Angka-Angka yang Tak Sepadan

Pagi itu seperti sejumlah pagi sebelumnya di bulan Agustus, saya terbangun di kos-kosan kecil di Kelurahan Galur. Saya membuka jendela dari lantai tiga ini. Terlihat dari kejauhan kabut mengaburkan sejumlah gedung-gedung tinggi di berbagai arah. Jakarta penuh dengan polusi, tapi kali ini cukup parah. Sejak awal bulan, langit kota ini sungguh kelabu dan bahkan Jakarta dianugerahi kota dengan polusi terparah di dunia saat itu. Beberapa media membuat klarifikasi, bahwa polusi yang terjadi tepatnya adalah polusi yang dibawa oleh Tangerang dan beberapa kota satelit lainnya yang mengitari Jakarta. Sumber polusi terparah adalah kawasan-kawasan industri dan kebijakan yang didesak agar diberlakukan adalah work from home (WFH). Ya.

Selain kabut, langit Jakarta juga dimeriahkan oleh beberapa helikopter yang beriringan membawa bendera “Latihan”. Belakangan saya tahu bahwa itu adalah persiapan selebrasi hari kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus.

Di pagi menuju siang itu, di lantai tiga, melihat sekitaran masih saja memusingkan. Kelabu yang menutupi matahari lebih membuat mata silau. Saya turun ke bawah.

Di depan kos-kosan saya terdapat sebuah gang, namanya Gang Enam. Saya geser ke kanan sedikit, langsung sampai di markas Karang Taruna RW 7. Selain berkeliling kampung, saya juga sering menghabiskan waktu di sini. Tempat ini menjadi salah satu tempat berkumpul para tetangga. Mulai itu anak-anak, remaja, bapak-bapak, dan ibu-ibu. Menjelang Ashar, lokasi ini akan segera ramai. Anak-anak sudah pulang sekolah, beberapa siap-siap mengaji. Sedangkan para remaja, ibu-ibu, dan bapak-bapak bersantai sore.

Galur adalah sebuah kelurahan di Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat, yang penuh dengan beragam aktivitas warganya. Kelurahan ini cukup padat, ramai lalu-lalang, beragam profesi, dan banyak aktivitas lainnya. Yang pasti, makanan berat ataupun makanan ringan bisa kita temukan di mana-mana dengan harga terjangkau. Secara demografis, warga Galur paling banyak merupakan keluarga para perantau, baik itu dari Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, sekitaran Jakarta, dan lainnya. Setiap warga pun punya kisahnya sendiri dengan Galur, begitupun saya.

Saya datang ke Galur dalam agenda yang difasilitasi oleh Pekan Kebudayaan Nasional. Saya hadir sebagai bagian dari Komunitas Gubuak Kopi. Selain saya, ada tiga kawan lainnya, yakni Hafizan, Biahlil Badri, dan Zekalver Muharam. Kami diminta untuk melakukan riset, residensi singkat, dan mengembangkan praktik kami di lokasi ini. Kami sangat senang dengan perjodohan ini. Kami pun tertarik memeriksa perspektif modern yang selama ini ramai berkembang menjadi stigma terhadap kampung kota.

Dalam perspektif modernitas, kampung kota sering kali disematkan berbagai tuduhan negatif; entah itu sebagai wilayah yang tidak terencana atau bagian yang liyan dari kota. Ia dituduh sebagai tempat bermasalah, tidak higienis, rawan kriminal, dan lain sebagainya, sehingga seolah ia harus dikritisi dan diatasi. Perspektif modernitas pun tak jarang melihat kawasan ini sebagai tempat yang terjangkau bagi kaum migran yang baru datang dari kota atau daerah lain untuk melakukan adaptasi kehidupan urban (Clifford Jamez Geertz, 1965).

