Yang Dicitakan

Catatan Perjalanan di Kota Bengkulu dan Kepahiang

Sabtu, 19 Januari 2019 lalu, dari Solok saya berangkat ke Bengkulu dengan Bus SAN. Memang sejak awal saya sudah merancang perjalanan ini akan sedikit panjang dan berpindah-pindah, jadi sebisa mungkin membawa barang tidak terlalu ribet. Hanya bawa satu ransel dan totebag.

Perjalanan ke selatan Sumatera adalah perjalanan yang selalu menarik bagi saya. Sewaktu kecil saya dan keluarga sering ke sana. Banyak saudara-saudara yang merantau ke bagian selatan. Semasa kuliah, juga banyak teman-teman yang berasal dari sana. Dari pada menyebut perjalanan ini sebagai riset materi kuratorial dan program, saya lebih senang menyebut, silaturahmi mengunjungi teman-teman. Ke Bengkulu, saya memnyusun beberapa janji dengan kawan saya, Ari Kantuak. Dia adalah seorang komposer, menyelesaikan strata satu dan pasca-sarjana di ISI Padangpanjang. Sejak awal ia memang mendalami penggarapan musik-musik tradisi ke dalam bentuk kesenian baru.

Ia juga teman kecil saya. Dulu ia juga tetangga saya, di Solok, sebelum ia memutuskan untuk menjadi “Warga Bengkulu”.

Setahu saya, kota itu memang mempunyai ikatan emosioal dengan dirinya. Ia pernah besar di sana, dan bapaknya bekerja di situ. Sebagian besar karya-karya musik yang ia garap juga berangkat dari fenomena kesenian tradisi di Bengkulu, terutama kesenian Tabot. Sebuah tradisi mengenang kematian duo heroik Hasan dan Husein, yakni cucu Nabi Muhammad saat berperang melawan Ubaidillah di Padang Karbala, diperingati setiap bulan Muharam. Tradisi serupa juga berkembang di Pariaman, Sumatera Barat, yang dikenal dengan tradisi Tabuik atau Batabuik. Selai itu, Kantuak juga pernah mengangkat kesenian Gontong-gontong yang berasal dari Muaralabuh, Solok Selatan, kampung ibunya. Waktu itu saya terlibat dalam tim risetnya, sekitar tahun 2013.

2017 lalu, Ari mempresentasikan karya musiknya di Kota Bengkulu itu, yang berangkat dari fenomena tradisi Tabot di Bengkulu. Karya ini melibatkan sejumlah musisi dari Kota Padangpanjang dan lokal sebagai pendukung karyannya. Dari dia dan kawan-kawan, saya mendengar bahwa karya itu mendapat respon yang sangat baik dari warga, seniman, maupun pemangku kebijakan setempat. Karya itu ia peruntukan sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan studi penciptaan kesenian di Pasca-Sarja ISI Padangpanjang. Setelah wisuda, dia memutuskan untuk menetap di Bengkulu.

Setelah lebaran ia datang ke Solok, dan kebetulan mampir ke Komunitas Gubuak Kopi. Ia bercerita tentang apa yang tengah berkembang dan apa yang ia ingin capai di Bengkulu. Tentu saja, saya sangat tertarik dengan kisah-kisah ini, dan ingin berkenalan dengan pelaku di Bengkulu.

21 Januari 2019, pagi saya sampai di Bengkulu. Di Loket pemberhentian SAN, Kantuak menjemput saya. Ia terlihat kurus dibanding lebaran lalu. “Karena sudah merokok lagi,” katanya.

Kota ini serasa asing sekaligus cukup akrab bagi saya. Terakhir kesini adalah 10 tahun lalu. Tapi saya sering bermain dengan teman-teman dari Kota Bengkulu sewaktu masih kuliah di Kota Padangpanjang.  Dan keseniannya pun sering kali tampil di Padangpanjang.

Pagi itu saya juga bertemu dengan teman semasa kuliah lainnya, Caam. Ia adalah pemain Saxofon yang handal dan saat tinggal satu atap dengan Kantuak. Ia berasal dari Pariaman dan merantau ke Bengkulu mengisi sejumlah les privat untuk musisi Bengkulu, dan mengisi beberap tembang jazz di cafe-cafe kota itu. Pagi itu Kantuak hendak pergi memancing, ia ternyata juga sudah standby dengan jorannya. Saya dan Caam menunggu di kontrakan. Saya tidak ikut karena ingin istirahat sejenak. Ya saya tahu persis dia sangat suka memancing. Beberapa kali saya ikut dia memancing di Nyarai dan di Singkarak. Ia cukup handal, tapi kadang-kadang juga tidak beruntung.

