Memperbarui Nilai Benda

Catatan proses Lokakarya Daur Subur #6 di Kampung Jawa

Jumat, 04 Juni 2021, lokakarya Daur Subur di Kampung Jawa memasuki hari keenam. Hari ini para partisipan mengatur sendiri jadwalnya. Amelia Putri, pagi itu menepati janjinya untuk ikut memasak di dapur “Snack 88” milik Ibu Leni. Mengalami menjadi proses penting dari lokakarya ini. Melihat langsung, terlibat, dan merasakan atmosfernya. Begitu juga Noura Arifin, pagi itu ia juga langsung menuju Tempat Pembuangan Akhir (TPA) regional Kota Solok. Bersama orang-orang yang bekerja di sana ia membersihkan sejumlah botol untuk di jual kembali ke Bank Sampah, yang kemudian akan diteruskan pada pengepul besar untuk diolah menjadi bentuk baru. Ia ingin mengetahui bagaimana sirkulasi sampah di Kota Solok ini dan Amel ingin menelusuri model pengolahan tanaman lokal oleh warga RW 06 Kelurahan Kampung Jawa, Solok. Begitu juga dengan 8 partisipan lokakarya  lainnya, melanjutkan penelusurannya, dan tiap malam kami selalu siap untuk mendengarkan cerita-cerita menarik dari teman-teman ini.

Siang ini, di tengah observasinya, teman-teman partisipan kembali ke Rumah Tamera, yang menjadi pusat kegiatan. Siang ini kita berkumpul untuk menyimak pengalaman menarik dari MG Pringgotono. Salah seorang teman dari komunitas Serrum di Jakarta. Sebuah kelompok inisiatif seniman yang aktif memproduksi seni-seni kontemporer, dan mengelola berbagai pameran besar sebagai arthandler. Selain itu, sebagai seniman MG belakangan aktif memproduksi karya-karya dari limbah plastik, baik itu dalam bingkaian seni, pengarsipan, dan ekonomi kreatif.

Siang itu semua partisipan dan teman-teman Gubuak Kopi sudah berkumpul di kabin tengah Rumah Tamera. Di meja panjang, kami sudah terhubung dengan MG melalui layar televisi yang terkoneksi ke perangkat MG di Jakarta. Saya memperkenalkan MG kepada teman-teman partisipan dan sebaliknya. Seri kelas bersama dalam rangkaian lokakarya ini bagi kami cukup penting, karena selain proyek-proyek MG yang menarik, ini juga kita untuk memantik sudut pandang kita untuk melihat sampah sebagai “benda” yang memiliki kemampuan untuk mendapatkan fungsi barunya. Istilah yang sering kita pakai, memperpanjang usia sebuah benda.

MG sudah siap dengan sejumlah slide materinya. Ia membukanya dengan paparan data persoalan sampah plastik global, hingga ke lokasi spesifik seperti Jakarta dan lingkungan sekitar komunitasnya. Dalam slide berikutnya muncul kalimat “Sampah gw, tanggung jawab gw”, yang menjadi ide kelas hari ini. MG beraktivitas di lingkungan seni Jakarta. “Pameran” adalah aktivitas yang sangat dekat dengan dirinya, begitu juga baliho publikasinya. Ia menunjukkan beberapa baliho publikasi pameran tahun-tahun sebelumnya, yang ia perbaharui bentuknya sebagai sebuah tas, dengan pertambahan nilai sebagai merchandise, publikasi, dan juga fungsinya sebagai arsip. Tas itu ia tata sedemikian rupa, “dilabeli” dengan informasi mengenai kegiatan yang dipublikasi oleh baliho ini sebelumnya, dan dijual hingga lima ratus ribu rupiah.

