Catatan Proses Residensi Daur Subur 2021
Pada Akhir Oktober 2021, Komunitas Gubuak Kopi menggelar kembali kegiatan Daur Subur yang sudah dikembangkan sejak tahun 2017. Kegiatan ini merupakan bagian dari pengembangan media berbasis komunitas dalam membaca dan memetakan isu pertanian dan lingkungan hidup, serta narasi warga dalam ruang lingkup dan budaya lokal.
Pada kegiatan ini, saya bertemu dengan Pendekar Daur Subur lainnya; antar kota antar provinsi, antar daerah diantaranya Farah Nabila, Aiza Khiatun Nisa, Verdian Reyner, Boyinstil, M.Irvan, Ahlan, Faisal, Nanda, Alfi, Dika Andrian, Amel, Sarah Azmi, Biki, Badri, Zekal, Teguh dan Kifu.
19 Oktober, siang itu para Pendekar Daur Subur –alias partisipan yang pernah ikut program Daur Subur, sudah berkumpul di Rumah Tamera, Markas Komunitas Gubuak Kopi. Kami sebelumnya merencanakan kegiatan mengolah limbah plastik botol yang sudah dikumpulkan dan digunting kecil-kecil, guna diolah menjadi bata atau paving block. Ini kita olah dengan langkah meleburkan atau mencairkan plastik dan mencetaknya di dalam mal atau seng plat yang sudah dibentuk persegi sesuai ukuran bata oleh Spectrum Garage, milik Bang Pranjin. Tentu dalam suatu eksperimen kegagalan kerap terjadi, “yo, namonyo se proses” (ya, namanya juga proses) begitu kata Badik, ketika membuka cetakan yang lengket dengan seng plat atau mal. Akan tetapi kegagalan itu membuat kami menjadi lebih penasaran dan memikirkan rancang design yang lebih efektif.
Sore itu kami menyempatkan diri berkunjung ke rumah Pak RT Kampung Jawa untuk bersilaturahmi dan mengenalkan diri. Tentu juga memberi laporan tamu-tamu baru dan tentang kegiatan yang akan kami lakukan dalam beberapa minggu ini. Setelahnya kami juga berkunjung ke rumah Pak RW, sewaktu itu beliau tidak di rumah, akan tetapi kami bertemu Buk RW yang menyambut kami dengan senang hati. Sembari kami bertanya seputar halaman Pak RW yang dipenuhi tanaman bonsai:
“sawaktu itu takajuik lo akak mancaliak abang mambao bongkahan kayu, akak kiro untuak apo, ikolah hasianyo kini, abang nan mananam sadonyo”, (waktu itu kakak terkejut melihat abang bawa bongkahan kayu, kak kira untuk apa, ya inilah hasilnya sekarang, abang yang menanam semuanya).
Buk RW juga bercerita tentang daun yang kami tunjuk, daun itu merupakan bahan untuk membuat gulai hitam. Nama gulai ini pertama kali saya dengar. Selintas saya berfikir rendang. Gulai hitam sama halnya dengan gulai umumnya akan tetapi dimasak menggunakan daun legundi, daun itu mengubah warna gulai menjadi kehitaman ketika dimasak. Daun ini semacam pewarna alami, dikarenakan rasa penasaran yang tinggi kami mengajak Bu RW mendemonstrasikan masakan gulai hitam.
Pada malam hari kami berkumpul dan mendiskusikan hal yang kami lakukan tadi siang, salah satunya tentang cetakan plastik. Malam itu kami bersepakat untuk memperbaiki cetakan yang kami buat sebelumnya di bengkel las Bang Pranjin. Setelah itu kami menghabiskan waktu dengan mengobrol, berdiskusi, bermain gitar dan juga menulis untuk persiapan esok hari.
Pagi hari, saya bersama Dian dan Badik pergi untuk memperbaiki mal bata ke bengkel las Bang Pranjin, dikarenakan hujan yang sangat lebat. Bang Pranjin pun tidak datang pagi itu dan ia membuat janji pada kami akan mengerjakan mal itu pada sore hari. Setelah hujan mereda, Badik pergi mencari bekas tutup galon di sekitar Kampung Jawa. Para penjual air minum isi ulang umumnya memang mengumpulkan bekas tutup galon tersebut, biasanya dijual kembali ke tempat “tukang karah-karah” (pengepul limbah plastik). Umumnya dijual delapan hingga sepuluh ribu rupiah per karungnya. Pemanfaatan limbah plastik untuk pembuatan bata ini sebetulnya sangat efektif untuk mengurangi limbah plastik yang tidak terkontrol.
