​​Isyarat dalam Kelana

Catatan Proses Residensi Lumbung Kelana di Gubuak Kopi

Rabu, 19 Januari 2021 menjadi hari ketiga pelaksanaan Lumbung Kelana, sebuah program residensi yang diinisiasi oleh Lumbung Indonesia. Lumbung Indonesia sendiri, merupakan sebuah platform bersama yang diinisiasi oleh 12 kolektif seni di berbagai kota di Indonesia, termasuk Komunitas Gubuak Kopi. Program residensi ini diikuti oleh 11 kolektif yang tergabung dalam forum tersebut. Masing-masing kolektif menjadi tuan rumah dan juga mengirim dua utusannya untuk berkelana di kolektif lain. Di Komunitas Gubuak Kopi kami yang kedatangan tamu residensi dari Gelanggang Olah Rasa, Bandung yakni Sufty dan Komunitas Kahe, Flores yaitu Yoan. Sementara itu, Komunitas Gubuak Kopi juga mengirimkan dua partisipan residensi, Hafizan ke Pasirputih, Lombok Utara dan Zekalver ke SIKU Ruang Terpadu, Makassar. 

Dalam program Lumbung Kelana yang menjadi fokus kajian utamanya adalah melihat bagaimana strategi kebertahanan kolektif seni, baik dalam konteks finansial, gagasan, artistik dan juga lingkungan yang dapat saling menguatkan dan terhubung antar ekosistem lokalnya.

Selama 14 hari partisipan residensi akan menghabiskan waktu di kolektif yang sudah ditentukan. Sudah 2 hari berlalu, hari ini memasuki hari ketiga. Seperti beberapa hari sebelumnya Sufty sudah lebih dahulu bangun sedang yang lainnya masih menikmati perjalanan di pulau kapuk. Agenda hari ini ialah bertandang ke rumah produksi yang menjadi tempat berkumpulnya ibu-ibu. Sufty akan ditemani oleh Aza sebagai tuan rumah ke rumah produksi Snack 88, karena Aza sudah beberapa kali ke sana.

Awal kedatangan, kita menemukan ibu-ibu yang sedang mencetak karak kaliang atau cemilan berbahan singkong yang memiliki bentuk seperti angka delapan. Sufty berkesempatan untuk melakukan hal yang sama dengan ibu-ibu, diambilnya beberapa pilinan bahan untuk kemudian membentuk angka delapan. 

“Saya bisa, Bu, tapi kalah cepat sama ibu. Mungkin 3 hari di sini saya sudah bisa secepat ibu” Ujar Sufty yang sudah menyelesaikan beberapa pilinan. 

Di sudut lain rumah produksi kita melihat ibu Len selaku pemilik usaha sedang menghaluskan singkong yang akan dicampurkan dengan bahan lain sebagai adonan. Usaha mendokumentasikan dan turut terlibat dalam beberapa aktivitas yang bisa, kita diajak Ibu Leni ke ruang tamu. Disajikan karak kaliang (jenis snack lokal) yang sudah siap untuk dimakan bersama segelas air. 

“Di Bandung ada juga seperti ini, kalau tidak salah namanya klanting”, Bu Leni memulai pembicaraan. 

Sufty mengiyakan juga mengkonfirmasi kalau klanting lebih keras daripada yang dimakannya sekarang. Hal ini yang menyebabkan snack 88 seringkali menjadi oleh-oleh ke berbagai daerah, termasuk Jawa. Kita asik bercerita tentang banyak hal. Sufty yang memiliki ketertarikan pada kuliner sepertinya begitu antusias dalam obrolan yang ditemani hujan ini. Tak lama, Badri yang juga menjadi tuan rumah dalam residensi ini, menghubungi Aza. Menanyakan apakah kita masih di snack 88 karena akan menyusul bersama Yoan. Beberapa menit setelahnya mereka datang. Yoan dan Badri terlebih dahulu menyusuri dapur snack 88 untuk menyaksikan prosesi pembuatan karak kaliang. 

“Di Flores juga ada, namanya kue pita tapi keras” Ujar Yoan sembari kita mengelilingi dapur produksi. Aza memberi tahu Yoan kalau di sini snacknya tidak keras. Menuju ruang tamu dan Yoan juga Badri dipersilahkan mencicipi karak kaliang. Berbagi pengetahuan tentang kuliner di Flores dan Bandung. Yoan dan Sufty belajar Bahasa Minang diajarkan oleh Bu Leni. Sebelumnya mereka sudah diberi beberapa rumus oleh teman-teman Gubuak Kopi dan sekarang ditambahkan oleh Bu Leni. “Bahasa Minang enggak susah, beberapa hari saja pasti kalian sudah bisa” motivasi Bu Leni melihat Yoan dan Sufty yang kebingungan melihat kami bercengkrama menggunakan Bahasa Minang.