Caam melepas Kantuak dengan candaan,

“Hampir setahun saya di sini, setiap Bang Ari pergi mancing, saya belum liat ia membawa ikan pulang.” kami semua terbahak.

“Jangan bully saya depan Albert” balas Kantuak tertawa memerah.

***

Malam itu, 21 Januari 2019, kami berkunjung ke Akar Foundation, salah satu lembaga atau komunitas dampingan WALHI Bengkulu untuk lingkungan hidup. Di sana kami hendak menemui Andom. Di sela pekerjaannya sebagai bagian dari Akar Foundation, ia adalah salah seorang yang mendedikasikan hari-harinya untuk mengarsip dan membaca kotanya sendiri. Melalui Andom saya mencoba menggali pandangan-pandangan menarik tentang dinamika berkesenian di Bengkulu.

Ia mengajak kami masuk ke istana kecilnya, di salah satu bilik di Kantor Akar Foundation. Di sana terususun arsip-arsip yang ia koleksi secara pribadi, dan ia citakan sebagai ruang yang terbuka untuk publik nantinya.

“saya belum berani kasih nomor atau kodenya, mungkin nanti ada orang yang tepat, yang lebih paham membantu saya untuk itu,” Katanya.

Andom menawari kami kopi yang dibuat oleh petani lokal dampingan Akar Foundation. Sementara membuatnya, saya menyimak koleksi-koleksi arsipnya. Koleksi itu berdampingan dengan rak novel dan majalah, dan buku-buku lainnya yang juga saya senangi. Di sisi lainnya juga ada ratusaan koleksi kaset tape yang cukup sebagai referensi sekilas mengenal Andom.

Merespon pertanyaan saya, tentang dinamika berkesenian di Bengkulu, Andom melihat hari-hari belakangan adalah hari kemunduran, tetapi juga disertai semangat untuk berbenah. Sempat muncul inisiatif untuk melakukan audiensi dengan seniman-seniman di kota ini, membentuk sebuah wadah besar dan bernegosiasi dengan pemangku kebijakan. Tapi ada beberapa yang disayangkan Andom, yakni kurangnya persiapan untuk bernegosiasi dengan pemangku kebijakan. Sehingga sulit untuk memastikan keberlanjutan wacana ini. Ia melihat perlunya ada upaya-upaya yang terorganisir dan serius untuk membangun iklim berkesenian di Kota Bengkulu. Mulai dari kesadaran memperkuat manjemen atau pengorganisasian komunitas-komunitas, hingga strategi yang matang untuk bernegosiasi dengan pemangku kebijakan.

Upaya-upaya itu sudah ada, hanya perlu mengevaluasinya dan mencobanya kembali. Saya sangat tertarik, dengan semangat kawan-kawan di Bengkulu untuk memberi kebaharuan akan iklim kesenian yang ada. Andom dan Kantuak mengajak saya untuk main ke Taman Budaya Bengkulu dan bertemu beberapa kawan-kawan seniman lainnya.

Malam itu juga kami langsung berangkat ke Taman Budaya Bengkulu. Adalah kali pertama saya datang ke pusat aktivitas kebudayaan itu. Malam itu Taman Budaya ini tengah masa renovasi dan sangat gelap. Di bagian belakang, setara dengan gerbang masuk, sudah ada beberapa kawan yang tengah membuat perapian dari sisa-sisa kayu. Dan ternyata kawan-kawan lama.

Apip, Daniel, Aprik, dan lainnya sudah berkumpul di sana. Mereka dulu adalah teman-teman semasa kuliah di ISI Padangpanjang, dan juga Daniel pernah hadir di salah satu kegiatan Komunitas Gubuak Kopi. Sementera itu, menyusul kedatangan teman-teman seniman “senior” lain yang baru saya kenal. Ada Bang Medi, ia sebelumnya juga pernah kuliah di Jurusan Seni Rupa di Universitas Negeri Padang (UNP), dan sempat terlibat bersama Komunitas Belanak yang sebagian besar juga teman-teman saya. Ia menanyakan kabar beberapa teman-temannya di Padang, dan yang saya kenal. Sudah banyak berubah kata saya, sebagian pensiun sebagai seniman, sebagaian lebih nyaman di ibu kota, sebagian lagi berjuang bersama di kampung halaman.