Bisa kita lihat juga bagaimana pemerintah membaca kotanya. Pada tahun 2014, Badan Pusat Statistik DKI Jakarta mencatat Indeks Potensi Kerawanan Sosial (IPKS) Galur berada di posisi paling rawan dibandingkan dengan 266 kelurahan lain di Jakarta (BPS, DKI Jakarta, 2014). Pada tahun 2020, Galur berada di posisi ketiga (IPKS, BPS, DKI Jakarta, 2020). Pada pengantarnya, pemerintah melihat urbanisasi telah berdampak besar pada pembangunan dan perekonomian, namun juga dapat meningkatkan risiko kerawanan sosial. Dalam hal ini, kerawanan sosial yang dimaksud diukur dalam sejumlah variabel, antara lain jumlah penderita pada KLB Demam Berdarah Dengue dalam setahun; frekuensi terjadinya banjir dalam setahun; jumlah lokasi kumuh; jumlah pemukiman ilegal; tingkat kepadatan penduduk; jumlah rumah ibadah; jumlah kejadian tawuran dalam setahun; dan jumlah kejadian kriminalitas dalam setahun.


Sebagian besar hasil IPKS memang menempatkan posisi kampung-kampung atau kelurahan yang padat sebagai sumber masalah, jadi tidak heran stigma di atas hadir begitu saja. Saya sendiri tidak yakin penelitian-penelitian seperti ini masih relevan atau tidak. Sejauh mana data ini diambil dengan cara yang tepat dan diuji? Atau lebih tepatnya, saya tidak begitu percaya ketika ruang hidup dan manusia dilihat berdasarkan angka dan rata-rata.

Sebagian besar wilayah Galur tidak pernah banjir. Atau setidaknya dalam ingatan warga, hal tersebut tidak pernah terjadi selama 10 tahun terakhir. Soal tawuran, harus saya sampaikan juga, sekitar satu bulan di Galur saya menyaksikan tiga kali tawuran. Hanya saja, saya masih bingung bagaimana BPS menghitungnya. Apakah ia menanyakannya? Apakah memantau melalui CCTV yang jumlahnya terbatas? Apakah tim BPS melihat sebuah tawuran di sebuah lokasi, maka peserta atau pelakunya lantas pasti dari lokasi itu?

Saya ingat beberapa kali Subuh, sejumlah remaja menepi di sebuah gang dekat Jalan Raya, Pangkalan Asem. Jalan ini adalah batas Kelurahan Galur dengan Cempaka Putih. Mereka duduk diam, saling menatap, seperti mengintai sesuatu dan menunggu waktu yang tepat. Di sebuah warung madura yang buka 24 jam, saya nongkrong dan bertanya,

“Itu pada ngapain?”

“Biasa, tawuran.” jawab salah seorang kawan.

“Itu anak mana? Gak kita lerai?”

Kawan-kawan pemuda yang nongkrong di warung pun saling bertanya-tanya dan menebak siapa yang ada di sana dan datang dari lokasi mana.

“Jarang sih bang, yang anak sini.” Kalimat ini sering saya dengar, khususnya dari warga di lokasi-lokasi yang distigma tempat tawuran, entah itu di Galur, Cempaka Putih, Jakarta Utara, atau luar Jakarta. Sebab tawuran dalam konteks anak muda hari ini sering kali terjadi di tempat di luar area tempat tinggal mereka. Saya tidak tahu sejauh mana tim statistik memahami soal ini, tidak ada keterangan soal itu dalam laporannya. Warga menyebutkan beberapa nama kelompok. Nama-nama itu adalah nama-nama gang (lorong/jalan) yang sekaligus nama “gang” (geng/komunitas). Setiap nama itu punya akun Instagram, yang belakangan diprivasi, hanya orang-orang tertentu saja yang bisa bisa mengakses unggahan mereka. Beberapa di antara kawan saya bisa akses. Setiap aksi direkam dan ditayangkan secara langsung di Instagram. Semua berlangsung cepat dan saya pun belum berani untuk mendekat.

