Saya sempat membaca sebuah buku karangan Buya Hamka, judulnya Falsafah Ketuhanan (Gema Insani, 2020). Ada tiga jalan yang bisa kita tempuh dalam mencapai dan mencari kekuasaan Tuhan. Untuk apa? untuk menjawab pertanyaan yang tak mampu dijawab manusia. Tiga jalan itu ialah jalan seni, jalan ilmu, dan jalan tasawuf. Melalui jalan seni kita terlebih dahulu memuji ciptaan Tuhan, kita menikmati hantaran laut yang sangat luas, langit yang sangat tinggi, suara yang khas dan enak didengar. Di antara waktu-waktu tersebut kita bertanya siapa yang telah menciptakan ini? Akal kita sampai pada puncaknya: menanyakan Dia. Kita menikmati segala hal yang telah Ia ciptakan dan kita telah tahu Penciptanya, kita harus mensyukuri dan mendekatkan diri. Juga banyak hal caranya.
Pendekatan dengan Tuhan bisa melalui musik, halnya dilakukan oleh Aldo Ahmad, setidaknya begitu yang ia sampaikan. Musik telah membuatnya mengenali dirinya sendiri untuk lebih mengenali Tuhannya. Berawal dari 2019, Aldo diberikan kesempatan untuk mengikuti festival musik di Tokyo, Jepang. Saat itu Aldo belum tahu instrumen apa yang akan ia bawa dengan berat maksimal 20 kg. Aldo memutar otak dalam proses ini, yang penting unsur kebudayaan harus tetap ada. Ia menemui banyak pihak untuk mengulik jenis-jenis instrumen. Berbagai jenis besi ia pelajari. Direkonstruksinya lah sebuah instrumen dari berbagai besi yang diberi nama ‘Tasauf’ (merujuk pada kata tasawuf) sebagai refleksi dari tassa: alat musik pukul menyerupai rebana asal Pariaman, Sumatera Barat. Bentuknya seperti wajan dengan judul karya “Masak” ditampilkan saat festival di Jepang. Kenapa masak? Sebagai anak perantauan dan tinggal di kos, perut adalah hal yang paling utama. Tidak ada toleransi terhadap perut. Perut harga mati dan ada harga ketika diberi makanan melalui masakan. Jadi masak-masak sangat penting.
Kemudian, ia presentasikan lagi karyanya di Rumah Tamera – Komunitas Gubuak Kopi, Kota Solok pada Kamis, 3 Maret 2022 sebagai bagian dari program showcase tour Aldo Ahmad dan Tamera Showcase. Program ini dilakukan guna mendapatkan tanggapan-tanggapan mengenai eksperimentasi musik garapan Aldo Ahmad, serta menjalin silaturahmi dengan kolektif seni di Sumatera Barat. Setelah ini ia akan tour ke beberapa kota di Sumatera Barat, seperti Padang, Pariaman, Padang Panjang, Bukittinggi, dan Pasaman. Alur tour ini disesuaikan dengan perjalanan hidupnya: asal hingga ke rantau. Tour ini direncanakan sejak bulan lalu, kemudian direalisasikan bertepatan dengan peristiwa gempa di wilayah Pasaman yang sangat berdampak bagi masyarakat. Aldo besar dan tumbuh di Pasaman, ia pun memberi nama program ini “Showcase tour: Charity Gempa Pasaman”.
Aldo menampilkan 5 karya, pertama berjudul “Salam”, tak lebih dan tak kurang yang saya perhatikan lirik-liriknya hanya “Assalamu’alaikum” sangat tepat sebagai pembuka penampilan. Kedua berjudul “Denyut Sujud”, ia memainkan tasawuf dengan lirik-lirik yang cukup sufistik. Ketiga dengan judul “Gajah Maharam” diiringi oleh instrumen Pupuik Sorong-Sorong yang terbuat dari paralon dan ditemani ilustrasi. Keempat berjudul “Masak”, karya pertamanya yang ikut ditampilkan saat festival musik di Jepang. Ada bahan-bahan masakan yang juga ikut ia mainkan, seperti kerang dan pisau-pisauan. Kelima berjudul “Nan Tongga”.
Penampilan 5 karya musik yang fantastis, kemudian dilanjutkan dengan penampilan kolaborasi dengan teman-teman Rumah Tamera, yakni Aldo, Boby, dan pendekar daur subur: Badik, Adri, Zekal, dan Hafiz. Perpaduan suara talempong, tasawuf, sarunai, dan bansi yang enak dan renyah di telinga. Kita bermusik malam ini. Usai, lalu kotak bertuliskan donasi untuk saudara terdampak di Pasaman digerakkan oleh Adri. Banyak penonton yang memasukkan sejumlah uang ke dalamnya. Semoga keberkahan terus berlanjut dan saudara kita di Pasaman segera pulih.
