Artist Talk #1 – Circumstance

Sejak Rabu malam (3 November 2021), air sumur di Rumah Tamera tidak hidup, jadilah paginya kami harus membeli air satu tangki untuk kebutuhan mandi, cuci dan kakus. Kamis pagi sekitar pukul 09.00 WIB, saya dan Aza membeli air ke PDAM Kota Solok. Menunggu sekitar tiga jam, mobil tangki air yang dikendarai Pak Ucil pun datang. Awalnya beliau sudah berada di jalan Lingkar Utara ini, namun karena ragu dimana keberadaan Rumah Tamera jadilah ia menelpon ke saya. “Oh, Rumah Tamera itu lokasinya Gubuak Kopi? Kalo Gubuak Kopi saya tahu” Ujar beliau di seberang telepon.

Perjalanan air tangki untuk mengalir ke MCK ternyata tidak semudah itu. Setelah bak air mobil PDAM kosong dan mengisi sumur di sudut taman Tamera, ternyata kami harus menghidupkan lagi mesin pompa air untuk mengalirkan air ke galon tandon dan mengisi bak kamar mandi. Masalahnya, mesin pompa tak mampu mengeluarkan air dari sumur. Siang semakin tinggi, saya dan Aza masih belum mandi. Sementara seluruh penghuni kontrakan Bang Albert sudah berada di Tamera, karena pameran Circumstance masih berlangsung hingga hari Minggu, jadi kami harus standby di galeri untuk melayani tamu yang datang berkunjung. Jadilah saya dan Aza berangkat ke kontrakan bang Albert yang sudah kosong untuk mandi.

Sebelum berangkat ke kontrakan, Kifu, partisipan residensi Daur Subur dari Palu mengajak kami untuk makan Mie Ayam. “Makan mie ayam yok Mel, setelah mencicipi beberapa mie ayam di lokasi berbeda, aku dapat tempat paling enak nih” Ajaknya dengan semangat. Setelah mandi dan berganti pakaian, saya dan Aza juga Kifu kemudian menyusuri pasar raya Solok mencari lokasi yang ditentukan. Saya yang masih awam jalanan Solok, tidak begitu kenal arah yang dituju oleh Kifu. Beruntungnya kami bertemu rombongan Badri, Badik, Zekal, dan Panji di wilayah pasar. Badik pun menunjukkan lokasi mie ayam enak yang dimaksud Kifu.

Kifu memesan mie ayam, saya memesan “bakso beranak”, dan Aza memesan siomay. Selera yang berbeda, namun sisi positifnya bisa saling mencicipi menu satu sama lain. Usai mengisi perut, kami tak langsung pulang ke Tamera. Melainkan menemani Kifu dulu membeli roti dan melewati jalur lingkar luar untuk membeli salah satu minuman franchise teh Indonesia. “Sebelum ke Jakarta aku pengen nyoba menu-menu outlet franchise di sini dulu” Ujar Kifu memberi pembelaan saat saya bilang dia lagi “menghedon”.

Sore saat kembali ke Tamera, saya dikenalkan oleh Badri ke owner Amna Lab, Kak Ika yang sedang berkunjung melihat-lihat pameran Circumstance. Ternyata selain menjadi pengusaha, Kak Ika juga merupakan anggota HIPMI Sumbar Divisi 5, Ketua Kompartemen Pengelolaan Hutan Produksi dan Tanaman Industri. Terjadilah percakapan hangat sore itu, antara saya, kak Ika, Bang Abert, Kak Mellya dan menyusul Pak Jefrizal ajudan Walikota Solok yang juga mampir melihat pameran.  

