Ini adalah hari ke-8 dari Lokakarya Daur Subur di Kampung Jawa. Seperti hari sebelumnya, partisipan akan langsung ke lokasi riset mereka masing-masing sedari bangun tidur. Kemudian akan kembali ke Rumah Tamera pada jam makan siang. Banyak hal-hal menarik yang ditelusuri partisipan di Kampung Jawa, khususnya di RW 6. Alfi misalnya, ia terus berkeliling dan menemukan berbagai jenis peliharaan dan ternak warga sekitar untuk diketahui dan pelajari. Aldo, berjalan sendirian menemukan aliran-aliran air pada sawah, ladang, dan pemukiman warga. Arfan, juga tertarik pada kondisi bangunan tinggi yang terletak di belakang Rumah Tamera, yakni rusunawa. Begitu juga pada Nanduik, Hatta, Nora, Amel, dan Alif mereka terus berjalan menemukan bagian-bagian menarik di sini, di Kampung Jawa, Solok.
Kemudian, hal-hal menarik tersebut, akan dikerucutkan dalam bingkaian Daur Subur. Bagaimana dari selama lokakarya ini kita mampu memetakan budaya masyarakat pertanian sekitar, ataupun melihat bagaimana aktivitas masyarakat pertanian dalam menyelesaikan masalahnya sendiri. Hari-hari sebelumnya saya sempat berbincang dengan Aldo, soal bagaimana pengelolaan air ke rumah-rumah warga di sini. Lalu, kami sempat memperhatikan sawah yang berada di seberang jalan Rumah Tamera, kondisinya berada cukup jauh di bawah jalan. Sebuah pertanyaan pun saya lemparkan pada Aldo, “bagaimana petani ini bisa mengairi sawahnya, sedang tak terlihat aliran air yang jelas dari mana datangnya?”
Diskusi hari ini agaknya penting untuk menguatkan kenapa kita mesti menjaga, merawat dan mengenal lingkungan. Selepas Maghrib kita kedatangan Ustad Bobby, pimpinan Pondok Pesantren Darut Thalib, Laing Kota Solok. Bahasan, atau pun diskusi kita malam ini adalah bagaimana melihat lingkungan dari sudut pandang keagamaan, khususnya agama Islam. Belakangan ini Gubuak Kopi memang sering bertemu dan berkegiatan bersama Ustad Bobby, semenjak kami menjalankan program lokakarya Remaja Bermedia di pondok pesantren yang ia pimpin Februari lalu.
Cerita-cerita pada masa Nabi Muhammad menjadi pembuka diskusi yang dipandu oleh Ustad Bobby. Beliau menceritakan, bahwa saat perang sekali pun, nabi masih memikirkan hak-hak pada tanaman, binatang, dan makhluk hidup lainnya. Salah satunya, saat perang sedang berlangsung nabi tidak membolehkan umatnya sembarangan dalam menebas. Beliau memerintahkan untuk memperhatikan tanaman dan binatang lainnya tidak boleh tertebas pedang, atau apapun yang dapat merusaknya. Begitu juga pada, perempuan dan anak-anak, mereka tidaklah target yang harus diburu.
Cerita menarik lainnya adalah, ada seorang sahabat yang diludahi mukanya oleh salah seorang musuh, lalu dia membatalkan niatnya untuk membunuh musuh tersebut. Alasan apa yang jika kamu berada di posisi sahabat tersebut, mampu membuatmu membatalkan serangan? Mungkin saja karena mata kemasukan ludahnya, atau hal yang tidak memungkinkan lainnya bagimu. Nah, bagi sahabat ini, alasannya adalah kalapun “aku” membunuhmu, saat ini juga, itu adalah karena nafsu, karena kau telah meludahiku, bukan lagi niat dari awal.
Nafsu memang buas, dia menguasai lalu ‘menduduki’ pikiran dan hati. Menjadi seperti cerita tersebut memanglah tidak mudah, tapi itu adalah bagaimana Islam melihat lingkungan. Kisah-kisah tersebut menjadi pembuka diskusi dari Ustad Bobby. Albert punya cerita dan pertanyaan seputar ritual-ritual adat yang pernah ia perhatikan di Lombok. Ritual tersebut adalah membuang sesajen atau makanan ke laut pada saat nyelamatan laut, maksudnya ini adalah bentuk ucapan syukur pada laut yang telah memberikan penghidupan dari laut. Kegiatan ini dilakukan oleh masyarakat adat, yang berbeda-beda agama: Hindu, Budha, dan Islam. Ya, mereka akan berdoa menurut keyakinan mereka masing-masing pada ritual ini. Dalam hal ini ada “adab” dan “adat” yang selama ini sering disederhanakan sebagai sikap “syirik”. Sementara hal ini bisa saja sikap yang performatif dalam mensyukuri anugerah dari tuhan atas hasil laut. Pertanyaan Albert, lalu bagaimana mengenai hal ini dalam sudut pandang Ustad Bobby? Ada banyak peristiwa yang sama dengan kondisi ini, Ustad Bobby menjawab, kalaupun ada yang salah dalam peristiwa tersebut adalah jika barang yang dibuang tersebut bersifat mubazir, tapi mungkin ini bagus untuk ikan, dan ini sebenarnya tergantung niat.
Pertanyaan serupa juga ditanyakan teman-teman diskusi yang lain, seputar ritual yang dilakukan masyarakat adat beragama Islam di Pariaman, semuanya dalam bentuk memperingati tokoh-tokoh. Hingga pertanyaan di luar bahasan lingkungan pun diajukan. Seperti Hatta, yang bertanya soal bagaimana pandangan Islam yang sebenarnya tentang bermusik. Sebelumnya ia menjelaskan bahwa dia seorang pegiat musik, komposer dan penikmat musik. Ustad Bobby menjelaskan bahwa ada bagian-bagian tertentu yang membolehkan dan melarangnya. Ukurannya adalah niat, dan untuk apa bermusik, jika baik ya boleh dan sebaliknya.
Begitu juga dengan pertanyaan Amel yang menyoroti soal penebangan pohon. Nafsu dan niat menjadi tolak ukuranya. Kalau hal tersebut digunakan untuk kebaikan dan tidak berlebihan tentu itu tidak masalah, karena tuhan juga menciptakan alam dan isinya untuk diolah manusia. Berlebihan yang dimaksud adalah, kemungkinannya akan menimbulkan bencana, sekarang atau nanti, itu yang tidak boleh. Diskusi yang hangat dan mencerahkan, kami tutup dengan membaca doa yang dipimpin Ustad Bobby.
Setelah diskusi ini, kita melanjutkan obrolan seputar riset di Daur Subur bersama tokoh masyarakat setempat, yakni Buya Khairani dan juga Bang Riko, selaku ketua RW 6 yang datang di tengah diskusi sedang berlangsung. Sebagian tulisan dari partisipan sudah selesai setengah, kita mendiskusikannya persatu tulisan bersama saya dan Albert. Setelahnya menentukan jadwal-jadwal besok pagi , lalu ada yang beristirahat di kontrakan dan Rumah Tamera.
Intinya niat