Transkrip Live Talk LLD#3 – Tahufiqurrahman “Kifu”
Jumat, 18 September 2020 lalu, Veronica Putri Kirana berbincang-bincang dengan Tahufiqurrahman “Kifu” seputar proses berkaryanya dalam rangkaian Lapuak-lapuak Dikajangi (LLD) #3. Sebuah proyek seni berbasis media yang digagas oleh Komunitas Gubuak Kopi dalam studi mengenai nilai-nilai tradisi di Sumatera Barat. Proyek ini melibatkan seniman muda dari dalam atau luar Sumatera Barat, untuk menemukan pandangan kritis dari generasi kini mengenai isu-isu tradisi dan modernitas yang terus berkembang. Artikel ini merupakan transkrip perbincangan Vero dan Kifu di fitur siaran langsung instagram, teman-teman juga bisa menonton ulang obrolan di instagram @gubuakkopi. Beberapa kalimat diselaraskan sesuai kebutuhan bahasa teks, tanpa mengurangi esensi dari isi perbincangan.
Vero : Bagaimana sih proses bisa sampai bergabung dalam proyek LLD #3, boleh diceritakan ngga fik?
Kifu : Waktu itu, diajakin Albert Rahman Putra (Kurator LLD). Sebulan sebelum kegiatan LLD ini. Saya langsung mengiyakan, karena bagi saya isu tentang “silahturahmi” itu menarik. Beberapa karya saya sebelumnya juga sering bersinggungan dengan ‘interaksi dan komunikasi’.
Vero : Bagi kifu sendiri, bagaimana sih pengalaman residensi di rumah/online dalam berkarya?
Kifu : Ada penyesuaian-penyesuaian yang mesti dilakukan. Hubungannya dengan ruang ‘online’ itu. Yang ternyata tidak selalu menjadikan prosesnya lebih mudah.
Vero : Bagaimana kifu memahami kuratorial dalam konsep karya tersebut, apalagi kifu sendiri mengajak teman-teman partisipan juga buat mengirim foto. Kalua boleh tahu itu bagaimana ceritanya?
Kifu : Saya memaknai silahturahmi di sini sebagai praktik ‘berbagi’. Bagaimana berbagi dalam tradisi silahturahmi di masyarakat Minangkabau dan bagaimana berbagi (feeding) di media sosial. Saya membuat sebuah grup percakapan, lalu mengintruksikan perintah kepada semua anggota grup untuk bertamu/mengunjungi saya melalui percakapan pribadi, dan membawakan saya sebuah foto benda. Setiap harinya ada belasan foto benda yang diberikan ke saya. Dalam seminggu, terkumpul 98 foto benda. Lalu foto benda-benda itu saya reproduksi, dan sajikan kembali, namun sudah tidak utuh.
Vero : Ooo… iya balik lagi ke cerita awal nih, kenapa sih kifu memilih judul karya “Basuo jo Babagi”? Kenapa memakai Bahasa Minang, kenapa tidak Indonesia saja?
Kifu : Karena dalam karya ini, ‘berbagi’ sangat dekat dengan tradisi masyarakat Minang. Namun dalam presentasi karyanya, saya tidak menekankan narasi itu secara visual, sehingga saya ingin meletakan itu di judul.
*** terputus ****
Vero : Hallo… sorry, tadi terputus, maaf ya. Jadi kita lanjutkan ya, aduh tadi sampe mana ya?
Kifu : Ooo… ini ya, soal total benda, soal kiriman benda yang masuk ya, total ada 98 kiriman.
Vero : Sempat dengar kabar kalau dalam proses berkarya ada beberapa teman-teman partisipan kalau di Whatsapp grup ada yang keluar dari intruksi, itu bagaimana ceritanya sih?
Kifu : Ada, yaa ada banyak. Hahaha… tapi justru itu menariknya. Dari intruksi yang dibuat, terjadi beberapa distorsi. Jadi diintruksinya kan yang aku buat itu, aku minta foto yang latarnya polos, karena sebenarnya aku udah mikirin bakal seleksi lagi, biar mudah kan, tapi ternyata, malah ada yang motret bareng tangannya. Ada juga yang motret landscape tapi itu ngga masalah juga, karena aku masih anggap itu benda juga, jadi ngga masalah. Sebenarnya yang menarik di situ, aku melihat ada distorsi-distorsinya di situ.
