Sebuah negeri di balik bukit timur Kota Padang yang terkenal dengan kualitas pertanian dan emasnya. Tanah yang subur dan hasil bumi yang melimpah membuat derah ini mashur. Berita ini di sampaikan oleh Sir Thomas Stamford Raffles seorang Inggris yang datang pada tahun 1818 ketika mengunjungi pusat kerajaan Minangkabau. Ketika perang Napoleon beberapawilayah jajahan Belanda diserahkan pada Inggris, termasuk Sumatra Barat, hingga harus dikembalikan setelah perang urusai. Berharap dapat meyakinkan Raja Inggris untuk menguasai Minangkabau, ia membawa sejumlah rombongan dan peneliti untuk membagun kerja sama dengan para pemimpin lokal.
Raffles naik dari Padang mengikuti jalan setapak yang biasa masyarakat gunakan sebagai akses membawa hasil bumi menuju pasar di Kota Padang. Ketika Raffles sudah mencapai sebuah bukit, dalam catatannya Raffles menyebut tempat tersebut dengan Bukit Selaya (Salayo), ia merasa bahagia melihat lembah yang subur, 13Kota (yang juga dikenal sebagai Kubuang tigo Baleh) jauh lebih subur dari daerah yang pernah di temui sebelumnya. Ketika itu Raffles menulis surat pada Ratu Inggris, Raffles mengatakan bahwa deerah ini cocok sebagai ganti atas lepasnya pulau Jawa. Benar saja Raffles mencatat di lereng bukit tumbuh budi daya kopi, tebu, dan tanaman penghasil minyak dan dataran bawahnya digunakan sebagi lahan sawah. Kota pertama yang dimasuki Raffles adalah pass tol bawah Gantuang Ciri. Daerah ini merupakan salah satu pintu masuk 13 Kota, dari Kota Padang.
Jalur setapak via Solok – Padang ini juga mempunyai cerita bagi masarakat Gantuang Ciri. Seorang ayah tiga orang anak menceritakan kisah keluarganya kepada saya. Ia bernama Basrul Bokat yang biasa disapa Mak Uun oleh kemanakan–kemanakannya. Suku ia sendiri adalah Piliang. Ia tidak bergelar adat, tapi ia menjadi tempat bertukar pikiran, baik dalam kaum maupun nagari. Ia bercerita tentang lasuang kamba (lesung kembar), sebuah alat penumbuk padi dari batu yang memiliki dua buah lobang. Lesung ini sengaja dibuat oleh sebuah keluarga yang mempunyai anak perempuan kembar. Di daerah ini, tanah yang di bawah aliran air bisa dipastikan adalah wilayah persawahan. Kebiasaan pada waktu itu bisa dikatakan rutinitas perempuan di rumah adalah menumbuk padi di lesung. Lesung juga digunakan untuk melumatkan bahan makanan, seperti kerja mesin giling makanan saat ini. Sepasang perempuan kembar itu adalah nenek buyutnya.
Setelah beranjak remaja terjadi sebuah pertengkaran antara perempuan kembar itu, dikarenakan tidak ada yang mengalah, maka dipilihlah jalan tengah dengan cara memisahkan mereka, yang satu tetap tinggal di Gantuang Ciri dan satunya lagi ikut dengan beberapa rombongan untuk pindah ke Padang. Mereka pergi ke Padang melalui jalur setapak yang sama, yang di tempuh Raffles. Pada waktu itu memang jalur Gantuang Ciri-Limau Manih yang melintasi pebukitan Bukit Barisan merupakan jalur utama masyarakat Kubuang Tigo Baleh ke pusat niaga di Padang.
Saya menanyakan kepada Mak Uun bagaimana pendapatnya tentang hubungan kedua daerah itu saat ini?Ia menjawab,
”hubungan kedua daerah tidak bisa dipisahkan karena mereka diikat oleh tali silaturahmi kekerabatan, sampai mereka berketurunan dan beranak-pinak, mereka tetap anak kemenakan dari suku (klan)Piliang di Gantuang Ciri”.
