Hari-hari Kembali ke Rumah

Hari itu adalah hari ke 6 diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala besar (PSBB) di DKI Jakarta. Kabar ini kulihat di salah satu pesawat televisi swasta di rumahku. Aku sudah jarang  sekali menonton televisi, ini ku lakukan ketika pulang ke rumah. Jika di kos atau di kampus biasanya menonton aplikasi berbayar atau media sosial yang bisa diakses melalui telepon pintar ku. Aku tidak berada di Jakarta, aku berada di salah satu daerah terluar Kabupaten Solok, rimba kami langsung berbatasan dengan rimba Ibu Kota Sumatra Barat, yakni Padang.

Rumahku di sebuah tanah perumahan kaum (klan) Guci, bukan perumahan seperti komplek di desa desa yang sudah dikapling-kapling, tapi sebuah tanah pusaka suku yang dikhususkan untuk membangun rumah bagi para kemenakan perempuan yang diatur oleh kepala kaum atau mamak. Memang kalau dilihat sekilas susunan rumah di sini tata letaknya sama seperti kita masuk ke sebuah komplek perumahan di kota-kota kecil, bedanya bangunan di sini lebih bervariasi.

Bangunan rumah-rumah di sini, setahu ku bisa dibagi menjadi tiga periode: Pertama adalah rumah dengan gaya khas arsitektur Minangkabau, rumah gadang. Jumlahnya tidak habis separoh jari di satu tangan menghitungnya. Kabarnya, dulu sempat banyak rumah gadang, tetapi gejolak peri-peri membuat rumah-rumah di kampung terbakar. Ada yang mengatakan warga sendiri yang membakar agar tentara pusat tidak berdiam di sini, ada pula yang mengatakan ini dibakar oleh tentara pusat yang melihat kampung ini sebagai wilayah lumbung pangan pasukan pendukung PRRI.

Salah satu rumah gadang yang tersisa di Gantung Ciri (Biki/2020)

Peri-peri adalah istilah yang biasa kami sebut mengenang revolusi Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia, atau dalam sudut pandang negara disebut “Pemberontakan PRRI”. Waktu itu sekitar tahun 1950an hingga awal 1960an, Sumatera bagian tengah –yang terpusat di Sumatera Barat, menentang pemerintah Indonesia atau pusat, yang dinilai menjalankan pembangunan tidak merata atau hanya terpusat di Jawa. Situasi ini menyebabkan konflik bersenjata yang menelan banyak korban, setelah tentara pusat membakar kampung, warga melakukan ijok (bersembunyi/mengungsi) ke Nagari Cupak, sementara para pemuda dan pasukuan bersenjata yang tergabung dalam peri-peri bergerilya di rimba kami, yang langsung berbatasan dengan Padang tadi.

Kedua adalah rumah yang dibangun setelah periode ijok atau setelah peri-peri reda. Sebagian besar bangunan bergaya arsitektur Melayu umumnya dengan atap limas. Sebagian besar kontruksi terbuat dari kayu. Dinding rumah bermacam-macam, ada yang dari batuang (salah satu jenis bambu) yang dicacah dan dibagi dua, hingga membentuk helaian yang disebut palupuah.

Palupuah ini dipasang secara bersilang dengan dua lapisan, lapisan pertama dipasang secara vertikal dengan bagian licin dari Palupuah dihadapkan keluar lapisan kedua secara horizontal. Konon katanya dengan cara pemasangan seperti ini, dinding rumah menjadi tahan terhadap peluru. Peluru-peluru tersebut akan memental dengan palupuah yang elastis. Cukup logis juga pikir saya. Selain berdinding palupuah, sebagian besar rumah di sini dilapisi dengan papan dari kayu-kayu yang diambil langsung dari kebun mereka.

Rumah berdinding palupuah (Biki/2020)
Rumah berdinding papan (Biki/2020)
Rumah berlapis semen (Biki/2020)

Selain itu, di priode yang sama juga ada rumah yang dilapisi dengan semen dan pasir, yang ditempelkan pada kawat-kawat yang sudah dikaitkan ke tiang-tiang kayu. Kebanyakan rumah-rumah seperti ini beratap genteng dan ada jendela kacanya. Tidak banyak rumah seperti ini, karena rumah yang bergaya seperti ini biasanya adalah rumah orang yang berpusaka banyak dan bersawah luas.