Plastik memang sebuah penemuan yang mutakhir pada zamannya. Ia membantu dalam kegiatan sehari-hari. Menjadi keperluan utama dalam bungkus-membungkus suatu makanan dan minuman. Akan tetapi apakah kita sudah bijak memakai penemuan mutakhir ini? Plastik dapat mencemari tanah, air, laut, bahkan udara, sehingga dampaknya buruk terhadap makhluk bawah tanah. Racun-racun dari partikel plastik yang masuk ke dalam tanah akan membunuh hewan-hewan pengurai di dalam tanah, seperti cacing dan lainnya sehingga kesuburan tanah menjadi berkurang. Tentu hasil bumi yang kita peroleh pun tidak maksimal.
Setelahnya bersama Badik saya melanjutkan pencarian limbah plastik ke Tempat Pembuangan Akhir. Kondisi sewaktu itu becek karena hujan dan sudah lama sekali saya tidak menghampiri TPA ini, terakhir adalah waktu saya ikut Daur Subur 2017. Kini keadaannya sudah berubah, sampah plastik yang menggunung. Beberapa ada yang sudah ditimbun walaupun masih ada yang muncul ke permukaan, dan kami juga sempatkan untuk berkunjung ke Taman Bidadari sambil merokok. Di sela-sela kegiatan, kami bertemu Pak Aji yang sedang mengurangi air di lahan yang akan ia tanam timun.
“Kini ko rancak mananam timun”, (Sekarang saat yang bagus untuk menanam timun). Sebelumnya lahan ini ditanami padi, menurut Pak Aji, jika padi ditanam terus menerus tanah akan menjadi panas, dan hasilnya tidak memuaskan. Ini disebabkan pupuk untuk padi itu sangat keras zatnya. Untuk mendinginkan atau masa rehat tanah bisa ditanami hal lainnya seperti timun dan semangka yang pernah ditanam Pak Aji.
“Patang cimangko ambo tanam, alun masak lah diambiaknyo jo urang, ntah sia nan mambiak, kok di ambo ndak baa diambiak, kok paralu makan sampai kanyang, kalau alun waktunyo panen diambiak jadi mubadzir, hasil tanaman ko indak buliah pulo awak pilik, kurang lo hasianyo beko” (Kemarin, saya menanam semangka, belum siap panen sudah diambil orang, entah siapa yang ambil, bagi saya tidak masalah, kalau perlu makan sampai kenyang, kan kalau belum waktunya panen sudah diambil jadi mubazir, hasil tanaman ini kita juga tidak boleh pelit, nanti hasilnya bisa kurang).
Dikarenakan Pak Aji haus ia pergi ke “dangau” (rumah) untuk mengambil minum, dan kami berpamitan kembali ke Rumah Tamera.
Sebelum saya berencana untuk kembali ke Bukittinggi, saya menghampiri Biki, Sarah, Irvan, dan Roro ke rumah Buya Khairani. Rumah yang asri dipenuhi pohon-pohon dan tanaman. Di sana banyak sekali pengetahuan yang beliau berikan. Beliau bercerita seputar jalur transportasi di zaman dahulu, tentang kereta api yang menjadi transportasi utama dalam pendistribusian hasil bumi. Sekilas saya bertanya bagaimana peran pedati/bendi pada masanya? ternyata buya dulunya seorang “kusia padati” (pengendara pedati).
Pedati dan bendi dianggap buya sebagai transportasi purba. Sewaktu menjadi kusia padati buya kerap mengantarkan barang seperti hasil bumi dari Payakumbuh – Baso – Bukittinggi. Dalam perjalanan mengantarkan hasil bumi, itu bisa memakan waktu lebih kurang lima hingga sepuluh jam. Biasanya pedati memang dikhususkan untuk mengangkut hasil bumi maupun barang–barang, dan bendi dikhususkan mengangkut orang awalnya.
Di Bukittinggi tempat saya tinggal masih terdapat transportasi bendi, dalam informasi yang saya dapat dari Pak Incek, kusia bendi di pasar bawah terdapat 180 bendi yang terdaftar dan 100 yang aktif baik bendi wisata maupun bendi transportasi umum, bendi yang dipakai biasanya bendi betina, hanya bisa dipakai sampai umur 25 tahun, setelah itu akan “dibantai” (disembelih), biasanya disembelih di Payakumbuh.
Buya juga menjelaskan bagaimana peran komunitas menjadikan jati diri lebih tajam, memperlurus fikiran, dan bersilaturahmi.
“hiduik ko memang seni, kalau ado urang ndak suko seni berarti ndak iduik tu. Kini ko, seni ko ado nan namonyo seni diskusi, seni menanam, seni memasak, seni musik, seni pamentasan, seni dari barang bakas dan lainnyo”. (Hidup ini memang seni, kalau ada yang bilang tidak suka seni berarti tidak hidup. yang sekarang ini seni, ada yang namanya seni diskusi, seni menanam, seni memasak, seni musik. seni pementasan, seni dari barang bekas dan lainnya).