Sebagai bentuk dukungan terhadap film lokal yang berbicara kebudayaan, Komunitas Gubuak Kopi mengadakan Nonton dan Diskusi Film Sinema Pojok yang berkolaborasi dengan Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sumatera Barat tengah berlangsung di hari kedua pada tanggal 17 Oktober 2021. Pemutaran film “Nyalak Nyao” merespon narasi-narasi budaya karya sutradara Alfahrozi Arrahman ini berlangsung di Rumah Tamera.
Pemutaran Film “Nyalak Nyao” dimoderatori oleh Biahlil Badri dengan pemantik diskusi Muhammad Irvan dan Alfahrozi Arrahman. Film “Nyalak Nyao” dirilis tahun 2019, menceritakan tokoh bernama Fakri (16) anak hasil hubungan di luar nikah yang dilakukan oleh kedua orang tuanya Mita dan Nedi. Semasa itu Mita masih duduk di bangku putih abu-abu, membuat mereka terusir dari kampung halaman. Tujuh belas tahun kemudian ia bersama ibu dan saudaranya kembali ke kampung, dan menetap di rumah neneknya sendiri. Di sana ia merasa tertekan dengan lingkungan kampung karena keberadaanya dicap sebagai anak haram, membuat Fakri membunuh Nedi.
Begitulah sekiranya film ini membawa saya mengingat kembali beberapa kejadian. Anak-anak kerap menjadi korban atas kesalahan yang dilakukan oleh orang tua mereka, sehingga beban atas sikap lingkungan terhadap anak di luar nikah menjadi sesuatu yang dipandang buruk pun berbuah ke tindak kejahatan. Melampiaskan amarah serta rasa kecewa yang berulang-ulang diterima tanpa terkendali. Adalah sikap yang mesti kembali kita pertanyakan kepada diri kita sendiri baik sebagai saudara, mamak dan masyarakat yang dekat dengan peristiwa ini.
Nonton dan Diskusi film Sinema Pojok dimulai pukul 20.00 WIB. Diskusi berlangsung hangat, setidaknya hal ini terbukti dengan antusias penonton merespon film tersebut. Saya juga melihat fenomena baru, ini membuktikan bahwa kesadaran mengapresiasi akan karya film sudah kembali memiliki semangat dalam lingkar diskusi. Harapan saya yang akhirnya tumbuh melihat bagaimana hari ini secara kekaryaan film, bagaimana film-film ini juga dapat terdengar di kalangan masyarakat luas.
Sumatera Barat memiliki pegiat yang sampai hari ini aktif berkarya terkhusus di dunia perfilman, tanpa menghilangkan isu sosial dan budaya di dalamnya. Diskusi pun dihadiri oleh perwakilan BPNB dan saya menangkap, lalu mengatakan bahwa cukup bingung untuk mengakses karya film kawan-kawan yang ada di Sumatera Barat. Barangkali hari ini masih ada kelemahan yang mesti diperbincangkan lebih dalam, ketika peroses berkarya membutuhkan akses lebih luas agar dengan mudah menjangkau — baik dari penikmat dan juga oleh penggiat seni. Sebab film hari ini yang tak luput dari isu sosial dan kebudayaan di Minangkabau, bisa menjadi salah satu metoda berkomunikasi yang mudah dipahami, baik oleh kaum milenial maupun generasi sebelumnya, untuk kembali ke adat dan tradisi itu sendiri.
Film “Nyalak Nyao” membuat kita kembali mengingat batasan yang sudah diatur oleh adat di Minangkabau, baik secara lisan maupun tulisan. Selain itu, peran mamak ke kemanakan yang digambarkan menjadi pertanyaan dasar, sudah waktunya kah mamak kembali ke fungsi “mamak” itu sendiri. Seperti kisah Fakri yang selalu medapatkan diskriminasi atas kesalahan kedua orang tuanya, baik dari lingkungan dan kekerasan oleh mamaknya atas kesalahan yang tidak pernah ia perbuat. Respon yang hadirpun bermacam saran dan pujian menjadi penguat untuk proses pembuatan film kedepannya. Semoga pembuatan karya dalam ruang lingkup perfilman selalu lestari dan panjang umur, dalam melahirkan karya-karya terkemuka pemuda pemudi Sumatera Barat.
–