Hujan reda, kita berpamitan dan menuju Sate Mak Datuak. “Kita mau nyate” ujar Sufty. Alasan utama ngajak Sufty makan di tempat sate tersebut karena dilayani oleh teman tuli. Sufty memiliki pengetahuan dalam bahasa isyarat dan ingin mempraktekkannya. Kita memesan sate dan ketupat tapi Sufty hanya memesan sate saja. Sufty mencoba interaksi isyarat dengan pelayan sate yang akhirnya kita tahu kalau namanya Ikbal. Ikbal kurang memahami isyarat yang digunakan Sufty dan ia lebih banyak tertawa. Terutama bersama Badri, karena Ikbal tertarik dengan gondrong. Ia pernah mencoba tapi gatal dan memilih untuk dipendekkan kembali. Di tempat duduk lain kita melihat dua laki laki, yang setelah diamati ternyata juga tuli, temannya Ikbal. 

Sufty mencoba berinteraksi, namanya Davit dan Auli. Mereka saling paham dan membentuk interaksi yang apik. Yang lain sibuk memperhatikan gerakan-gerakan isyarat mereka. Hingga Aza yang membiarkan satenya padahal masih banyak karena keasikan melihat interaksi-interaksi yang jarang ditemuinya. Asyik berinteraksi yang rasanya tidak cukup jika hanya di sini, kami mengajak teman-teman tuli ke rumah tamera. Mereka mengiyakan dan kita belajar bahasa isyarat “bisindo” bersama-sama. Kami langsung diajarkan oleh teman tuli. Sufty juga bilang bahwa cara paling efektif belajar bahasa isyarat ialah belajar langsung dengan teman tuli karena mereka yang benar-benar paham dan tepat dalam berbahasa isyarat. 

Kami diajarkan alfabet dan dipraktikkan pada nama masing-masing. Rumah tamera sedang ada pameran fotografi dokumenter tentang vespa. Mereka melihat dan sesekali bertanya terkait vespa. Hari sudah mulai larut juga air sudah mulai turun, mereka berpamitan dan akan datang sabtu malam nanti bersama teman-teman lainnya. Mereka tinggal cukup jauh, di Sumani dan Cupak.

Aza terlelap sesaat di sofa kantor Rumah Tamera (Markas Komunitas Gubuak Kopi), hujan yang cukup mendukung aktivitasnya. Dibangunkan karena akan ada presentasi tentang Gelanggang Olah Rasa oleh Sufty. Dari presentasi tersebut kita tahu bahwa Gelanggang Olah Rasa di Bandung memiliki banyak program-program. Seperti Sufty yang memiliki kedai kopi bernama Tots Kopi. Gelanggang Olah Rasa disingkat menjadi GOR. Mereka memiliki jargon “Main, makan, kerja”. Banyak bidang yang dapat ditemukan di GOR, ada kuliner, pembuatan gitar, resep teh, dan lain-lain. 

Usai diskusi kita makan nasi. Seperti biasanya, kita makan bajamba (makan bersama di satu wadah besar). Bagi Yoan dan Sufty ini merupakan hal yang sangat jarang mereka lakukan bahkan bisa dihitung dengan jari. Mereka terlihat begitu menikmati hari-hari dengan lingkungan baru di sini untuk kemudian ditulis dalam kalimat-kalimat romansa. Seperti Sufty, dengan surat cinta dari Kampung Jawa.

Aza Khiatun Nisa (b. Simawang, 2003), akrab disapa Aza, mahasiswa baru Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Salah satu talent Dangau Studio, sebuah wadah pengembangan minat dan bakat anak muda dalam bidang seni rupa di Kota Padang. Aza juga penggagas Pemuda Berdaya yang merupakan ruang diskusi bagi Generasi Z tentang pendidikan. Ia terlibat dalam proyek Young Vironmen di bawah naungan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup Kementerian Keuangan RI. Aza memiliki ketertarikan pada aktivitas ekspedisi, konservasi, literasi, dan filsafat. Saat ini Aza juga aktif berkegiatan dan belajar di Rumah Tamera - Komunitas Gubuak Kopi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.