Catatan Proses Tenggara Festival 2020
Taman Bidadari, lokasi mural yang satu ini berjarak sekitar 200 meter saja dari Rumah Tamera. Jarak yang cukup dekat. Selain tempat duduk, wc, instalasi permaianan, pohon, dan properti pendukung lainnya, tangki air PDAM juga ikut membentuk konstruksi taman. Tangki air berwarna biru itu terlihat menonjol dari pinggir jalan.
Blesmokie atau yang biasa kami sapa Cak Amie ini kami undang merespon bidang tangki air untuk media grafitinya. Tangki ini kurang lebih memiliki panjang sisi melingkar sekitar 18 meter 3 meter. Hari pertama berada di lokasi ia sudah bekenalan dengan hujan. Permukaan tangki ini terbuat dari besi, memiliki kelembaban yang membutuhkan waktu lama untuk kering. Untuk ini ia menambahkan kain lap (kanebo) sebegai alat tempurnya untuk mengeringkan permukaan tangka dalam waktu cepat. Selain basah terkena hujan, pun permukan ini sudah lembab boleh air di dalamnya.
Cak Amie ini sudah memulai grafitinya semenjak 2003. Di tahun yang sama ia membentuk tim grafiti pertamanya bernama NAWCRU, dan masih berjalan sampai sekarang. Pada 2012 ia pindah ke Jakarta dan menjadi bagian dari keluarga baru Artcoholic, dan ia bergabung bersama Gardu House. Selain itu, ia juga biasa membuat ilustrasi, desain grafis, dan juga membuat tatto. Selain itu, ia juga biasa membuat ilustrasi, desain grafis, dan juga membuat tatto.
Pada malam berikutnya saya datang melihat proses grafiti Cak Amie bersama Bujangan Urban, grafiti artist lainnya yang juga diundang ke Tenggara Street Art Festival.
“Aku nggak pernah lihat karya Amie jelek, ia jago gambar udah dari dulu” Bisik Bujangan Urban pada saya.
Cak Amie membutuhkan cukup banyak kaleng cat untuk menyelesaikan tengki ini. Garis yang detail dan warna yang berlapis-lapis sudah terlihat sejak hari ke-dua. Meski harus bolak balik ke Rumah Tamera karena hujan dan makan siang, Cak Amie mengerjakan grafitinya di sela hujan berhenti. Pengerjaan yang cukup lama pada tengki ini.
Sama seperti hari-hari biasanya, taman ini cukup sepi dari pengunjung. Biasanya akan dikunjungi oleh anak sekolah, orang yang lewat, dan warga sekitar. Sepertinya taman ini belum jadi tujuan awal orang-orang.
Street art dan ruang publik bagi saya seperti pasangan hidup. Ia seakan menghidupkan kembali Ruang publik yang sudah lesu dari pandangan mata. Setidaknya ‘mengganggu’ mata pasangan yang lewat dengan warna-warnanya. Mengaktivasi ruang publik.
Di sini Cak Amie ditemani Badik, salah satu seniman tuan rumah yang tergabung dalam ekosistem Rumah Tamera. Tidak hanya menemani, ia juga ikut mewarnai dinding bangunan di sebelah tangki ini dengan muralnya. Mural Badik ini juga akan direspon oleh Cak Amie setelah ia menyelesakan tengkinya.
Hari berikutnya hujan semakin sering turun, permukaan baru saja diselesaikannya setengah. Benar,seperti yang saya sebutkan sebelumnya hujan turun hingga 5 kali sehari, yang mempersempit waktu penyelesaian. Namun hari-hari terakhir menyusul dengan siang yang cukup cerah, meskipun tetap basah di malam harinya. Cak Amie memenuhi lingkaran tangki air dengan grafitinya.
Ada beberapa kolom yang ia munculkan di grafiti ini. Kolom tersebut berbentuk seperti tetesan air. Salah satunya adalah siluet Rumah Gadang dan beberapa bentuk bangunan di sebelahnya.
Di pintu gerbang taman ini juga ada sebuah tabung seperti tengki kecil yang berbidang potret, Cak Amie berkolaborasi dengan Masoki membuat teks bertuliskan Tenggara Street Art Festival di bagian depan tengki. Dapur Rumah Tamera juga mendapatkan graffiti Cak Amie beberapa hari sebelum ia balik ke Jakarta.
–