dengan Undang Undang Nomor 58 Tahun 2024 tentang Kota Solok. Di Undang Undang tersebut, Pasal 5 nya sudah dijelaskan bahwasanya Kota Solok itu adalah kota yang bercirikan “Adat Basandi Sarak, Sarak Basandi kitabullah” Lanjutannya ada, “sarak mengato adat mamakai” Ini sudah menjadi paten. Jadi apa yang dibicarakan sebagai budaya pertanian dan segala macamnya, itu nanti akan menjadi “kearifan lokal” dan itu memang sudah akan menjadi karakter kota Solok. Karena sudah ditetapkan, dan negara pun akan mengakui. Jadi apa yang dibahas dan sampaikan oleh teman-teman, secara hukum itu sebetulnya sudah memiliki rumah dan payung hukum, dan kerangka dasar sebagai dasar pijakan.
Ada janji (janji walikota pada masa kampanye) yang disampaikan, untuk menyediakan ruang publik dan ruang kreativitas yang inklusif, adaptif, dan maju. Ruang kreatif, ruang publik, dalam artian ini bukan hanya menyediakan bangunan, tetapi juga ruang untuk kesempatan seluas-luasnya bagi elemen masyarakat – apalagi ada komunitas-komunitas, untuk lebih banyak berkontribusi terhadap pencapaian tujuan Kota Solok, akan kita apakan? untuk kegiatan masyarakatnya, untuk ketahanan budayanya, untuk ruang berekspresi dan segala macamnya. Nah, tinggal lagi sekarang membuat rumusan-rumusan seperti apa yang akan kita prioritaskan untuk mengisi ruang yang akan disediakan.
Kreativitas itu nanti harus menjadi arus utama, tidak hanya lagi menjadi pelengkap tetapi dia akan menjadi subjek, baik dalam bentuk kelompok kreatif maupun kreativitas yang muncul dari kreasi-kreasi secara individual, ada juga komunitas di situ, ada kelompok di situ, yang berpikir secara kreatif, secara independen dan segala apapun bentuknya untuk pelestarian budaya, untuk kesejahteraan masyarakat, untuk ruang berekspresi, dan segala macamnya. Apalagi sekarang, dengan berkembangnya konsep sociopreneur, entrepreneur sosial dalam bahasa kita. Nah, ini akan menjadi sebuah wilayah lagi, yang ada wadah seluas-luasnya wajib disediakan oleh pemerintah kota untuk 5 tahun yang akan datang.
Jadi apa yang disampaikan tadi dari Komunitas Gubuak Kopi, justru di situ nanti adalah rumahnya dan itu bisa ditagih ke Walikota. Bagi kami di Bappeda dan di Dinas Pariwisata berkewajiban untuk menyediakan ruang itu tanpa harus mengintervensi, dan tanpa harus diseragamkan seperti itu.
Saya tertarik tadi yang disampaikan oleh Ibu Wening, Persoalan ketahanan lingkungan keseimbangan ekologi. Kita sebetulnya sudah terjebak ke dalam pola berpikir yang seolah-olah maju atau seolah-olah modern, dan kita abaikan kearifan lokal yang justru nenek moyang kita itu berpikirnya sudah jauh kedepan. Kalau kita persempit ke Kota Solok misalnya, Sebelum orang berpikir tentang jaringan pengamanan sosial, Nenek moyang kita itu dulu sudah berpikir jauh tentang kelangsungan, ada harta pusako tinggi yang tidak bisa dibeli kecuali untuk hal: Mayat tabujua di tangah rumah, yaitu ketika ada anggota kaum yang meninggal dunia dan keluarga tidak memiliki biaya untuk pemakaman; Rumah gadang katirisan; Gadih gadang alun balaki, yaitu gadis tua belum bersuami; dan Mambangkik batang tarandam
Sayangnya ini pun juga mulai tergusur, mulai tergerus atas nama investasi, atas nama apa pun. Sehingga akibatnya apa? Banyak, akhirnya, justru kita yang harusnya sebagai pemilik properti, sawah ladang, dan segala macam, karena tidak punya apa-apa lagi, muncullah kemiskinan baru, muncul jadi pengemis dan segala macamnya. Maka, kita masih mendingan dibanding dengan kelompok atau suku suku yang lain. Nah, ini barangkali ini satu hal yang menarik juga untuk dikaji.
