Bakajang dalam Empat Babak

Jika secara umum masyarakat muslim Indonesia hanya merayakan lebaran Idulfitri selama dua hari, di Nagari Gunuang Malintang, Kecamatan Pangkalan, Limopuluah Kota, Sumatera Barat, lebaran berlangsung cukup panjang dan meriah. Biasanya warga akan memanfaatkan lebaran hari pertama untuk berkumpul dengan keluarga-keluarga terdekat, pada hari kedua keluarga kecil manjalang mamak (menyapa paman-paman) dan pada hari ketiga hingga hari ke-delapan adalah waktu-waktu untuk kampung: Bakajang.

Bagi warga Gunuang Malintang, Bakajang yang dimaksud adalah tradisi manjalang niniak mamak (silaturahmi pada pemuka adat) antar jorong. Tradisi ini selalu diawali dari Jorong Koto Lamo, yang dianggap wilayah awal dari sebelum Nagari Gunuang Malintang sebesar ini. Selaku tuan rumah, Koto Lamo akan menghias surau mereka sedemikian rupa, untuk menyamput niniak-mamak dari jorong-jorong sebelah, dan menyebut surau ini sebagai istano. Pada niniak-mamak tetangga datang diantar rombongan anak muda jorong masing-masing menggunakan kajang (sampan) ke Koto Lamo. Sampan-sampan tersebut dihias sedemikian rupa, dan selalu ditonton warga ketika melintasi sungai Batang Maek. Warga bersorak, dan selalu antusias menyaksikan tradisi Bakajang (menggukanan kajang) ini setiap tahunnya. Silaturahmi berlanjut ke jorong-jorong berikutnya secara bergantian. Dan warga pun siap merayakan silaturahmi Idul Fitri ini di sungai.

Niniak Mamak dan pemuda kaum menginginkan kajang-kajang ini dinilai dan diaprisasi dengan piala bergilir. Sejak tahun 2019, saya dan kawan-kawan Komunitas Gubuak Kopi pun mulai terlibat dalam perhelatan ini, baik jadi teman diskusi ataupun sebagai tim penilai. Video-video ini adalah sejumlah sudutpandang dokumentasi saya terhadap Alek Rayo (Pesta Lebaran) Bakajang pada tahun 2022, selamat menonton.

Sorak Sorai Menuju Sungai

Sepuluh sampai lima belas hari menjelang hari raya Idul Fitri, warga Nagari Gunuang Malintang telah sibuk menyiapkan sejumlah atribut tradisi silaturahmi tahunan mereka. Atribut ini menjadi representasi nilai kolektif warga dalam menghormati niniak mamak (pimpinan adat) dan persaudaraan antar kampung. Selain menghias surau masing-masing, warga yang khususnya pemuda, akan mengangkat “kajang” (sampan) yang telah dihias, yang secara kias digunakan niniak mamak dalam bersilaturahmi ke kampung-kampung tetangga. Hal serupa juga dilakukan oleh kampung-kampung tetangga pada hari raya Idulfitri ketiga, hingga beberapa hari kedepan. Dengan bangga warga menghadiahi peristiwa itu dengan “kapal-kapal” yang sedemikian rupa. Lebaran kampung segera dimulai!

Kendaraan Kaum

Kajang dalam bahasa sejari-hari di Minangkabau adalah sebuah sampan yang dipakai warga menyusuri sungai. Dulu biasa digunakan warga ketika sungai masih menjadi jalur transportasi utama. Ia juga kendaraan untuk nelayan sungai menangkap ikan. Ketika lebaran tiba warga Nagari Gunuang Malintang yang terhubung oleh sungai Batang Maek akan menyiapkan sebuah kajang khusus, untuk mengantar niniak mamaknya ke kampung-kampung tetangga. Tradisi silaturahmi “bakajang ini” berlaku di lima kampung/jorong, antara lain: Koto Lamo, Batu Balah, Koto Mesjid, Bancah Lumpur dan Baliak Bukik. Kajang khusus ini tadinya hanya sampan yang diberi atap jerami, kadang rumbio, kain, dan sebagainya, dan terus berkembang hingga hari ini. Penyiapan kajang ini dipercayakan pada anak muda di kaum tersebut, dan mereka bebas berkreasi sesuai keinginan mereka. Belakangan pemuda menjadikannya pesiar!

Nanti, setelah dari sungai kita kembali lagi ke surau…

Di Minangkabau, secara konsep, selain soal keagamaan, surau juga menjadi pusat aktivitas kerakyatan, termasuk dalam Alek Bakajang. Pada perayaan alek, surau menjadi tempat para niniak mamak bersilaturahmi dan melakukan seremoni adat, tempat anak-anak muda berkumpul, bermain panjat pinang, dan lainnya. Pada hari-hari sebelum Bakajang, biasanya anak-anak muda mempersiapkan kajang-kajangnya di sini, memainkan bunyi-bunyian, dan menghias surau secaa gotong-royong. Masing-masing warga meminjamkan kain-kain dan bunga-bunga agar surannya menjadi lebih bagus.

Bagadang

Bagadang (begadang) bagi masyarakat Nagari Gunuang Malintang adalah masak dan makan bersama-sama sembari merayakan sesuatu. Bagadang menjadi momen yang selalu mengesankan, momen-momen berbagi cerita-cerita. Mulai dari cerita-cerita remeh, cerita di perantauan dan rencana-rencana kedepan. Bagadang juga menjadi semacam penutup tradisi silaturahmi Alek Rayo Bakajang yang tidak formal, bagi warga masing-masing Jorong di Nagari Gunung Malintang. Biasanya satu hari setelah bakajang secara adat selesai, setelah bagadang selesai, para pemuda kembali ke perantauan.

Albert Rahman Putra, biasa disapa Albert, adalah seorang penulis, kurator, dan pegiat budaya. Merupakan lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang, dengan fokus studi pengkajian seni karawitan. Dia adalah pendiri Komunitas Gubuak Kopi dan kini menjabat sebagai Ketua Umum. Albert aktif sebagai penulis di akumassa.org. Ia juga memiliki minat dalam kajian yang berkaitan dengan media, musik, dan sejarah lokal Sumatera Barat. Manager Orkes Taman Bunga. Tahun 2018 bersama Forum Lenteng menerbitkan buku karyanya sendiri, berjudul Sore Kelabu di Selatan Singkarak. Ia merupakan salah satu kurator muda terpilih untuk program Kurasi Kurator Muda yang digagas oleh Galeri Nasional Indonesia, 2021.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.