***

Stigma mengenai kampung kota, barangkali juga seperti yang dikutip oleh RUJAK pada buku “Kenal Kampung Kota”, menurut salah satu institusi besar dunia, World Bank (2013): ”permukiman kumuh sebagai produk dari kebijakan yang gagal, pemerintahan yang buruk, korupsi, regulasi yang tidak harmonis, pasar yang disfungsional, sistem keuangan yang tidak responsif dan kurangnya kemauan politik. Memperbaiki kawasan kumuh sebagai solusi potensial – dilengkapi dengan reformasi dan perbaikan sektoral.” Kesimpulan-kesimpulan ini cukup mengerikan, tapi memang perlu kita renungkan bahwasanya ada sejumlah peristiwa yang mengantarkan kita pada situasi itu. Ada lembaga-lembaga negara yang penting untuk membenahi diri. Dalam logika itu, jika ekonomi baik dan regulasi terliterasi dengan baik, maka tidak ada yang perlu rebutan di sela-sela gang. Tapi sebaliknya, yang kita tangkap justru adalah upaya mencari kambing hitam. Bukankah istilah IPKS sebaiknya berganti menjadi “Wilayah yang Terdampak Kegagalan Kebijakan”?

***

Di antara polusi dan panasnya Jakarta, gang-gang Galur selalu menjadi tempat yang sejuk, bersama angin-angin yang menyusuri gang. Tapi ada lagi gang-gang lebih sempit, yang kalau berpapasan salah seorang harus mengalah untuk menyandar di tembok. Gang ini kadang terasa pengap, apa lagi kalau aroma kotoran kucing tidak segera diatasi. Tapi lorong-lorong ini menambah keintiman lainnya; seolah puluhan keluarga disatukan di satu rumah besar dengan banyak kepala keluarga. Saling kenal, akrab, saling membantu, saling pinjam peralatan, saling berbagi masakan dan tidak perlu merasa sendirian.

Galur juga menjadi tempat yang sejuk bersama makanan-makanan lokal yang enak dan harga terjangkau. Es Krim Cincau, Es Sumsum, Es Podeng, Es Kemong, Es Teh Gaul, dan lain-lain.

Stigma-stigma lainnya soal Galur adalah tentang bentuk pemukiman swadaya yang dibangun oleh para penghuni yang sering kali tidak mengikuti ketentuan-ketentuan bangunan formal pemerintah dan tradisi akademik. Alhasil, lahirlah pemukiman-pemukiman yang vernakular. Permukiman informal ini cenderung memiliki simbolis negatif bagi kapitalisme yang ingin mengontrol citra perkotaan untuk tujuan penjenamaan dan ketertiban yang dianggap legal (Dovey dan King, 2012).

Suatu malam, saya berkeliling dengan seorang kawan dan minta ditunjukkan jalur paling efektif untuk mencari ketoprak. Seminggu awal, saya masih kesulitan menghafalnya. Tapi tentu saja itu adalah fase yang normal. Beberapa kawan juga menerangkan soal jalur-jalur yang dipagari besi, jalur-jalur yang dulu sering dilewati remaja tawuran. Tak lupa, mereka menunjukan jalur-jalur tawuran yang baru. Suatu kali saya penasaran pada gang senyum. Saya tidak pernah diajak lewat jalan itu. Ternyata gang itu sudah buntu karena ada bangunan baru di dalamnya; rumah.

Pembangunan terus berlanjut, beragam peralatan pun dikondisikan untuk bisa bekerja baik di medan seperti ini. Gerobak-gerobak angkut material dibuat ramping, skill bermain katrol haruslah sangat terlatih berikut dengan skill lainnya. Sangkar-sangkar burung pun dibuat ramping.