Kemudian fakta lain, dulu kenapa nenek moyang kita tidak mau irigasi mereka disemen? Karena ada ekosistem yang juga akan hidup di situ. Kami di Kabupaten Solok dulu sudah pernah mengkaji tentang eksploitasi yang berlebihan terhadap lahan pertanian, yang sudah menjauh dari kearifan lokal, yang hasilnya kasus kanker di Solok itu termasuk yang tertinggi. Kemudian penelitian teman-teman dari Balai Pertanahan, bahwa level kerusakan tanah sudah masuk level parah. Maka dari itu, memang sangat perlu upaya lebih kuat lagi, untuk mencegah atau mengatasi pencemaran. Itu mungkin bahasa teknis, kalau kita melihat sisi sosial, menurut hemat kami adalah gagasan-gagasan sudah dipresentasikan oleh Komunitas Gubuak Kopi mungkin sudah perlu kita pantik dan perlebar lagi.
Bagaimana dengan ketahanan budaya Solok? budaya pertanian yang mungkin juga sudah jauh berkembang, karena dulu dengan kereta api, Kota Solok ini jadi pusat transaksinya rempah. Ada gudang rempah di stasiun, barangkali kita perlu pikirkan lagi, sehingga bisa menjadi sebuah hal dan menjadi aktivitas kreatif yang berdampak ekonomi, tetapi juga sekaligus sebagai pelestarian nilai-nilainya. Barangkali mungkin itu, sebagai pengantar diskusi mohon maaf kalau sudah kepanjangan yang penting nanti kita berharap nanti dalam perumusan dukungan perencanaan kota 5 tahun kedepan kita diskusikan lebih lanjut sehingga masuk menjadi bahagian penting dalam dukungan perencanaan pembangunan Kota Solok.
Artikel ini adalah transkrip pengantar diskusi Wening Lastri (Pasar Papringan) yang dicatat oleh Biki Wabihamdika pada Diskusi Terpumpun Pengembangan Platform Daur Subur sebagai Strategi Penguatan Ekosistem Kebudayaan Pertanian. Diskusi ini diselenggarakan di Aula Balitro, Laiang, Solok, dihadiri oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Solok, Dinas Pariwisata Kota Solok, Dinas Pertanian Kota Solok, Komunitas Gubuak Kopi dan jaringan Daur Subur. Catatan ini melewati proses editorial Komunitas Gubuak Kopi dan disesuaikan untuk kenyamanan pembaca.
Catatan Diskusi Terpumpun – Pengembangan Platform Daur Subur sebagai Strategi Penguatan Ekosistem Kebudayaan Pertanian di Solok. Diskusi ini diselenggarakan oleh Komunitas Gubuak Kopi di Aula Balittro, Laing, Kota Solok pada 24-26 Februari 2025. Diskusi ini diikuti oleh anggota Komunitas Gubuak Kopi, Jejaring Daursubur, Balai Standar Instrumen Penelitian Tanaman Buah Tropika, Balai Standar Instrumen Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bappeda, Dinas Pariwisata (Bidang Kebudayaan), dan Dinas Pertanian kota Solok.
Pada pukul 09:00 di Rumah Tamera sudah tersedia kopi dan teh panas ditemani makanan olahan tanaman lokal yang dibuat oleh Ibu Sofni, tetangga kami. Satu persatu teman-teman berdatangan sambil berkenalan dan mengambil posisi ternyaman di halaman belakang Rumah Tamera. Pertemuan ini dibuka oleh Biahlil Badri memperkenalkan Komunitas Gubuak Kopi, yang difokuskan pada platform Daur Subur yang awalnya dimulai dengan lokakarya Kultur Daur Subur pada 2017 dan berkembang menjadi platform dan serial project seni hingga saat ini. Pada tahun ini, Komunitas Gubuak Kopi membuat satu lagi program turunan dari platform ini, yakni “Daursubur Akhir Bulan”.