Ia adalah keturunan ke-empat apabila dihitung dari “nenek lasuang kamba’’. Ia juga mendapat cerita dari mamaknya (saudara laki laki dari pihak ibu), ketika ia masih bujang dulu, bahwa ada dunsanak kita di Limau Manih. Hubungan sempat terputus karena peristiwa peri-peri. Peri-peri demikian sebutan masarakat lokal merujuk masa gejolak Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Gantuang Ciri merupakan salah satu daerah penting, sewaktu peri-peri melakukan gerilya di rimba Bukit Barisan. Posisi geografis Nagari Gantuang Ciri yang dibatasi lapisan bukit dengan Padang membuat derah ini cukup strategis.
Panen padi melimpah saat itu, padi tidak jual langsung seperti sekarang. Padi yang dipanen biasanya disimpan di dalam rangkiang (bangunan tempat penyimpanan padi di Minangkabau). Sekarang, bahkan sebelum padi itu berubah menjadi beras, ia sudah dijual. Ini terjadi karna tuntutan ekonomi yang serba mendesak saat ini. Padi-padi yang disimpan di rangkiang tersebut dulu digunakan untuk memasok makanan ke dalam rimba, dan akhirnya aktivitas nagari ini pun diketahui oleh tentara pusat. Terutama semenjak mereka berhasil menduduki Salayo dan bermarkas di sebuah Rumah Gadang.
Ini dibuktikan ketika Mak Uun muda. Ia merantau ke-Jakarta tahun 1995. Ia makan siang di sebuah warung nasi Padang, kemudian datanglah seorang paruh baya berbadan tegap yang juga ingin memesan sebungkus ‘nasi padang’. Sembari menunggu pesanan, ia bercerita hal yang biasa jika dalam pertemuan pertama. Ia pun menyebutkan nama dan asal. Lelaki tua itu memberitahu Mak Uun bahwa dia juga orang Padang. Ia tinggal di Salayo dan juga tahu tentang seluk beluk daerah Solok. Cara ia berdialog menggunakan bahasa Minang yang dicampur dengan bahasa indonesia, namun berlogat Jawa, membuat Mak Uun sedikit mengerutkan kening.
Mak Uun pun mulai penasaran dengan lelaki tua ini, bahwa jarang sekali orang Minang logatnya seperti itu. Mak Uun mulai mengira-ngira salah satu rumah lelaki tua itu tinggali di Salayo. Perkiraan Mak Uun ternyata betul. Tidak sampai di situ Mak Uun juga menebak tahun berapa lelaki tua ini meninggalkan Salayo. Tidak salah lagi Mak Uun langsung menyam paikan tebakan terakir, “bapak pensiunan tentara?.”tanya Mak Uun.
Wajah yang sudah mulai ada kerutan itu pun tersenyum sambil tertawa kecil.
“Benar, saya adalah pensiunan tentara yang sempat bertugas di Padang, untuk menuntaskan pergolakan di sana di bawah pimpinan Harimau Kuranji.” Jawab lelaki tua itu sambil menghela nafas.
Akirnya lelaki tua itu bertanya kembali “kok adek sampai tahu dengan rumah itu?”
Mak Uun muda pun menjawab, “saya besar dan juga mempunyai orang tua angkat di sana ketika saya SMP, masyarakat di sana bercerita bahwa salah satu Rumah Gadang di sini pernah menjadi basecamp tentara nasiaonal.”
Pembicaraan dilanjutkan Mak Uun menceritakan bagaimana keadaan terakhir kampung kecil yang kaya beras itu. Tidak sadar nasi yang dihidangkan sudah dingin, karana asik bercerita pembicaraan pun berakhir. Singkatnya, Gantuang Ciri “dibumi hanguskan”, sebelumnya rumah-rumah di Gantuang Ciri hampir seluruhnya bergaya arsitektur tradisional: Rumah Gadang, yang terbuat dari kayu beratapkan ijuak atau rumbio. Semua perempuan diungsikan ke Cupak (nagari tetangga Gantuang Ciri), laki-laki hilang masuk rimba dan ada yang lari ke perantauan.