Benar saja, rumah yang ku tinggali sekarang adalah salah satu dari rumah itu. Rumah ini juga ada cerobong asap ala rumah di Eropa sana. Eitss, tapi ini bukan rumah milik keluarga ku. Kami tinggal di sini karena hubungan baik ayahku dengan nenek pemilik rumah ini. Sebelum kami, tidak ada yang menghuni rumah tua ini, semua anak beliau merantau di tanah Jawa dan sudah punya rumah juga di sana, dan beliau pun dibawa ke sana oleh anak-anaknya. Rumah ini adalah salah satu rumah paling cantik setelah pergolakan peri-peri. Berhadap-hadapan dengan sebuah rumah gadang yang sengaja disisihkan kala pembakaran kampung, sebagai bukti sejarah katanya.

Model rumah yang terakir atau ketiga adalah rumah yang bergaya minimalis. Barang kali bisa saya sebut ala rumah rumah zaman sekarang. Kecil, sempit, tidak ada halaman, isi rumah penuh dengan kursi dan sofa-sofa cantik yang bikin kantuk ku makin berat.

***

Sudah lewat satu minggu telepon pintar ku rusak. Belum ada gantinya, harga telepon pintar cukup mahal pada situasi sekarang ini. Dimana semua orang diwajibkan di rumah untuk memutus rantai penyebaran virus covid-19 yang sudah sampai merebak ke Sumatra Barat. Tidak ada internet hari ini tidak ada keramaiaan, plus tidak ada pemasukan. Kadang ini membuat stres. Terbatasnya komunikasi dengan pihak luar, semua kegiatan dihentikan. Kebijakan demi kebijakan diambil oleh pemerintah untuk memusnahkan virus ini. Dilarang untuk berkumpul, yang berjualan atau warung-warung harus tutup pukul 21.00, membuat keadaan kampung begitu sunyi.

Aku semacam pekerja seni yang tak ber-SK. Orang-orang sepertiku mendapatkan penghasilan kebanyakan dari agenda pesta perkawinan untuk mengisi live musik, dari ivent-ivent daerah atau perhelatan-perhelatan akbar yang datangnya bak rejeki harimau. Sekarang  semua itu dilarang sampai waktu yang tidak ditentukan. Selain sebagai pekerja seni aku juga ikut serta dalam sebuah kelompok studi seni dan media yang berbasis di Kota Solok, Komunitas Gubuak Kopi.

Komunitas Gubuak Kopi adalah sebuah lembaga non-profit yang tidak begitu besar, untuk menjalanan program dan kegiatan di komunitas, kami lakukan secara kolektif. Beberapa kali untuk kegiatan yang lebih besar kita menggandeng penyalur dana kebudayaan, dan mengajukan proposal kemitraan,tapi bak rejeki harimau juga. Biasanya intensif dan uang transport untuk kami, kami sisihkan untuk membuat sebuah produk atau cendra mata kreatif, lalu kami jual melalui sebuah toko yang kami kelola untuk pendanaan mandiri. Dulunya bernama Gubuak Kopi Store, sekarang sudah berganti nama menjadi JIBI Store.

Komunitas yang hidup karena seniman, dan saat ini para seniman, termasuk kami cukup canggung menghadapi situasi pendemi ini. Kecuali program-program penelitan dan pengarsipan, beberapa kegiatan yang sudah dirancang sampai akhir tahun 2020 sudah bisa dipastikan batal semua, beberapa bisa kami sesuaikan untuk dialakankan melalui jaringan internet. Tapi syurkurlah, JIBI Store cukup untuk membuat listrik Rumah Tamera (Markas Gubuak Kopi saat ini) bisa tetap menyala. Kebun Daur Subur Lab di Rumah Tamera cukup untuk menu sederhana.

Melihat keadaan semakin memburuk, dan Sumatera Barat menerapkan protokol PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) maka kami memutuskan untuk pulang  dan membawa pekerjaan ke rumah masing-masing, sesekali mencuri waktu untuk kembali. Kita sepakat dengan kondisi saat itu, berkumpul di rumah bersama keluarga, adalah pilihan yang cukup baik. Serta berusaha berkontribusi, menerapkan “Kultur Daur Subur”, menyimak dan merekam aksi kita dan warga kampung masing-masing merespon situasi ini.

Suasana malam pos pemeriksaan warga keluar masuk untuk mencegah penyebaran covid di Gantung Ciri. (Badri/2020)

Setiap perbatasaan wilayah diberlakukan pemerikasaan suhu badan. Di kampungku hanya ada dua pintu masuk  dijaga  secara bergantian setiap hari dibagi sebanyak 3 shift jaga, dan diberikan upah sebanyak Rp80.000, untuk setiap orang. Dana tersebut dikeluarkan dari Dana Desa yang dikelola oleh pemerintah Nagari Gantung Ciri.