Open lab atau pameran proses artistik berbasis arsip yang dilakukan di Rumah Tamera ini diinisiasi untuk menampilkan proses yang didapatkan selama lokakarya kepada publik. Open lab dibuka dengan pengantar oleh Albert Rahman Putra selaku koordinator project “Kurun Niaga #4 – How is the story told after it’s over?“, yang memperkenalkan aktivitas partisipan selama sepuluh hari terakhir. Open lab ini bukanlah merupakan hasil akhir melainkan proses dari pengarsipan itu sendiri. Sebelum project ini dimulai, Komunitas Gubuak Kopi melakukan pemetaan sederhana mengenai kelompok atau inisiatif-inisiatif warga berbasis kegiatan pengarsipan yang terdapat di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Riau. Menelusuri beragam medel praktik pengembangan arsip sebagai modal dalam pendidikan kontekstual di berbagai daerah.
Sabtu (19/10) Sebagai sebuah kesinambungan, kali ini Komunitas Gubuak Kopi bersama Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (kemendikbudristek) menyelenggarakan diskusi publik dengan tajuk “Jalan-Jalan Kecil Menuju Jalan Kebudayaan”. Diskusi ini menghadirkan Akbar Yumni (Tim Diskusi Dirjen Kebudayaan untuk Pemajuan Kebudayaan), Undri ,S.S, M.Si (Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah III), Dr. Desmon, M.Pd (Kepala BAPPEDA Kota Solok), dan Milda Murniati, S.Pd (Kepala Dinas Pariwisata Kota Solok). Diskusi ini dimoderatori langsung oleh Albert Rahman Putra dari Komunitas Gubuak Kopi.
Di hari kedelapan, di Jum’at yang cerah ini seluruh partisipan lokakarya Kurun Niaga diminta untuk merangkai proyeknya masing-masing. Hari ini dimulai dengan diskusi tentang proyek artistik untuk presentasi publik dalam bentuk open lab hari Sabtu. Partisipan diminta memikirkan konsep apa yang akan ditampilkan pada open lab nanti. Ada yang mulai mengumpulkan dokumentasi zaman kolonial, arsip tentang kejayaan masa lalu, dan diskusi dengan Akbar Yumni dan fasilitator Komunitas Gubuak Kopi tentang konsep apa yang sekiranya cocok dihadirkan ke ruang publik. Apa yang hendak ditampilkan ini tentunya bukanlah sebuah karya hasil akhir, melainkan modul proyek ataupun draft karya yang kelak bisa dilanjutkan secara kolaboratif di kolektif atau wilayah masing-masing partisipan.
Sokong Publisher adalah sebuah platform penerbitan buku terkait fotografi yang berbasis di Yogyakarta. Mereka sudah hadir sejak tahun 2018. Penerbit ini menyokong praktik artistik dan diskursif dalam langkah memantik pembahasan terkait fotografi secara berkelanjutan. Sokong mengutus Prasetya Yuda sebagai narasumber di project Kurun Niaga kali ini. Pras sudah pernah menerbitkan zine pada tahun 2014. Selepas kuliah, Pras dan kawan-kawan memutuskan mendirikan publisher untuk ruang penerbitan buku fotografi. Mereka belajar membuat publikasi digital dan editorial di tahun pertama. Menurut Pras, publikasi cetak membangun peristiwa sosialnya sendiri. Melalui zine jugalah Sokong Publisher akhirnya bisa terhubung dengan komunitas-komunitas di seluruh nusantara.
Di hari ke-6 lokakarya Kurun Niaga #4 ini kita kedatangan narasumber dari Bukittinggi. Ia adalah Maiza Elvira seorang pengajar ilmu sejarah di UIN Bukittinggi dan alumni peneliti di Departemen Sejarah UGM. Baru-baru ini Elvira menyelesaikan studi mengenai kebencanaan, wabah, dan kecurangan-kecurangan politik yang terjadi di masa lampau. Elvira membaca ulang arsip sebagai upaya penelusuran pengetahuan dan menggugat narasi yang dibentuk oleh kolonial. Pada sesi ini Elvira akan berbagi pengalaman penelitiannya mengenai pendayagunaan arsip dan sikap kritis terhadap arsip itu sendiri.