Selain burung-burung yang terkurung dan menghibur warga gang, anggota ekosistem lainnya yang menarik perhatian dari gang-gang di Galur adalah kucing-kucing dan tikus yang jumlahnya sangat banyak. Tapi jarang sekali ada adegan kucing mengejar tikus di sini. Tikus di sini secara fisik ukurannya hampir mengimbangi kucing. Beberapa kali saya coba memperhatikan dua jenis makhluk yang juga melihat Galur sebagai ruang hidup mereka. Saya bisa membayangkan keseruan mereka di Galur; lompat ke sana kemari, atap ke atap, berlarian gang ke gang, tidur di atas motor, rak sepatu, dan pagar tembok. Sementara tikus-tikus menyelinap di selokan, memantau sisa-sisa makanan dan orang-orang yang lalu lalang. Seperti tetangga yang canggung, mereka pun tidak takut berpapasan dengan orang-orang ataupun sedikit berisik di sekitaran tongkrongan manusia.

Kucing-kucing paling ramai di gang yang lebih sempit, yang disebut oleh kawan-kawan sebagai labirin. Gang ini memang sangat sempit, sulit untuk berpapasan. Kadang kita melewati dapur para tetangga sehingga dia harus mundur sejenak agar kita bisa lewat. Suasana di sini cukup gelap di siang hari; celah-celah cahaya pun kesulitan menumbuhkan lumut. Sirkulasi udaranya juga agak sedikit pengap, apa lagi banyak kucing-kucing yang tidak terlatih untuk membuang kotoran di tempat yang tidak mengganggu. Dan ini hanya secuil aspek yang menarik perhatian saya.


Pada tahun 2017, pemerintah satu persatu mendirikan sebuah ruang yang disebut “Ruang Interaksi”. Walaupun ruang ini tidak menjadi pilihan utama untuk nongkrong, tapi ruang ini sering dipakai untuk tidur. Beberapa kali warga juga melakukan sejumlah aktivitas sosial di sini, seperti arisan, majelisan, dan lain sebagainya. Beberapa warga tidak memiliki cukup ruang tidur di rumah. Maka tak jarang anak-anak remajanya pun tidur di luar atau di Ruang Interaksi. Kadang mereka bergantian atau memilih begadang. Dan salah satu hiburan segelintir remaja adalah tawuran.

Sebenarnya, istilah ‘tawuran’ jarang dipakai. Biasanya, para remaja menyebutnya ‘COD-an’, ‘jadiin yuk’, dan lain-lain. Mereka terhubung melalui media sosial, menyepakati jam dan lokasi, lalu menguji adrenalin.

Selain Ruang Interaksi, adalagi Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA). Lokasi ini hadir dalam bentuk bangunan dua lantai. Lantai atas menjadi ruang yang lapang, di bawahnya terdapat perpustakaan dan semacam sekretariat, lalu ada lapangan yang diisi dengan beragam peralatan main anak-anak seperti seluncuran, tangga melingkar, buaian, dan permainan yang lazim kita temui di PAUD. Sejumlah anak cukup sering memanfaatkan tempat ini. Beberapa orang tua juga mengajak bayi mereka di sekitaran sini. Anak-anak yang main di sela-sela gang tentu saja jauh lebih banyak. Mereka bisa memanfaatkannya secara bergantian. Dari cerita-cerita warga, lokasi RPTRA ini dulunya adalah tempat yang seru untuk merayakan 17an dengan tarik tambang, panjat pinang, dan berbagai lomba lainnya. Tetapi hari ini sudah hadir RPTRA yang lantainya didominasi corcoran semen dan sekelilingnya dipagari tinggi-tinggi. Barangkali perancang ingin melindunginya dari sesuatu.

***

Tak jauh dari Gang Enam, saya diajak bertemu seorang lelaki paruh baya. Ia disapa Cang Cudin. Nama aslinya adalah Syamsudin. Ia tampak sudah mengetahui sedikit profil kami, rupanya beberapa kawan sudah bercerita tentang kehadiran kami. Begitupun kami sudah mendapat sekilas profilnya dari sejumlah warga. Ia juga tidak keberatan dikenali sebagai pertu alias preman tua karena semua orang sudah mengamini hal itu. Sebelumnya ia aktif berkegiatan sebagai preman dan juga seniman di Senen. Sungguh seru menyimak cerita-cerita Cang Cudin. Saya langsung bisa membayangkan kumpulan cerpen “Keajaiban Pasar Senen” karya Misbach Yusa Biran yang saya beli beberapa minggu lalu.