Orang Gantuang Ciri meyebutnya Maso Ijok (masa bersembunyi atau menghilang dari kampung). Di perantauan masarakat merubah identitas mereka agar tidak dikenali, karena pada saat itu orang Minang dianggap sebagai pemberontak dalam citra yang benar-benar negatif. Masa ini membuat semua tatanan nagari jadi berantakan, termasuk hubungan keluarga Gantuang ciri dengan Limau Manih. Komunikasi terputus selama puluhan tahun katanya.
***
Arin, dunsanak Mak Uun bercerita. Pada tahun 2000 ia dan teman temannya datang Ke Limau Manih untuk memenuhi panggilan kerja menggarap sawah yang ada di sana. Arin menginap di rumah Buk Emi, seorang guru di salah satu SD di Limau Manih, dan juga pemilik sawah yang esok hari akan digarap.
Pagi-pagi sambil sarapan, Arin dan Buk Emi berkenalan dan bercerita. Setelah Arin memperkenalkan diri dan menerangkan kampung asalnya, Buk Emi menyampaikan bahwa ada balahan (kerabat) di Gantuang Ciri. Arin pun bertanya siapa balahan ibu di Gantuang Ciri?
Buk Emi menjawab, “mamak saya mengatakan Tambasa, Pono Manih, Datuak Bonsu”
Arin pun berkata dalam hati mungkinkah ini? Karena yang disebutkan Buk Emi adalah nama pembesarsuku Piliang Di Gantuang Ciri, tapi Arin belum yakin.
Arin semakin penasaran, mande saya juga pernah mengatakan bahwa di sini ada balahan sukunya, komunikasi kami terputus semenjak maso ijok dulu. Setelah Arin mengatakan begitu, Buk Emi pun penasaran dan bertanya, siapa nama kerabatmu di sini, yang disebutkan ibumu?
Arin Menjawab, dulu ibu saya pernah berpesan “bilo ang ka padang singgah-singgah jeh lah ka Limau Manih, tanyo-tanyo sinan Uwak Santan, baliau dak baranak, kok rumah baliau di Gantiang. Sorang lai laki–laki, Mak Uyun namonyo, rumah di Ilalang, dunsanak awak noh” (kalau kamu ke Padang singgah lah ke Limau Manih, tanya di sana Uwak Santan, dia tidak punya anak. Satu lagi laki-laki, Mak Uyun, rumahnya di Ilalang mereka adalah keluarga kita).
Sesaat setelah bercerita, Buk Emi langsung menuju dapur menemui seseorang, lalu kembali dengan seorang wanita tua.
“iko Uwak Santan nan ang tanyoan deh” (ini Uwak Santan yang Kamu tanyakan). Arin pun kaget, ternyata dia berada rumah orang yang dia cari-cari selama ini.
“dima kampuang? aa suku? sia namo amak? Kok iyolah ang badunsanak jo deen” (kampung dimana? Suku mu apa? Siapa nama ibumu? Coba jawab kalau memang iya kita bersaudara) tanya Uwak.
Sambil senyum-senyum kecil. Arin pun menjawab, ”kampuang di Gantuang Ciri, suku Piliang, namo Mande Sikaciak, Gala Mamak Tambasa”. (kampung saya Di Gantuang Ciri, Suku Saya Piliang, Nama Ibu Saya Sikaciak, Galar Mamak saya Tambasa).
Uwak Santan bertanya lagi “lai masih ado mande?” (ibumu masih hidup?)
“lai”(masih).
Inyiak langsung mengeluarkan sejumlah uang dari kaduik (tempat menyimpan uang) dan memberikan kepada Arin sambil berkata,
“sudah sawah, pulang ang bisuak bao mande muah, kecekan den nak basuo” (selesai berkerja di sawah pulanglah kau ke Gantung Ciri, besok kamu ke sini lagi, sekalian bawa ibumu, bilang aku ingin bertemu).