Beberapa hari yang lalu kampungku di kunjungi oleh wakil bupati untuk melihat ketanggapan pemerintah Nagari dalam pencegahan bala ini.  kebanyakan pemuda sebaya ku merantau ke tanah Jawa. Kala itu, kabar yang aku dapat, sebanyak 98 orang perantau telah pulang. Mereka semua disurati dari Walinagari agar melakukan pengecekan dan wajib karantina selam 15 hari. Tapi apa boleh buat, kebiasaaan beberapa dari anak rantau yang pulang, sampai di kampung tentu ingin duduk di lapau (warung kopi) dan disapa seperti ini: ”eeeh pulang anak rantau maahh” (wah anak rantau pulang).

Ada juga yang sadar untuk mengisolasi di rumah tapi malamnya diam-diam pergi ke rumah temannya. Ya, begitulah.

Pemandangan atap rumah di Korong Piliang, Gantung Ciri, Solok. (Biki/2020)

Hampir satu bulan tidak ada internet digenggamanku. Sekarang telah masuk hari ketiga bulan puasa, tidak ada keriuahan malam, tidak ada kerumunan perempuan berkain putih lalu lalang menuju tempat sujud bersama, tidak ada lambaian bunga api yang dibawa lari oleh bocah-bocah bersarung, yang serempak keluar rumah setelah menyantap beragam manisan.

Tak dapat lagi penceramah menjadi artis sehabis witir, yang diserbu oleh para pemburu tanda tangan “agenda ramadhan”, tak ada rapat program remaja masjid  yang mendadak minta anggaran, tidak ada ancang-ancang buka  bersama angkatan. Yang ada hanya siaran bertambahnya pelanggan covid-19 ini, hingga si penawar pun menjadi korban. Ditambah keluhan buruh yang diberhentikan, tidak ada amplop atau pesangon yang terpaksa pulang kampung agar bisa makan. Ada yang mengatakan ini sudah parah dari krisis moneter 98. bagaimana tidak semua harga menukik drastis karena pasar tutup seperti harga telur bebek yang biasanya Rp2000., sekarang hanya Rp1400., paling mahal .

dak tabaia panek mangiak jarami do”

(tidak terbayarkan letihnya mengangkat jerami) kata para peternak.

Setiap pukul 21.00 hanya terdengar himbauan dari mobil ambulan nagari untuk membubarkan kerumanan. Setiap malam Jumat, himbauan ditambah dengan pelarangan untuk shalat jumat di masjid dari pemangku kebijakan.

Himbauan terkait shalat jumat itu sampai minggu ketiga bulan puasa ini sempat terhenti. Berdekatan dengan hari ketika 3 ekor harimau masuk lahan perkebunan, rimba tempat para kakek kami dulu bergerilya. Polisi desa dan lima orang petani lainnya yang terjebak di ladang harus berbuka dengan air liur di atas pohon. Bantuan penjemputan dari masyarakat berhasil membawa mereka pulang sekitar pukul sepuluh malam.

Berbagai narasi masyarkat tentang munculnya harimau ini.

“ini adalah peringatan untuk kita semua karena masjid ditutup,” beberapa orang berpendapat tergesa-gesa. Pada jam sahur toa masjid  mengeluarkan pengunguman bahwa mulai besok sampai tiga hari ke depan tidak ada yang boleh ke ladang, karena besok tim penjiak harimau akan melakukan evakuasi. Sementara besoknya adalah hari Jumat dan saya bangun sudah pukul 2 siang ternyata khatib naik mimbar di masjid raya. Berselang dua hari ketika @solokmilikwarga mengabarkan bahwa “si virus viral” sudah mendapat pelanggan di desa sebelah, dan hari berikutnya disusul kabar dari petronas bahwa pertahanan “Kota Solok” yang sebelumnya bertahan sebagai zona hijau telah jebol. Membuat pesimis masyarakat akan berhari raya semakin besar.

***

Sekencang orang-orang menyebarkan bunyi #dirumahaja, semakin kata rumah menjadi akrab dan menarik untuk diselidiki. Menjadikan rumah sebagai pertahanan terkahir atas bala yang tidak tampak ini. Lainnya halnya dengan masa gejolak peri-peri warga kampung berhadapan dengan musuh yang tampak. Tahun demi tahun, rumah-rumah berubah dan menyesuaikan, mendesiannya menjadi tempat yang aman dan nyaman. Tahun ini kita memasuki transisi menuju normal baru, mari sama-sama kita simak bagaimana kita semua merespon ini.

Mei 2020

Baca artikel lainnya terkait situasi Corona Sumbar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.