Vero : Berarti walaupun benda-bendanya ngga sesuai instruksi, kalau melihat bendanya menarik tetap tetap dimasukin juga, ya?
Kifu : Sebenarnya keputusan aku itu bukan persoalan menarik atau ngga nya, ya, tapi ya ketika semua benda yang udah masuk, itu aku terima aja.
Vero : Untuk proses karya sejauh ini sudah selesai atau hampir selesai? atau sudah selesai semuanya? atau masih ada yang lainnya?
Kifu : Hampir selesai, karena kemaren itu tahapnya masihpengumpulan. Kemudian bendanya aku hadirkan kembali dengan intervensi aku sendiri. Jadi benda-bendanya sudah tidak utuh lagi, sudah aku distorsi dan reproduksi kembali. Sebenarnya ini sudah beberapa kali tahap reproduksi gambar.
Vero : Ceritakan dong, proses menentukan judul tersebut? dibantu teman-teman yang lain atau memang keinginan sendiri untuk mengangkat itu?
Kifu : Dibantuin sih, untuk menerjemahkan ke bahasa sana (Minangkabau). Sebenarnya judulnya itu kan “Bertemu dan Berbagi”, terus aku coba tanya sama Zekal dan Riski Bahasa Minangnya apa? jadilah bahasanya “Basuo jo Babagi”.
Vero : Untuk karya yang muncul norma baru, menurut Kifu bagaimana?
Kifu : Sebenarnya karya-karya itu muncul gara-gara memang kondisinya yang seperti saat ini. Maksudnya kita disuruh merespon situasi yang ada sekarang, dimana ruang kita sangat terbatas secara fisik, sehingga muncul karya-karya baru. Aku melihat ini kan rasanya “tiba-tiba”. Bikin karya normal baru, tapi setiap orang berkarya berbeda-beda, cuman aku melihat ini bukan sesuatu yang baru, tapi lebih ke sesuatu yang terpaksa saja. Karena kondisinya begini, jadinya bikin seperti itu, maksudnya kalau kita ngomongin eksplorasi medium, sebernarnya yang model-model seperti begini ngga benar-benar baru juga, bahkan sebelum Covid-19 ada, kan? Jadi aku melihatnya ngga terlalu baru-baru juga sih. Tapi lebih bikin karya yang konteks aja sama kondisi kita sekarang. Jadi mungkin bukan karya baru, juga bukan karyanya Normal Baru, lebih ke merespon situasi yang sekarang aja.
Vero : Dan bagaimana cara Kifu memahami tentang dunia online yang saat ini kerap digunakan? apakah itu sementara atau akan berlanjut?
Kifu : Aku belum tahu juga situasi kedepan akan bagaimana, tapi sebenarnya kalau untuk situasi saat ini, jujur aku tidak begitu suka. Contohnya kelas online, capek ya, cukup melelahkan tapi harus dijalani. Tapi.. sebenarnya perlu adaptasi saja,ya? tapi manfaatnya banyak juga karena akhirnya banyak ruang-ruang yang sebelumnya tidak bisa diakses secara fisik, kemudian bisa diakses, ketika semua orang akhirnya melakukan itu secara online. Ya, bisa diakses lebih mudah sama orang-orang, itu yang menarik sebenarnya. Karena di situasi sekarang, justru sebelumnya banyak ruang-ruang yang tidak bisa diakses secara fisik dan akhirnya terbuka untuk online, dan mudah diakses oleh beberapa orang. Jadi sebenarnya, ya cukup polemik juga sih situasi sekarang. Aku tidak tahu juga ini mempersulit atau mempermudah, karena kemampuan akses itu, setiap orang berbeda-beda. Apa yang bisa dilakukan sekarang ya, lakukakan aja.
Vero : Oh iya, di Palu kamu tergabung di Forum Sudut Pandang, untuk saat ini lagi ada kegiatan apa sih di sana?
Kifu : Ada sih rencananya, membuat program-program seperti itu kedepannya. Udah ada beberapa rancangan. Tapi, kalau untuk sekarang kita lagi sibuk membuat dokumenter arsip tentang tsunami di Sulawesi Tengah dari tahun 1927-2018. Jadi sebenarnya kerja-kerja di Forum Sudut Pandang, beberapa tahun terakhir ini fokusnya ke mitigasi bencana. Karena bagi kami itu lagi penting sekali sekarang. Tentang distirbusi pengetahuan soal mitigasi, itu saja sih.