Tidak terasa sudah satu jam dialog ini berlangsung, jam sudah menunjukan pukul 10.00, Buk Emi pun telat berangkat ke sekolah. Selesai berkerja di sawah tanpa pikir panjang, Arin mengemasi barang dan mengganti bajunya. Setelah pamit, Arin naik angkot ke Pasar Banda Buek dengan membayar ongkos Rp. 300. Dilanjutkan menaiki bus Solok–Padang melewati Sitinjau Lauik yang terkenal ekstrim. Bus berhenti di simpang Selayo (simpang jalan menuju Gantuang Ciri) jalur yang dilalui angkutan Pasar Raya Solok-Gantuang Ciri. Sebuah mobil jenis carry datang. Sopir dari angkutan pun berteriak dari singgasananya,
“ka ateh daaa?” (ke atas daaa?)
Letak Gantuang Ciri di kaki Bukit Barisan dan jalan yang agak menanjak dari Selayo. Ateh (atas) menjadi kode bagi supir untuk menanyakan pada calon penumpang. Arin pun menaiki mobil tersebut, mobil itu hampir penuh oleh penumpang dan barang-barang hasil belanja penumpang lain. Mobil carry pun melaju melintasi aspal kasar, dan jalan berlubang di daerah Aia Taganang. Sampai hari ini jalanannya masih begitu. Kemudian melewati Sawah Suduik, Kelok Duri, sebuah tikungan tajam dan menanjak, Kubua Harimau, Cagua, Pakan Sinayan, dan Simpang Indah, perbatasan Nagari Gantuang Ciri dengan Nagari Salayo. Sekitar 300 meter dari Simpang Indah, Arin berteriak pada Supir,
“siko ciek pak supir”(saya turun di sini pak supir).
Carry pun berhenti, Arin turun dan membayar ongkos sebanyak Rp. 150. Carry pun meninggalkan Arin. Dengan tas di bahu kanan, Arin menaiki tangga beton yang kokoh sampai ke halaman rumah. Dari halaman Arin juga harus menaiki tangga lagi untuk sampai dirumah orang tuanya, tepatnya posisi rumah berada di atas jalan. Rumah ini masih ada sampai sekarang, Mak Uun menunjukannya pada saya. Sesampai di rumah Arin menceritakan apa yang ia temui di Limau Manih kepada ibunya. Tanpa pikir panjang Nenek Sikaciak pun setuju,
“besok kita berangkat ke Padang”.
Keesokan harinya berangkatlah Arin dengan Nenek Sikaciak ditemani Niak Angah (adik dari nenek Sikaciak yang bernama Nurbaya) menuju Padang, dan bertemulah kembali keluarga yang terpisah oleh perang saudara ini.
Di Padang, Nenek Sikaciak dan Arin disambut oleh Inyiak Santan dan Mak Uyun (saudara laki-laki Nyiak Santan) serta keluarga kecil Inyiak Santan di rumah. Keesokan harinya datang pimpinan kaum Piliang yang bergelar Tambasa juga sama dengan gelar yang di Gantuang Ciri.
Di Padang, nenek Sikaciak dan Arin menginap selama satu hari dan pulang ke Gantuang Ciri yang langsung diantarkan oleh pihak Limau Manih, dengan niat diri untuk melihat kampung, dan kembali menjalin silaturahmi yang sudah lama terputus.
Rombongan dari Limau Manih pun sampai di Gantuang Ciri. Disambut oleh Kaum Tambasa di Gantuang Ciri di Lasuang Kamba, Korong Piliang, di sebuah rumah yang dulunya di atas tanah itu berdiri rumah Gadang Kaum Piliang.
Di rumah itu baru lahir seorang bayi perempuan umur tiga hari belum mempunyai nama, Inyiak Tanun memberi nama Narti. Narti adalah nama cucu ia di Limau Manih yang baru lahir beberapa bulan yang lalu. Kata Inyiak Santan sebagai tanda keluarga, lasuang kamba sudah bersatu kembali. Supaya mudah mencari keluarga esok hari, sejak saat itu kedua keluarga saling berkunjung, terlebih ketika ada pernikahan anak kamanakan maupun kematian.
(bersambung ke LASUANG KAMBA DAN JAUH YANG DEKAT (Bagian II) )
* Artikel ini sebelumnya telah dipublikasi di Buku Kurun Niaga: Kala Negeri Dikelola Pemodal, diterbitkan oleh Gubuak Kopi – Art and Media Studies (2019)