Semua sudah dimaafkan sebab kita pernah bahagia. Sekiranya apa yang akan disampaikan jika membaca kalimat ini ditambah dengan dukungan gambar seorang laki-laki tua? Bolehlah saya menjawab bahwa poster itu mengajak dan mendorong perasaan kita untuk mudah memaafkan apa saja. Semua hal yang terjadi dalam hidup, segala duka dan laranya patut dimaafkan hanya karena satu alasan: kita pernah bahagia. Bagaimana jika kebahagiaannya hanya sekali dan dilanjutkan oleh kesedihan yang berkali-kali, masih pantaskah untuk dimaafkan? “Ya” kata Leon Agusta, ‘sekali lagi’ alasannya karena kita pernah bahagia.
Semua sudah dimaafkan sebab kita pernah bahagia. Selain halnya yang sudah disebutkan di atas, saya ingin berpendapat lebih jauh. Ini adalah tentang manusia stoic, begitulah sebutan kala filsafat di Romawi mulai menggema. Perjalanan hidupnya yang panjang hanya untuk berbahagia: pada hal-hal yang bisa ia kendalikan. Termasuk memaafkan segala hal di masa lalu yang tidak membahagiakan. Padahal hidup tak hanya tentang bahagia, perlu luka dan kesedihan untuk pengingat diri, meskipun pada akhirnya bisa dimaafkan, ‘sekali lagi’ alasannya karena kita pernah bahagia.
Semua sudah dimaafkan sebab kita pernah bahagia. Sebuah film dokumenter yang diproduksi pada tahun 2017 dengan sutradara Katia Engel dan Paul Agusta. Paul Agusta merupakan anak dari Leon Agusta. Film ini akan ditayangkan oleh Sinema Pojok dan Sani Films di dua kota, di Padang dan di Solok. Terlebih dahulu di Padang, tepatnya di Linikala Space pada Kamis, 24 Februari 2022 dan di Solok dua hari setelahnya. Sinema Pojok merupakan program regular Komunitas Gubuak Kopi berupa pengadaan tontonan alternatif dengan menayangkan film-film dalam rangka menyebarkan pengetahuan tentang media dan film juga sebagai ruang temu dan ruang diskusi pencinta film.
90 menit merupakan waktu yang cukup panjang untuk menanyangkan film dokumenter dengan bahasa pengantar Indonesia dan Inggris. Saya sempat bosan menontonnya, ntah karena saya tidak mengenal Leon Agusta sebelumnya atau memang filmnya yang monoton. Saya menyaksikan adegan-adegan sepanjang hidup Leon yang tidak hanya tentang kebahagiaan, banyak cerita pahit yang juga disajikan dalam film itu. Paul dan Katia benar-benar menciptakan sebuah karya yang kompleks. Persembahan seorang anak terhadap ayahnya, juga tentang bentuk kedukaan yang paling historis: untuk kemudian dikenang lebih panjang, tentang seorang penyair yang lahir di Maninjau dalam kehangatan tradisi Minangkabau dan bertumbuh dengan nilai-nilai falsafah Minangkabau, meskipun tidak di Padang atau kota lain di Sumatera Barat. Ia merantau dan pada akhirnya sebelum kematian ia sempat meminta kepada anaknya jika beliau nanti mati tolong makamkan di Padang. Ia telah berdialektika dengan Tuhan, sebelum hari kematiannya tiba ia sudah di Padang: ia mengantarkan dirinya sendiri.
Tak banyak yang saya ingat dari film itu, menonton di linikala space dengan arsitektur yang terkesan santai bersama orang-orang baru yang pastinya memiliki ketertarikan pada film, membuat saya lebih cenderung mengobrol sembari menonton. Sepanjang film diputar hanya satu hal yang benar-benar saya ingat sampai tulisan ini ditulis bahwa Leon Agusta pernah berkata bahwa ia berhenti berpikir. Sedang banyak pemikiran-pemikirannya yang belum terealisasikan dan ini merupakan warisannya kepada generasi setelahnya, sekaligus PR yang harus dituntaskan. Tapi bagi saya ketika Leon mengatakan bahwa ia berhenti berpikir, tak lebih dan tak kurang itu adalah waktu dimana ia benar-benar berpikir. Memikirkan banyak hal bahkan terhadap hal-hal di luar kendalinya. Ia berpikir sangat keras saat itu. Hingga jangkauan pikirnya terpental sangat jauh, melebihi hasrat akal dalam menalar.
Seorang sastrawan pastinya ia memiliki karya-karya sastra yang luar biasa. Saya bukan pencinta sastra, mungkin kalau ditanya tentang puisi seorang terkemuka saya hanya bisa menjawab “Sapardi tentang aku mencintaimu dengan sederhana”. Itu sangat familiar dan saya hanya mengetahui yang familiar saja. Saya tak pernah menebak bahwa slogan familiar di Kota Padang “Padang Kota Tercinta” merupakan buah hasil pemikiran seorang sastrawan, Leon Agusta. Slogan itu masih hidup sampai saat ini: Leon tak benar-benar mati, karyanya masih bersama kita di sini. Informasi ini saya peroleh ketika diskusi setelah penayangan film, dengan narasumber Esha Tegar Putra, penulis dan mahasiswa S2 ilmu susastra di Fakultas Ilmu Budaya dan Julia Agusta anak dari Leon Agusta.
Diskusi berlangsung hingga cukup malam, banyak pengetahuan baru yang diperoleh. Ternyata ada Leon Agusta Institute atau sekarang secara resmi diganti menjadi Leon Agusta Indonesia. Julia Agusta memperkenalkan kita tentang gerakan perubahan yang dicanangkan Leon Agusta Indonesia: pembangunan lewat jalan kebudayaan. Julia Agusta juga gencar dan ‘mendekati’ BUMN untuk menyelidiki jalan panjang dan tahapan mendapatkan CSR. Ia menekankan bahwa dana CSR adalah dana kita, harus dijemput karena perusahaan tidak akan mengantar. Di Sumatera Barat BUMN tidak hanya Semen Padang, banyak perusahaan lainnya yang bisa mendukung finansial berbagai program.
Selain dalam bidang pembangunan, Leon Agusta Indonesia juga memiliki program di bidang pendidikan: beasiswa Leon Agusta bekerja sama dengan Universitas Taman Siswa di Padang, Sumatera Barat. Sudah banyak mahasiswa yang menjadi penerimanya, tentu dengan pengabdian yang harus dilakukan. Mereka yang menerima diwajibkan belajar budaya, pandai bersilat, dan akivitas budaya lainnya.
Berkenalan dengan Leon Agusta malam itu lewat syair nan penuh makna: semua sudah dimaafkan sebab kita pernah bahagia.