“Saya mengolah minyak atsiri untuk dijadikan sabun dan kosmetik, Pak” Ujar kak Ika memperkenalkan Amna Lab pada Pak Jefrizal. “Wah bagus itu, bisa nanti memberdayakan petani atsiri di Solok ini”. Respon beliau mendengar bidang usaha kak Ika. “Kebetulan memang saya ambilnya dari petani lokal di Solok ini Pak, ada juga beberapa yang diolah dari kebun sendiri”. Lanjut Kak Ika. “Bisa juga nanti memasukkan produknya untuk hotel dan penginapan di lokasi wisata” Ujar Pak ajudan walikota itu. Tertarik dengan bidang ilmu yang pernah saya pelajari saat kuliah, saya pun nimbrung. 

“Di Alahan Panjang ada villa yang dimiliki dosen saya Pak, prinsipnya memang mengambil sabun dan kosmetik keperluan kamar hotel dari mahasiswa bimbingannya”. Ungkap saya menginformasikan. “Nah, ya begitulah konsep pemberdayaan, mengambil produk olahan lokal.” Jawab Pak Jef. “Kalo di kampus saya ada namanya lembaga Inkubasi Bisnis Teknologi, menghubungkan stakeholder seperti pengusaha atau praktisi, akademisi, dan pengambil kebijakan”. Lanjut saya masih semangat membahas topik wirausaha. “Bisa itu HIPMI masuk sebagai praktisi wirausaha dan terhubung dengan akademisi, sehingga produk yang dihasilkan bisa teruji kualitasnya”.  Sore semakin turun, matahari tertutup awan hitam. Kak Ika pamit pulang bersama adiknya. Sementara kami masih berbincang-bincang ringan menjelang magrib di taman belakang Rumah Tamera. 

Masih dalam rangka Pameran Circumstance Kurasi Kurator Muda oleh Gubuak Kopi dan Galeri Nasional Indonesia. Panitia pameran, dalam hal ini Pandekar Daur Subur melaksanakan agenda Artist Talk hari pertama bersama tiga orang seniman partisipan, diantaranya; Boynistil alias Bang Daboy, Verdian Rayner alias Bang Dian, dan M. Irvan. Artist talk yang pertama ini dipandu oleh Siti Ramadhani Azmi atau biasa dipanggil Sarah selaku moderator diskusi. Sarah memulai acara dengan memperkenalkan para pembicara satu-persatu. “Saya mau bertanya kepada Bang Daboy, bagaimana perasaannya setelah mengikuti residensi selama kurang lebih dua pekan ini?”. Pertanyaan Sarah dijawab Daboy dengan kelakar. “Perasaanku padamu gak ditanya?” tanyanya, sontak membuat  seluruh hadirin tertawa. “Ya, seru aja sih, residensi dari pagi sampai malam bareng kawan-kawan” Jawabnya simple.

“Baiklah Daboy, terimakasih atas jawabannya. Mungkin Bang Dian punya kesan berbeda?” Pertanyaan Sarah tak surut untuk mencecar partisipan lain. “Kerja kolektif membuat proses instalasi jadi lebih mudah” Ujar Verdian singkat dan padat. Namun, saat Irvan, partisipan dari Pekanbaru ditanya, ia menjawab pertanyaan Sarah dengan cukup runut dan lumayan panjang. 

“Menurut saya, saat mengikuti residensi Daur Subur tahun ini, inisiatif warga dalam melakukan silaturahmi menarik untuk ditelusuri. Merasakan bagaimana tren hidup dengan kultur Daur Subur, dekatnya warga dengan tanaman, dan penerimaan warga membuat kita lebih mudah melakukan riset untuk residensi ini.” Ujar Irvan menjabarkan kesannya.

Lalu perbincangan berlanjut hingga membedah karya masing-masing partisipan. Sarah kembali memandu dengan menanyakan masing-masing. 

“Dimulai dari Bang Dian dulu nih yang paling stay cool, apa keterlibatan Bang Dian dalam pameran Circumstance ini?” Tanya Sarah dengan semangat. 