Slide berikutnya, MG menghadirkan dokumentasi video salah satu karya seninya. Karya itu dipresentasikan dalam pameran virtual “Merestas Batas” di www.gudskul.art tahun 2020. Dalam video itu, di sebuah ruang yang sekilas menyerupai labor, terpajang sebuah jaket dari bahan baliho. Di jaket itu terdapat sejumlah kantong. Kantong-kantong tersebut berisi gelas sisa minuman mineral yang sudah diisi tanaman sayur. Beberapa gelas terhubung dengan selang kecil, yang saling berbagi air. Seperti cara kerja perkebunan rumahan yang vertikal, yang cukup populer di budaya pertanian urban. Secara performatif, tiga orang dengan jubah putih ala ilmuwan memasangkan jaket itu pada seorang partisipan. Seperti simulasi proyek futuristik, mengkritisi krisis sampah plastik, pangan, air, dan ruang.

Terlepas dari apa yang coba direpresentasikan oleh karya itu, MG menyebut bahwa masih ada problem lainnya. Setelah ia tidak lagi dipamerkan, ia kembali menjadi sebuah sampah. Dan dalam hal ini, MG memperpanjang kembali usia barang itu sebagai sebuah merchandise, yang kini ia kelola bersama Stuffo Lab.

Pikiran serupa juga disampaikan oleh Asmar Nanda, atau yang biasa kami sapa Nanduik. Di satu sisi, baik itu karya seni ataupun menjadi tas itu kemudian tetap menjadi sebuah sampah. Namun, itu kembali pada kebijaksanaan kita. Setidaknya kita berfikir untuk memperlambat penumpukan sampah itu, menjadi alat untuk membangun spekulasi kita tentang plastik itu sendiri, dan kita bertanggung jawab atas sampah-sampah kita.

Bertanggung atas sampah kita sendiri, menjadi bagian dari ide Daur Subur. Sebelumnya kita problem serupa. Gubuak Kopi sejak 2019, mendirikan Rumah Tamera yang sebelumnya kita sebut Tanah Merah Space, di sebuah wilayah baru yang belum memiliki sistem penjemputan sampah. Harus kita akui kita baru belajar mengelola sampah sendiri. Sampah-sampah organik berhasil kita olah menjadi kompos untuk tetap menanam di tanah merah, namun, kita belum memiliki cara untuk mengelola plastik dalam sehari-hari, di ruang dan fasilitas yang terbatas, kecuali botol-botol yang menjadi media tanam. Proyek-proyek MG memantik ide-ide baru dan memperkaya pandangan teman-teman yang ada di kabin ini “melihat media adalah pesan itu sendiri” seperti yang diungkapkan Marshal Mc. Luhan.

Sore itu, setelah mereview materi dari MG, partisipan lokakarya melanjutkan kembali observasinya. Seperti biasa, malam harinya, kami mendengar kembali temuan-temuan menarik dari para partisipan menjadi warga Kampung Jawa dalam waktu singkat ini. Lokakarya Daur Subur kali ini adalah sesi lokakarya yang ke-6. Lokakarya ini terdiri dari rangkaian kelas literasi media, simulasi riset secara kolektif dan self research, dan menyelesaikan sebuah artikel. Beberapa hari kedepan, teman-teman partisipan juga akan mengikuti serial kelas bersama narasumber tamu, yakni Ismal Muntaha dengan proyek Badan Kajian Pertanahan, Jatiwangi; Muhammad Sibwaihi, dari Yayasan Pasirputih, Lombok Utara; dan Bobby Bulolo, dari pesantren Darut Thalib.

Albert Rahman Putra, biasa disapa Albert, adalah seorang penulis, kurator, dan pegiat budaya. Merupakan lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang, dengan fokus studi pengkajian seni karawitan. Dia adalah pendiri Komunitas Gubuak Kopi dan kini menjabat sebagai Ketua Umum. Albert aktif sebagai penulis di akumassa.org. Ia juga memiliki minat dalam kajian yang berkaitan dengan media, musik, dan sejarah lokal Sumatera Barat. Manager Orkes Taman Bunga. Tahun 2018 bersama Forum Lenteng menerbitkan buku karyanya sendiri, berjudul Sore Kelabu di Selatan Singkarak. Ia merupakan salah satu kurator muda terpilih untuk program Kurasi Kurator Muda yang digagas oleh Galeri Nasional Indonesia, 2021.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.