Sekitar pukul setengah sebelas, pada 28 Agustus 2019 saya bersama bebebrapa partisipan proyek seni Kurun Niaga melakukan perjalanan observasi ke Kota Sawahlunto. Adapun yang ikut adalah Albert Rahman Putra, Biki Wabihamdika, Biahlil Badri, Dedi Palito Club, Mella Darmayanti yang sekaligus menjadi mahasiswa magang di Gubuak Kopi dari Universitas Negeri Padang. Selain itu juga ada Lizzie Moss, salah seorang teman dari Australia. Ia adalah relawan “Australian Volenteer Program” untuk mengembangkan ekonomi kreatif di Solok. Di sela-sela tugasnya ia juga sering mampir dan mengisi materi kelas Bahasa Inggris untuk kami.
Kami melakukan perjalan ke Sawahlunto dengan satu unit mobil mini bus, perjalan ini bertujuan untuk mengobservasi bukti-bukti sejarah yang ada di kota itu. Penguatannya lebih kepada jalur-jalur transportasi yang ada pada masa lalu dan peninggalan sejarahnya. Melihat sebuah kota seperti sebuah komplek pabrik batu bara yang besar.
Sekitar pukul sepuluh siang dengan hari yang cerah, dengan membawa bekal minuman kopi yang dibuat oleh Biki, perjalanan dimulai dengan menjemput Mella yang sedang praktek lapangan di salah satu SMP di Kota Solok. Lalu dilanjutkan dengan menjemput Dedi di rumahnya yang kebetulan searah dengan jalur yang akan ditempuh. Mobil yang kemudikan oleh Albert melaju dengan tenang, beberapa percakapan dimulai di mobil tentang beberapa peninggalan sejarah yang ada di Sawahlunto. Jua kami membicarakan tentang tempat yang akan dituju pertama kali yaitu Museum Kereta Api Sawahlunto atau Train Museum. Cukup menegangkan untuk memulai percakapan dengan Lizzie yang kurang lancar berbahasa Indonesia, tapi juga merupakan tantangan untuk meningkatkan kualitas bahasa Inggris saya. Selain itu, dalam proyek ini kita juga sering menerjemahkan arsip-asrip dalam bahasa Inggris dan Belanda.
Perjalan menuju Sawahlunto tidak terasa lama, hanya membutuhkan waktu satu jam. Sebelum perjalanan dimulai, di sekretariat Komunitas Gubuak Kopi kami telah membahasa mengenai kota Sawahlunto yang merupakan salah satu situs warisan budaya dunia UNESCO. Senang mengetahui bahwa kota ini merupakan salah satu situs warisan dunia, tentunya kaya akan budaya dan peninggalan sejarahnya yang dirawat dengan baik oleh pemerintah dan masyarakat di Sawahlunto.
Tidak beberapa jauh dari Museum Kereta Api, terlihat sebuah menara yang tinggi menjulang kelangit, terbayang jika seandainya berada di atas menara itu kita dapat melihat kota secara keseluruhan. Ketika memasuki kota, terlihat sebuah identitas kota yang kental, dan susunan kota yang cukup rapi. Setiba di Museum Kereta Api terlihat gerbong kereta yang telah direnovasi menjadi restoran, pertama kalinya bagi saya berkunjung ke sini dan membuat saya kagum.
Memasuki stasiun kereta yang dirancang oleh Dr. Jan Willem Ijzerman, dan berhasil diselesaikan pada tahun 1892. Kereta ini pertama kalinya digunakan untuk mengangkut batu bara pada masa itu dan pada tahun 2014 terakhir digunakan sebagai kereta wisata. Masih terdapat banyak gerbong yang sudah tidak dipakai di stasiun ini, beberapa di antaranya sedang diperbaiki, dan ada juga gerbong yang boleh dimasuki oleh pengunjung Museum Kereta Api.
Beberapa foto kami abadikan di stasiun sebagai bentuk dokumentasi. Ketika di dalam museum pandangan pertama disuguhkan dengan miniatur kereta api yang di sekelilingnya terdapat batu bara, dan banyak dokumentasi dalam bentuk foto ketika proses pembuatan kereta, baik pekerja dan bahan-bahan pembuatan rel. Selain foto juga terdapat sebuah artefak imitasi maupun asli, beberapa di antaranya yaitu bukti peninggalan sejarah seperti brankas besi, telepon kabel, dan mesin ketik yang digunakan untuk pengoperasian stasiun kereta.
Setelah selesai melakukan observasi di Museum Kereta Api, saya dan teman-teman melanjutkan perjalanan ke Museum Goedang Ransoem, museum ini dulunya digunakan sebagai dapur untuk pengelolaan makanan bagi para perkerja tambang. Badri, Mella dan Lizzy memasuki bangunan museum lebih dulu melihat-lihat peninggalan sejarah yang ada di meseum sambil mengambil foto-foto untuk dokumentasi. Di samping itu saya bersama beberapa teman yaitu Albert, Biki dan Dedi di luar bangunan sembari mendiskusikan hal-hal yang menarik di museum kereta tadi.
Sekembali teman-teman dari dalam museum, kami melanjutkan perjalanan untuk mencari tempat peristirahatan dan makan siang. Memasuki pasar dan membeli nasi bungkus. Saya berkesempatan untuk berkeliling sekitar pasar untuk membeli beberapa makanan ringan, berjalan di alun-alun pasar serasa berjalan di sebuah kota tua yang indah, sayangnya terdapat beberapa sampah berserakan dan sedikit bermasalah dengan kebersihan, dan mungkin biasa kita temukan juga di Sumatera Barat. Saya dan teman-teman makan siang di sebuah taman di kawasan Silo (tempat memasukkan batu bara). Terdapat tiga cerobong berukuran sangat besar, di depannya terdapat stasiun kereta untuk memasukkan batu bara ke dalam gerbong kereta. Seusai makan siang, saya menyempatkan diri untuk menikmati fasilitas taman dan bermain dengan beberapa ekor kucing di kawasan taman.