Banyak dari kita yang penasaran dan ingin tahu tentang instrumen-instrumen yang direkonstruksi oleh Aldo Ahmad. Kita berdiskusi dan saya sebagai moderator. Saya sangat tertarik dengan semua ini, dari instrumennya yang diberi nama Tasauf 1, Tasauf 2, dan Tasauf 3; Pupuik Sorong-Sorong, dan judul-judul karya musik yang sangat erat kaitannya dengan ‘tasawuf’. Apakah Aldo ternyata sufi melalui jalur musik improvisasi? Kita tidak tahu. Seperti yang sudah dituliskan di awal, bahwa melalui musik Aldo berusaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Baginya ini adalah perjalanan hidup yang nyata.
Di awal saya bertanya terkait instrumen-instrumen yang ia mainkan. Di Solo ia membuatnya. Belajar dengan ahli musik, ahli kriya, bahkan pengrajin wajan. Ia juga belajar mengelas untuk menyambungkan besi-besi yang ia gunakan dalam membuat instrumen. Eksperimen yang sangat panjang, semuanya dicoba hanya untuk mengetahui bunyi apa yang akan dihasilkan. Aldo berpendapat bahwa ketika mengimprovisasi musik, ia tidak begitu memikirkan bunyi apa yang akan dihasilkan, terlebih dahulu ia pikirkan apa yang akan dibuat. “Buek se dulu, beko pikian bunyinyo”. Karena kalau kita memikirkan bunyi, bisa-bisa kita tidak jadi membuat instrumen. Kita terjebak pada kesulitan pencarian bunyi.
Ia telah membuat 3 Tasauf. Tasauf pertama dibuat untuk kebutuhan festival. Ia terus memiliki keingintahuan yang lebih panjang terhadap apa yang ia buat. Dilanjutkannya hingga terbuatlah Tasauf 2 dan Tasauf 3. Namun saat penampilan, ia hanya membawa Tasauf 1 dan Tasauf 3. Aldo berencana dan memiliki tujuan untuk membuat Tasauf ini hingga 9. Kenapa? ia pun tidak tahu alasan pasti tapi salah satu alasan yang sempat ia sampaikan kepada kawan yang bertanya ialah jumlah gunung di Sumatera Barat ada 9. Tak hanya itu, ia juga berencana untuk membuat Tasauf yang bisa bekerja sendiri, tanpa tangan atau anggota tubuh manusia lainnya. Bayangkan jika kita masuk dan berjalan di sebuah ruangan, kita perhatikan musik improvisasi bermain dengan sendirinya, indah sekali bukan?
Judul-judul yang menarik ditanyakan oleh Verdian. Setiap judul pasti memiliki filosofis dan alasan tersendiri. Jika saya dibebaskan menilai, bagi saya judul-judul yang diberikan tak jauh dari makna ‘tasawuf’ itu sendiri, seperti Salam, Denyut Sujud, Nan Tongga atau dalam bahasa Indonesia yang tunggal. Aldo berusaha menjelaskan. Memberi judul Salam tak ada pertimbangan yang khusus, salam karena ia hadir sebagai pembuka. Denyut Sujud: tempat terbaik manusia berhubungan dengan Tuhannya. Melalui karya ini ia semakin berupaya untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya. Judul ketiga, Gajah Maharam: suara gajah dan araman harimau. Saya pikir ada hubungannya dengan rumah gadang di Solok Selatan, tapi ternyata berbeda. Dan terakhir Nan Tongga, kembali saya berpendapat bahwa ini tentang ketunggalan Tuhan.
Penonton ingin tahu. Boy Nistil bertanya tentang psikologi bunyi. Saya tak mengingat banyak di sini. Satu hal: apakah ini nada-nada sufistik? Yah, tergantung pendengar. Telinga kita memiliki keramahan yang berbeda. Bagi saya yang menyukai ketenangan, ini cukup berisik. Tapi barangkali ini sesuatu yang tenang bagi orang-orang yang biasa menikmati musik bergenre punk rock. Juga terkait dengan sufistik: ia adalah keramahan pada hati dan jiwa manusia, tidak hanya sebatas pendengaran.
Kembali kita mengingat di akhir, lewat musik kita bisa dekat dengan Tuhan.