Kedai yang bertuliskan Cafe Art itu cukup sederhana, walaupun ia sedang tidak membuka pelayanan, tapi ruang itu terlihat sangat cair untuk nongkrong. Ia sederhana dengan mural-mural dan tempat berteduh yang diinstalasi dari beberapa barang artistik dan mungkin juga bekas. Menarik sebenarnya menyadari kawan-kawan di Bengkulu dapat mendayagunakan ruang kesenian formal semacam Taman Budaya, yang barang kali mewakili wajah kesenian Bengkulu itu. Tentu saja pemerintahnya lalai kalau abai dengan keberadaan kawan-kawan seniman yang sangat cinta kotanya ini.

Terkait kesenian dan pemerintahan, saya kira memang seperti yang sering terjadi di banyak kota di Sumatera, keluhan-keluhan belum lepas pada keterbatasan pemahaman pemerintah untuk mengakomodir atau memfasilitasi kebutuhan kesenian, untuk memperkuat ekosistem kesenian itu sendiri di zaman sekarang. Tapi menarik juga apa yang terjadi setelah ini. Saat ini Taman Budaya Bengkulu tengah melakukan renovasi fisik bangunan. Dan menarik juga menyadari keberadaan teman-teman ini sangat leluasa di Taman Budaya itu. Beberapa hari lagi kawan-kawan ini juga menggelar pameran lukisan dari dua seniman peremuan lokal.

Akses ini saya kira adalah salah satu modal yang cukup kuat bagi teman-teman di sana untuk membangun iklim itu secara mandiri.

Kepahiang

Selain bertemu Andom dan teman-teman di Taman Budaya, Kantuak juga mengajak saya mengunjungi temannya di SMKN 5 Bengkulu, semacam sekolah khusus pengembangan bakat kesenian, selain itu beberapa kali juga bertemu teman-teman Ethnic Drum Performance yang ia bina. Setelah beberapa hari di Bengkulu bersama Kantuak, saya juga menghubungi adik sepupu saya Alam Kurniahadi. Ia berasal dari Kepahiang, dan tengah menemupuh studi komunikasi di Universitas Muhammadyah Bengkulu. Saya juga ingin melihat-lihat kota ini dari sudut pandang dia, dan juga mengajaknya untuk ke Kapahiang, rumahnya dan bertemu Ante (tente) saya. Secara adminsitratif Kepahiang adalah sebuah kabupaten baru di Provinsi Bengkulu. Dari Kota Bengkulu berjarak kurang lebih 80 Km atau 2 jam perjalanan. Sebenarnya dari Solok menuju Kota Bengkulu dengan bus, saya telah melewati daerah ini. Antara Bengkulu dan Kepahiang, kita disuguhkan pemandangan pebukitan dan hutan basah, hampir sama dengan Sumatera Barat.

Kepahiang terletak di pebukitan. Menuju Kota Bengkulu kita akan melewati tebing pebukitan yang berliku, Liku Sembilan (kelok sembilan), dan jalan yang tidak terlalu luas. Saya belum pernah mual sebelumnya kalau naik bus, tapi subuh menjelang sampai Kota Bengkulu beberapa waktu lalu, saya dibangunkan oleh perasaan mual. Jalanan sangat sepi, Pak Sopir ditemani satu anggotanya yang memberi kode di sisi kiri membiarkan bus meluncur sejadinya. Perasaan mual itu teralihkan melihat segarnya hutan basah pebukitan berliku itu, kabarnya di sana lah banyak Bunga Raflesia yang hanya tumbuh sebentar.

Saya dan Alam menaiki Kepahiang dengan sepeda motor. Negeri ini lebih dingin dari Bengkulu. Tepatnya lebih sejuk. Sesampai di rumah, kami makan siang, menikamati kopi lokal dan menunggu Ante pulang berkerja. Alam kemudian mengajak saya ke perkebunan teh yang ada di Kepahiang. Kebun itu tidak jauh dari rumah, kurang dari setengah jam kami sampai. Sebelumnya Alam mengajak saya untuk melihat sebuah pohon yang tumbuh di atas batu. Ya, pohon itu cukup besar. Ia berdiri di tengah dan akarnya memagut batu itu. Sekitarannya cukup kotor, banyak sampah yang dionggok seolah sengaja ditumpuk di situ. Bergeser sedikit, kami memasuki wilayah perkebunan teh Kebawetan.