“Saya terlibat dalam mengolah plastik menjadi batako dan membuat instalasi dari sampah plastik. Menarik saat mengubah sampah menjadi karya instalasi dengan beragam warna. Sebenarnya Irama Daur Subur ini merupakan karya instalasi pertama saya.” Ujar Dian menanggapi. Sontak siulan dan tepuk tangan penonton riuh memenuhi taman Rumah Tamera. Dian sebelumnya dikenal sebagai pelukis dan seniman mural. Namun dalam proyek ini ia ditantang untuk mengakselerasi pengalaman dan pengetahuan visualnya pada medium yang gampang di dapat dan dekat keseharian tetangga.

Kemudian jawaban bergilir ke penjabaran karya Bang Daboy. Ia membuat sebuah presentasi patung berbahan dasar batako plastik yang dipotong-potong dan disisipi kawat. “Karya saya diberi judul “Legaran” yang mencerminkan masyarakat minangkabau dalam sebuah tarian randai”. Ungkap Boy menjelaskan makna dari karya patungnya. “Ada yang memegang rabab dan sedang melakukan tari dalam gerakan yang searah jarum jam,” Lanjut Boy menyimpulkan.

Pertanyaan dari netizen pun berdatangan seiring dengan diadakannya live streaming di instagram Gubuak Kopi. Kemudian tibalah giliran Irvan menerangkan karyanya yang berjudul “Bunga Kenangan”. Irvan di Pekanbaru aktif berkegiatan di komunitas film da dekat dengan aktivitas visual digital. Setelah melakukan observasi dan berdiskusi bersama kurator, akhirnya Irvan memilih kesenian kuda lumping dan bunga-bunga untuk ia respon. 

“Bisa dibilang karya saya ini merupakan motion graphic berupa bunga “sesajen” untuk permainan kuda lumping” Terang Irvan saat ditanya oleh moderator.

Tibalah saatnya sesi diskusi bersama peserta artist talk, Raja dari komunitas Kolam Baca Sawahlunto yang hadir malam itu menanyakan terkait motivasi yang melandasi seniman partisipan ini dalam berkarya. Tanggapan pertama datang dari Dian, “motivasi itu sebenarnya berangkat dari kesukaan, kalau kita suka dengan sesuatu maka akan ada motivasi untuk melakukannya”. 

Berbeda dengan Irvan, menurutnya motivasi untuk berkarya bisa datang dengan adanya support system. “Kalau saya pribadi jujur, bisa termotivasi berkarya karena adanya dukungan dari berbagai pihak, khususnya kawan-kawan di sini dong”. Riuh tepuk tangan pun memenuhi taman belakang Rumah Tamera. Lain juga dengan Daboy, beliau mengungkapkan bahwa motivasi dalam berkarya datang karena tanggung jawab  moril untuk melestarikan nilai-nilai budaya yang telah tergerus zaman. Artist talk malam itu pun ditutup oleh Sarah dan berfoto bersama seluruh partisipan.

Ada banyak hal menarik sebenarnya dari setiap proses partisipan. Perjalanan artistik ini juga tidak lepas dari pengaruh pertemanan yang hangat dan kerendahan hati untuk saling mengapresiasi bersama tetangga. Teman-teman seniman menikmati proses kuratorial yang mengajak seniman untuk meredam ego individualitasnya, untuk bisa membuat karya untuk kita, tetangga, dan orang-orang biasa.

Amelia Putri (Padang Pariaman, 1993) biasa disapa Amel. Mewakafkan diri sebagai relawan kemanusiaan sejak tahun 2017. Hingga sekarang terlibat di bidang Disaster Emergency Relief Management, sebuah lembaga respon bencana di ACT (Aksi Cepat Tanggap) Sumbar. Juga Aktif berkegiatan di Literasi dan konservasi di OrangUfriend Padang. Awal 2021, ia bergabung di Komunitas Seni Dangau Studio. Amel juga murupakan partisipan Lokakarya Daur Subur #6 di Kampung Jawa, Solok, 2021.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.