Di siang hari yang cukup panas kami melanjutkan perjalanan ke tempat pencucian batu bara Bukit Asam. Masuk ke dalam kawasan terdapat sebuah post penjaga, dari situ terlihat bangunan tua menyeramkan, yang sudah tidak terawat dan tidak terpakai. Tedapat sebuah tempat penyimpanan batu bara yang sudah dimakan waktu. Saya dan teman-teman diperbolehkan untuk melihat secara langsung di sekitar tempat penyimpanan batu bara. Ada juga beberapa ruangan yang sudah tidak terpakai dan kotoran sapi yang tidak beraturan. Sungai di tengah-tengahnya sudah terkikis oleh abrasi.
Untuk menghemat waktu yang sudah beranjak sore, saya dan teman-teman tidak berlama-lama di tempat pencucian batu bara, dan melanjutkan perjalan ke PLTU Salak melewati tepian Batang Ombilin, sungai yang lebar dan airnya yang berwarna coklat nampak tidak lagi sehat untuk dikonsumsi.
Kami tidak lama di bekas PLTU itu. Kami kembali melanjutkan perjalan kearah Kandi selama di perjalanan nampak sebuah parbrik batu bara yang masih beroperasi mengeluarkan asap dicerobong-nya, tentu saja asap itu mencemari udara, dan tidak baik bagi kesehatan. Teman-teman di Gubuak Kopi bersama Walhi pernah meriset keadaan lingkungan dan sosial di sekitaran pertambangan ini sebelumnya. Ketika melewati Kandi terlihat sebuah danau buatan dan sebuah arena balap motor atau sirkuit.
Setelah melewati Kandi kami mengarah ke Goa Kupitan atau terowongan kereta api yang menembus bukit karang, yang sangat tinggi. Sesampai di dekat sungai tempat terowongan tersebut, tidak tampak jelas mulut terowongan karena tertutup oleh pepohonan dan semak yang tumbuh di sekitarnya. Di tebing di atas terowongan terdapat subuah sarang lebah madu liar. Penasaran dengan ujung terongan kami melanjutkan perjalanan dan berhenti di tepi jalan untuk melihat langsung ujung terowongan.
Di terowongan yang gelap gulita dari luar tercium bau kotoran kelelawar. Suasana di dalam terowongan sangat menyeramkan walaupun masih belum malam, cahaya matahari tidak dapat masuk ke dalam terowongan. Beberapa kesempatan untuk mengambil foto di terongan tentunya tidak akan terlupakan.
Perjalanan kembali dilanjutkan, kali ini tujuannya ke stasiun kereta api di Padang Sibusuak, sebelum mengunjungi stasiun Albert mengajak teman-teman untuk mampir di rumah neneknya di Padang Sibusuak. Saya dan teman-teman bersalaman dengan keluarga Albert. Kami dibawa melihat sungai yang sekitarnya merupakan tempat menambang emas, namun sekarang dapat dikatakan bahwa warga telah beralih mata pencaharian, hanya ada satu penambangan emas yang masih terlihat. Di sungai itu, kami melintasi sebuah jembatan besi yang sudah tua. Besi itu kemungkinan sisa rel yang dipakai oleh warga sebagai penyangga. Di besi tertulis “U.S.A 1921”. Kami juga menemui sebuah kincir air, dan mendokumentasikannya dalam bentuk foto.
Di dekat sungai tampak jalur kereta api, yang baru saja di beri kerikil, besi-besinya sudah dibongkar seperti sedang dalam tehap pembangunan kembali. Mengikuti jalur kereta berkerikil itu kami terus ke stasiun Padang Sibusuak. Dedi mendokumentasikan kondisi stasiun saat sekarang. Stasiun itu kini dimanfaatkan oleh salah satu keluarga untuk berdagang. Seusai dari stasiun, kami menyempatkan untuk berkunjung di salah satu komunitas di Padang Sibusuak yaitu PKAN alias Penggerak Kreativitas Anak Nagari. Di sana kami disambut dengan ramah dan dijamu dengan minuman kopi.
Kopi merupakan minuman prioritas bagi saya dan teman-teman. Komunitas ini awal 2018 lalu sempat berkolaborasi bersama Gubuak Kopi menjalankan program Daur Subur, dan sampai sekarang masih aktif. Berbagi cerita dengan teman-teman dari PKAN hingga hari telah beranjak malam. Agar sesampai di rumah tidak terlalu malam, saya dan teman-teman melanjutkan perjalanan pulang ke Solok, melewati jalur yang sama seperti awal berangkat tadi.
Di tengah perjalanan pulang Mella membeli gorengan di pinggir jalan, gorengan untuk menemani perut yang sudah mulai lapar. Beberapa saat saya sempat tertidur dalam perjalanan pulang karena kelelahan. Hingga tiba di Solok pada pukul setengah sepuluh, lalu megantarkan beberapa teman-teman yaitu Mella dan Dedi ke rumahnya masing-masing. Setiba di Tanah Merah Space kami disambut oleh peliharaan yang diberi nama Jibi dan Kacang, mereka adalah dua ekor anak anjing yang riang dan lucu. Menyempakan duduk dan bercerita sebentar tentang observasi ke salah satu peninggalan mega proyek kolonialisme Belanda. Hari pun semakin larut, Lizzie pulang ke kontrakannya, saya dan teman-teman mulai beranjak untuk beristirahat.