Cang Cudin bercerita bahwa ia bersama beberapa orang kawan pernah terlibat mengaktivasi kegiatan teater di wilayah Senen. Salah satu rekannya itu adalah Pak Manock. Dua orang ini juga punya keinginan untuk mengembangkan teater di Galur. Sekitar tahun 1995, menurut Cang Cudin, banyak temannya yang meninggal dan sakau gara-gara putaw atau heroin. Ia merasa beruntung tidak terjerumus lebih jauh. Tapi ia melihat waktu itu setelah Senen sudah dikuasai narkoba, Galur menjadi target berikutnya. Ia bersama Pak Manock mendirikan kelompok teater, mengaktivasi Gedung Karang Taruna sebagai tempat latihan bersama. Walaupun sekarang Cang Cudin tidak begitu aktif lagi di teater, tapi ia dulu berperan penting dalam menjaga kawasan itu untuk tidak dimasuki narkoba kelas berat tadi. Menariknya, teater juga menjadi suatu kecintaan mereka berdua. Kelompok itu ber-regenerasi, meraih puluhan penghargaan, bahkan dalam satu kelompok ada anak, bapak, ibu, dan kakak-kakaknya.

Menurut Cang Cudin, teater mampu mengasah intelektual dan emosional teman-temannya, serta teater adalah sumber yang bisa mereka jangkau kala itu.


Bagi saya, kehadiran teater yang cukup masif di sini adalah sebuah kejutan. Puluhan remaja, bapak-bapak, dan ibu-ibu berkumpul di sini. Mereka berlatih bersama. Dalam kelompok yang berbeda-beda, mereka menggunakan ruang Karang Taruna bersama-sama. Ruang yang tidak kecil ini katanya tahun depan akan dibuat lebih bagus atas dukungan banyak pihak.

Di sini, teater bukan praktik yang asing lagi. Pikiran Cang Cudin mengenai teater dan upaya membenahi kampungnya sungguh menarik. Fenomena umum yang paling sering terjadi sekarang adalah latah alih fungsi kampung sebagai objek yang perlu ditata sebagai pariwisata, entah itu dibuat warna-warni, tematik, dan lain sebagainya. Hal semacam ini tidak jarang membuat kita terjebak dalam memposisikan kampung yang dihias sebagai “wisata kemiskinan”. Tidak jarang warga pun menjadi bagian dari lanskap yang dipakai untuk berswafoto. Tentu “pariwisata” melihat peluang ekonominya; warga bisa berjualan, bisnis homestay, sewa rumah, dan lain sebagainya. Tapi sejumlah kultur akhirnya harus menyesuaikan dan ruang-ruang privat menjadi publik yang kemudian menimbulkan persoalan-persoalan baru.

Merujuk pada pidato Melani Budianta di Pidato Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta (2020), selain stigma-stigma yang bermuatan negatif tentang kampung kota yang dilabeli sebagai sejenis kesalahan kebijakan, terdapat juga istilah-istilah yang bermuatan positif. Kita mengenal istilah “pulang kampung” dan “kampung halaman” yang bermakna positif baik sebagai ruang aman, nostalgia, jajanan murah, dan kerinduan pada hal-hal baik, termasuk semangat keberagaman etnis yang sering kali memasukkan struktur sosial dari pulau atau tempat asal. Melani Budianta juga menyatakan bahwa menarik melihat potensi kampung yang menyajikan eksistensi ala kampung itu sendiri sebagai penawar penyakit sosial ala kota: individualisme, keserakahan materil, ketidakpedulian, dan lain sebagainya. Di saat yang sama, kita pun dapat memaknai segala kelemahan kampung sebagai internalisasi sikap-sikap urban seperti transaksional, penyekatan, dan lainnya.