Tidak jauh berbeda dengan sejarah perkebunan teh di Solok hingga Kerinci. Setelah harga kopi sempat menurun, pemeritahan Belanda pada tahun 1920-an mengganti sebagian besar lahan kopi dengan tanaman teh. Hal serupa juga diberlakukan di Kepahiang. Dan perkebunan ini masih dikelola oleh warga hingga sekarang. Seperti juga di Solok, para petani teh didominasi oleh perempuan. Dan yang tampak berbeda dengan Solok adalah perkebunan teh di Kabawetan diselingi dengan pohon sengon. Pohon itu berjejer rapi di sepanjang jalan, juga di beberapa gang petani memasuki perkebunan. Di Solok, sebenarnya ada juga beberapa jenis Sengon Laut yang terlihat tumbuh besar tidak tertata, atau tumbuh alami di beberapa titik jalan menuju perkebunan. Tapi kesan visualnya cukup berbeda.

Pohon Sengon yang tumbuh di Kabawetan ini tinggi lurus seperti tiang-tiang, cabangnya kecil-kecil. Di beberapa titik berhenti terlihat beberapa pohon telah diukir nama-nama. Setahu saya pohon sengon biasa dimanfaatkan kayunya untuk material rumah dan peti. Banyak dinding rumah-rumah klasik di Sumatera juga dibuat dari kayu ini. Seperti yang ditulis di wikipedia Ia memiliki zat ekstraktif yang membuatnya tidak dihinggapi rayap. Dalam konteks perkebunan kopi dan teh, pohon ini biasa diperuntukan sebagai naungan, untuk berteduh petani, maupun memanfaatkan kemampuannya memperbaiki tanah dan perakarannya yang mengikat nitrogen.[1]

Setelah berhenti di beberapa titik, saya dan Alam mengelilinginya dengan sepeda motor. mengingat cuaca mulai mendung, Alam mengatur rute agar sekaligus menuju arah pulang. Di perjalanan seorang ibu tua ditabrak oleh sebuah motor di hadapan kami. Anaknya meronta-ronta memeluk ibunya dan memintai tolong. Ia tidak sadarkan diri, dan segera dilarikan ke puskesmas oleh warga. Ya, di wilayah perkebunan ini sebenarnya kendaraan tidak terlalu banyak, tapi sering kali tidak hati-hati. Awan gelap, dingin, dan kejadian itu membuat saya jadi terdiam sepanjang perjalanan.

Dari perkebunan Alam mengajak saya untuk mampir kesalah satu titik nongkrong remaja di Kepahiang. Di wilayah sekitaran kantor bupati dan rumah dinasnya. Di sekitar sana terdapat beberapa jalanan yang cukup luas, biasa menjadi tempat remaja nongkrong sambil memarkir kendaraan. Beberapa kali juga menjadi ajang kebut-kebutan. Kantor Bupati, Rumah Dinas, dan satu gedung tak jelas peruntukan di sebelah rumah dinas memiliki gaya arsitektur yang hampir sama. Bagi saya terlihat seperti arsitektur Eropa memasuki modern. Pilar-pilar besar di loby depan seperti arstiektur Romawi kuno, ada kubah di tengahnya. Sekilas juga seperti arsitektur zaman Baroque, tapi tentu tidak se-detil itu. Mencitrakan semangat zaman dan penguasaan baru. Kubah dengan tiang-tiang besar sebagai tempat berteduh juga ditemui di beberapa titik di kota Kepahiang. Di depan kator bupati tadi juga terdapat sebuah kebun yang dijadikan taman beberapa rusa berlarian. Taman rusa itu dibuat dipinggiran jalan raya yang cukup luas. Warga dapat melihat rusa-rusa dari dekat dan memberi makan. Sekilas juga meyerupai Istana Merdeka Kepresidenan Republik Indonesia, yang fisiknya juga warisan dari zaman kolonial Belanda. Tapi fisik bangunan di Kepahiang ini bukanlah bangunan lama.