Vero : Eh, tadi sebelum terputus, ada pertanyaan dari audience, “memangnya Kifu mengerti bahasa Minang?”
Kifu : Ngga mengerti sih. Hahaha… Ya, karena aku belum pernah tinggal di sana, mungkin maksudnya karena berkaitan dengan judul karya, ya. Aku rasa itu salah satu cara untuk merespon apa yang dan terjadi di sana. Ketika mau merespon isu ini, kan aku juga riset sebelumnya, karena sebelum aku mengerti tradisi masyarakat di sana, dan silahturahmi di sana, aku cari tahu dulu. Jadi setelah riset beberapa hari ternyata ada persamaan-persamaan dengan tradisi di Palu. Ya, salah satunya tentang sajian-sajian itu. Dan sisanya aku berdiskusi dengan Gubuak Kopi sebagai penyambung dalam membuat ide ini.
Vero : Apa sih temuan-temuan baru pada saat proses pembuatan karya berlangsung? Baik itu dari tema ataupun konsep?
Kifu : Ada, ada. Banyak sekali sebenarnya. Bahkan dari diskusi awal aku mencoba mencari tahu tentang tradisi-tradisi yang ada di sana (Minang, Sumatera Barat). Sudah banyak sekali list yang menarik, tapi aku masih mau menentukan cara meresponnya akan seperti apa dan bagaimana. Waktu (menjelang) presentasi karya aku kan juga cukup pendek, jadi aku coba fokus bahas satu saja. Padahal banyak sekali hal yang menarik untuk direspon, dan untuk perspektif baru juga. Tapi karena waktu terbatas, jadi aku fokus ke persoalan berbagi saja. Proses berkaryanya pun ketika di grup membuat instruksi dan teman-teman mengirimkan foto benda ke saya. Ya, itu sih yang menarik, persoalan distorsi tadi, ada temuan-temuan, ada yang tidak mengikuti peraturan, padahal itu udah dilakukan berulang-ulang bagi aku itu dinamika kelompok, dan itu menarik sebetulnya. Selain itu, juga tentang bagaimana mencoba untuk berkomunikasi di grup itu tanpa menggunakan fasilitas teks yang ada di grup, tapi berkomunikasi lewat image saja. Karena ini berhubungan dengan karyaku –yang aku maunya berkomunikasi aku dan mereka hanya melalui “image” saja, tanpa fasilitas teks di whatsapp. Tapi, kemudian ada percakapan-percakapan yang kalau nanti ngga dibalas takutnya dikira sombong, komunikasi ngga lancar.
Dan aku membuat semacam image yang bahasanya tak sekaku intruksi-intruksi yang dibuat di awal. Kan kalau dilihat dari awal aku cukup kaku ya, maksudnya instruksinya seperti men-direct, gitu. “Kirim ini”, “buatlah ini”, “lakukan berulang-ulang”. Tapi kemudian kalau seperti ini terus rasanya ada yang kurang. Makanya aku coba membuat pernyataan-pernyataan ekspresi, seperti “mantap”, “terima kasih”.
Aku harus merespon kejadian yang ada di group itu, kan? Tidak semata-mata memberikan instruksi. Ya, aku mencoba merefleksikan lagi tentang tradisi (silahturahmi) itu, jangan-jangan tradisi ini sebenarnya juga soal beradaptasi juga kan? Dan menjadi tidak kaku. Pasti ada sesuatu yang berubah, ada adabtasi. Jadi, menarik sebetulnya membahas bagaimana tradisi, dan pendistribusian pengetahuan yang ada di tradisi itu.
Vero : Kalau boleh tahu nih, besok malam kan presentasi publik. Itu kira-kira presentasinya melalui apa dan seperti apa?
Kifu : Jadi besok rencananya proses karyanya akan diupload di website, tapi karyanya sendiri kalau tidak salah akan kata kurator akan diupload di Instagram, secara bertahap. Dan kenapa memilih di sosial media, biar lebih relevan dengan persoalan “berbagi”, dan tentunya lebih mudah diakses. Mungkin hanya dua platform (instagram dan halaman website gubuakkopi.id/basuojobabagi) itu saja yang aku gunakan.
Vero : Okee… thanks Kifu sudah menyempatkan ngobrol bareng, cerita-cerita soal konsep karyanya. Sukses dan terus berkarya.
Portofolio dan kuratorial project: Lapuak-lapuak Dikajangi #3