 ***

Galur adalah sebuah ruang hidup yang dinamis dan bersahaja dalam beragam interaksi sosial di dalamnya. Proses memahami kampung kota ini tentu tidak cukup hanya sekedar mengetahui sejarah, cerita, dan model-model bangunan semata, tetapi juga membutuhkan proses yang melibatkan observasi, eksplorasi, mengalami dan mendengar refleksi dari berbagai pihak yang hidup di dalamnya. Dalam kehadiran Komunitas Gubuak Kopi di sini, kami mendorong keterlibatan warga sebagai aktor utama dalam mengidentifikasi persoalan dan potensi sendiri, melakukan self-research/otokritik dan merespons persoalannya secara mandiri melalui praktik artistik yang sederhana.

Proyek ini dikembangkan dari proyek Daur Subur, sebuah platform studi yang digagas oleh Komunitas Gubuak Kopi sejak tahun 2017. Platform ini mengkaji kebudayaan yang berkembang di masyarakat pertanian dan praktik-praktik kolektif melalui proyek seni sebagai media. Studi ini meliputi upaya pemetaan dan mengkaji isu-isu yang berkembang di masyarakat melalui sejumlah kegiatan seperti lokakarya, proyek seni, pameran, pengarsipan, dan lainnya. Daur Subur berupaya menggali aspek pengetahuan dari berbagai peristiwa kebudayaan dan mengemasnya untuk memahami persoalan hari ini.

Secara spesifik, proyek ini berupaya mengidentifikasi ruang guyub dan organ penggerak dalam membicarakan keselamatan bersama. Ia pun berupaya mengaktivasi kebiasan baik dan mengalihkan energi solidaritas dalam menjalankan sistem keamanan lingkungan kampung. Keamanan dalam hal ini tidak terbatas pada kejadian darurat dan kriminal, tetapi juga memperkuat inisiatif warga menjaga keberlangsungan ruang hidup yang aman dan nyaman. Selama proses residensi, Komunitas Gubuak Kopi dan warga merancang sejumlah lokakarya dan diskusi. Warga Galur mendokumentasikan kampunya dari sudut pandang warga sendiri, memanfaatkan telepon genggam, dan mendistribusikannya melalui platform Instagram yang kami namai @tuturgalur.


Proses ini berlangsung selama kurang lebih satu bulan. Diikuti remaja, anak-anak, ibu-ibu dan bapak-bapak. Selain nongkrong dan menikmati jajanan, aktivitas baru kami adalah menyimak warga yang terlibat tengah merekam dan menuturkan kembali memorinya bersama Galur. Sungguh pengalaman yang memperkaya diri dan tentu akan sulit dikomparasi dengan data statistik BPS. Saya menemui Ibu Lies di halaman SKKT (Sasana Krida Karang Taruna), ia sedang mengambil gambar beberapa tanaman di halaman gedung pemuda itu. Ia menoleh dan sedikit malu. Ia memperlihatkan tangkapan gambarnya, dan bercerita bahwa ia senang dengan kebiasaan baru ini. Ia menambahkan, di rumahnya terdapat sejumlah tanaman. Ia menceritakan beberapa jenisnya, semisal pohon pisang kecil di depan rumah, pisang itu belum terlalu besar, tapi daun-daunnya sudah biasa diminta oleh para tetangga untuk bungkus makan, begitu juga sejumlah tanaman lainnya.

Sebetulnya mengambil gambar dengan telepon genggam tentu saja bukan hal baru bagi Ibu Lies. Ada banyak foto pribadi di galeri handphone-nya, foto anak, cucu, rumah, dan lain-lain yang biasa ia bagikan di grup-grup keluarga atau diunggah di media sosial pribadinya. Dalam hal ini, Tutur Galur adalah “agenda lain” yang juga menarik untuk ia kerjakan. Mengamati sekitar kita, membicarakannya dari sudut pandang kita sebebas-bebasnya, baginya adalah semacam aktivitas yang ia senangi dan belum sempat ia temui ajangnya. Berbagi dengan kesadaran akan dikonsumsi publik yang lebih luas lagi, entah itu tetangga, warga Galur, ataupun publik yang tidak pernah ia prediksi. Ia berbisik kepada saya, ia sangat senang melakukan aktivitas ini, walau sudah cukup tua. Ini adalah kesempatan untuk bernostalgia dan berbagi cerita, pengalaman, dan pengetahuan pada siapa saja. Semacam obat. Lebih dari itu, warga melihat diri sendiri, membacanya, dan menyadari tindakan yang perlu ia lakukan kedepannya.