Kepahiang sebelumnya memang sempat menjadi pusat pemerintahan Belanda untuk wilayah suku Rejang Lebong, bahkan sampai zaman Jepang. Setelah merdeka, pada tahun 1948 pada agresi militer Belanda. Pusat-pusat pemerintahan ini sempat dibumi-hanguskan. Seperti yang juga terjadi di beberapa kota di Indonesia. Setelahnya Rejang Lebong berpusatkan di Curup sekitar tahun 1956. Baru setelah reformasi dan Kepahiang memekarkan diri dari Rejang Lebong. Membentuk kepantian dan mengajukan proposal pemekaran pada tahun 2000. Prosesnya juga tidak semulus itu. Ia benar-benar menjadi kabupaten baru pada tahun 2004. Saat itu lah proyek pembangunan kantor bupati dilakukan, dan menariknya Bupati pertama memilih arsitetur ala eropa ini.

Sembari melihat sekiling saya baru sadar, beberapa jam di Kepahiang saya belum melihat rumah adatnya.

“Ada satu” Kata Alam.

“Dan itu bangunan baru.” Tambahnya.

Kami meluncur ke bangunan rumah adat yang di maksud Alam. Tidak jauh dari Kantor Bupati. Di sana berdiri sebuah rumah panggung dari bahan kayu dengan pondasi tiang dari semen. Di halamannya yang berlantai paving, anak-anak bermain sepeda. Pintunya terbuka, rupanya bebas dimasuki siapa saja dan tidak ada penjaganya. Beberapa ukiran yang menjadi pagar panggung rumah ada yang patah. Di dalamnya berkamar-kamar dan berlorong. Menyerupai rumah adat Curup. Ya, waktu itu saya sempat menyimak sebuah artikel di internet. Ternyata arsitektur rumah adat ini tidak dibuat merujuk rumah adat asli Kepahiang yang telah ada, melainkan baru saja digali dengan sederhana dari masukan para tokoh pada miniatur yang diusulkan. Miniatur ini merujuk pada rumah adat Curup dan Rejang.[2]

Dari Rumah Adat itu kami kembali ke rumah Alam. Di sana sudah ada Om Kas, Ante, dan semua anaknya. Sebelum pulang, Wika kakak Alam, memberi saya beberapa bungkus kopi lokal sebagai oleh-oleh. Om Kas juga menyempatkan mengajak saya melihat kebunnya di sebelah rumah. Di sana juga terdapat beberapa batang buah Naga yang dibawa dari Solok dan sudah beberapa kali dipanen. Termasuk yang tadi juga disuguhkan Wika.

Saya dan Alam kembali menuju Kota Bengkulu, sebelum senja. Selepas Liku Sembilan, perhatian saya tertarik pada sekelompok pemuda dengan spanduk di pinggiran jalan. Spanduk itu bertuliskan “Rafflesia Mekar”. Ketika kami berangkat pagi tadi, spanduk itu belum ada. Saya penasaran dan ingin melihat langsung. Untuk itu kita dikenakan ongkos pandu senilai sepuluh ribu rupiah. Kita harus turun memasuki hutan basah sejauh kurang lebih 3 KM. Di sana saya akhirnya bertemu Rafflesia yang baru ditemukan siang tadi.

Hal ini ternyata cukup lazim di daerah ini. Para petani kopi biasanya akan menyempatkan mencari reflesia yang tumbuh di sekitar situ. Ia hanya tumbuh sebentar, sekitar dua minggu, lalu mati. Dan akan tumbuh lagi di tempat lain. Saya pun baru tahu, ternyata Rafflesia lebih tepat untuk diklasifikasi sebagai jamur ketimbang bunga. Petani ini tidak begitu tahu nama lokalnya. Nama Rafflesia diambil dari nama Sir. Thomas Stamford Raffles, seorang gubernur negeri jajahan Inggris, yang kebetulan cukup lama di Bengkulu. Jamur ini menurut petani beda sekali dengan Bunga Bangkai yang memiliki ukuran bisa lebih besar dan tinggi. Rafflesia ini, warnanya merah, waktu yang kami temukan ukurannya lebih besar dari dulang, mungkin sebesar roda mobil. Cukup untuk jadi bantal tidur. Menurut petani kopi ini, lazimnya memang seukuran ini. Mereka menemukannya dengan menandai jenis akar gantung yang cukup besar. Selain warga biasa seperti kami tidak jarang juga peneliti tanaman akan menyempatkan diri untuk melihat jamur unik ini.  

Setelah menghabiskan sebatang rokok, kami kembali ke atas, dan ini adalah perjalanan yang cukup melelahkan. Dengan sepatu yang licin dan tas yang kurang tepat untuk medan ini. Sesampai di atas kami melepas penat terlebih dahulu dan siap-siap untuk pulang. Menjelang senja, belum terlihat orang lain akan ikut melihat jamur itu. Tapi para petani itu akan memasang tenda untuk begadang malam ini, menjaga jamur yang telah mereka klaim untuk beberapa hari kedepan.