***


Oktober 2023, saya datang lagi ke Jakarta bertemu kawan-kawan Galur. Mereka mengajak kami berkumpul di Taman Ismail Marzuki, Cikini. Malam itu akan ada pengumuman anugerah Festival Teater Pelajar yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta. Saya di sana bertemu para remaja, anak muda, ibu-ibu, dan bapak-bapak. Bersama-sama, sorak-sorai, menyemangati remaja Galur yang terlibat di festival itu. Seperti beberapa tahun terakhir, kelompok dari Galur selalu menjadi nominasi 5 terbaik. Kali ini kelompok teater Ganar dari Galur meraih juara II sebagai grup terbaik.

Sorak-sorai kami lanjutkan di SKKT, tempat biasa kami berkumpul. Pak Manock dan kawan-kawan bercerita tentang rencana Festival Budaya Galur yang akan diselenggarakan pada akhir Oktober ini. Semua berjalan lancar dan mendapat dukungan dari banyak pihak. Festival ini sebenarnya telah dicita-citakan beberapa tahun lalu dan telah diupayakan beberapa bulan terakhir. Akan ada lima titik yang tersebar di berbagai RW. Setiap titik terdapat pertunjukan teater warga Galur, kolaborasi dengan seniman lain, pertunjukan tari, dan pesta lainnya. Pak Manock memulainya dengan mengumpulkan dan mengunjungi sejumlah kawan-kawan yang ia yakin dapat memperbesar jangkauannya. Baik itu Ketua RW, kelompok-kelompok teater, dan warga lainnya. Kawan-kawan tersebut diajak untuk mengidentifikasi lagi kebiasaan dan praktik-praktik yang ada di masing-masing wilayah serta kemungkinan-kemungkinan untuk dirayakan dalam festival ini, termasuk kesenian-kesenian yang memungkinkan untuk ditampilkan.

Saya ingat beberapa bulan lalu, Pak Manock juga mengumpulkan sejumlah ibu-ibu di kelurahan, khususnya ibu-ibu PKK yang tertarik untuk berteater. Mereka diajak untuk membentuk kelompok teater khusus ibu-ibu. Kata Pak Manock, sekarang mereka sudah berproses dan bersiap untuk tampil bersama kelompok lainnya. Tentunya, festival ini nantinya juga akan diramaikan oleh ragam kuliner yang tersebar di Galur. Dramaturgi gerakan ini diatur-upayakan bersama-sama, mengabaikan segala stigma dan hitungan angka BPS yang tak sepadan. Kata Pak Manock, ya, kita berfokus pada tujuan bersama, Kampung Teater, Kampung Budaya.


Penulis: Albert Rahman Putra
Gambar: Serial Ilsustrasi Galur oleh Hafizan

Albert Rahman Putra, biasa disapa Albert, adalah seorang penulis, kurator, dan pegiat budaya. Merupakan lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang, dengan fokus studi pengkajian seni karawitan. Dia adalah pendiri Komunitas Gubuak Kopi dan kini menjabat sebagai Ketua Umum. Albert aktif sebagai penulis di akumassa.org. Ia juga memiliki minat dalam kajian yang berkaitan dengan media, musik, dan sejarah lokal Sumatera Barat. Manager Orkes Taman Bunga. Tahun 2018 bersama Forum Lenteng menerbitkan buku karyanya sendiri, berjudul Sore Kelabu di Selatan Singkarak. Ia merupakan salah satu kurator muda terpilih untuk program Kurasi Kurator Muda yang digagas oleh Galeri Nasional Indonesia, 2021.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.