***

“Sudah baca buku kemarin?” tanya Andom.

Saya baru ingat kemarin Andom memberikan saya sebuah buku dari koleksinya. Ia memberikan buku itu merespon wacana yang kami bicarakan sebelumnya, terkait rencana kolaborasi yang ingin kami lakukan suatu hari di Bengkulu. Sebagai upaya menemukana model merayakan kesenian yang tepat dalam konteks masyarakat Sumatera hari ini dan lampau. Buku itu berjudul “Yang Terpasung” karya Czeslaw Misz, yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Yayasan Obor Indonesia.

“Aku baru sempat baca pengantar dari Mochtar Lubisnya, belum sempat baca lebih lanjut. Karena tadi hampir seharian di Kepahiang.”

Malam itu, teman-teman seniman yang bertemu dua malam lalu juga berkumpul di sini. Kali ini mereka tengah berkumpul menyelesaikan display sebuah pameran di Taman Budaya. Pameran ini bertajuk Dua Perempuan. Menghadirkan karya dua orang seniman perempuan Bengkulu. Kurang lebih empat puluh karya siap dipajang malam itu. Untuk menambah biaya produksi pameran, malam itu ada beberapa botol minuman yang hendak dilelang. Aprik dan Danil menjadi jago lelangnya. Tentu saja lelang ini tidak seserius lelang biasanya. Ini juga menjadi momen menghabiskan malam melepas lelah teman-teman seniman.

Malam itu saya juga datang ke sana untuk bertemu kembali teman-teman ini sekaligus berpamitan karena besok harus segera ke Lampung menemui beberapa kawan lainnya. Bang Medi menjadi-jadi bernostalgia tetang kisah-kisah masa kuliahnya di Padang. Malam semakin larut, obrolan tidak ada habisnya. Memahami Kota Bengkulu memang membutuhkan waktu yang panjang. Lain kali aku akan kembali lagi. Lalu kami pulang.

Dalam perjalanan ke Lampung, saya melanjutkan beberapa halaman dari buku yang dipinjamkan Andom. Pada BAB V, dinarasikan perjalanan seorang penyair bernama Beta, yang mengalami naik-turun di jalan kepenyairan yang ia tempuh. Dari nihilismenya yang mendedah situasi perang fisik maupun pemikiran, hingga kebencian yang akut terhadap nazi dan kapitalisme Eropa, atas nama sebuah keberpihakan ideologi partai. Kematiannya dalam sastra membuatnya hidup dalam tugas-tugas titipan.

Dalam halaman 112 dituliskan Beta pernah bertanya pada teman-temannya.”Nilai-nilai apa yang mereka inginkan untuk dipertahankan, atau, di atas prinsip-prinsip apa Eropa dibangun di masa depan.” Kalimat ini mengantarkan ingat saya pada semangat teman-teman di Bengkulu untuk memperkuat gerakan keseniannya, serta pada Kepahiang yang menjadi baru dengan arsitektur Eropanya. Dan siapakah mereka yang akan menentukan nilai itu?


[1] Sengon, Wikipedia Bahasa Indonesia, diakses Februari 2019. (https://id.wikipedia.org/wiki/Sengon)

[2] Potret Bengkulu: Arsitektur Rumah Adat Kepahiang Dibuat Berdasarkan Observasi BMA (https://potretbengkulu.com/2017/10/31/arsitektur-rumah-adat-kepahiang-dibuat-berdasarkan-observasi-bma/)

Albert Rahman Putra, biasa disapa Albert, adalah seorang penulis, kurator, dan pegiat budaya. Merupakan lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang, dengan fokus studi pengkajian seni karawitan. Dia adalah pendiri Komunitas Gubuak Kopi dan kini menjabat sebagai Ketua Umum. Albert aktif sebagai penulis di akumassa.org. Ia juga memiliki minat dalam kajian yang berkaitan dengan media, musik, dan sejarah lokal Sumatera Barat. Manager Orkes Taman Bunga. Tahun 2018 bersama Forum Lenteng menerbitkan buku karyanya sendiri, berjudul Sore Kelabu di Selatan Singkarak. Ia merupakan salah satu kurator muda terpilih untuk program Kurasi Kurator Muda yang digagas oleh Galeri Nasional Indonesia, 2021.

One comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.