Minggu, 3 Juni 2018, sebelumnya Delva Rahman mengumumkan siang itu seharusnya kita ada kegiatan observasi lapangan untuk mencari isu terkait Bakureh. Lalu ada sedikit perubahan karena kebetulan terkendala listrik dan air yang mati dan untuk agenda ke lapangan diundur dari jadwal awal. Kami dan partisipan berisiniatif ke Taman Bidadari. Jadwal observasi digantikan dengan pendalaman materi metode penelitian bersama Albert Rahman Putra.
Albert menyampaikan materi metode riset, membedah pola-pola menemukan narasumber, menemukan fenomena, menilik persoalan dari prespektif warga, dan lain sebagainya. Ia menyampaikan secara umum penelitian dibagi menjadi kualitatif dan kuantitatif, kemudian ada berbasis observasi dan data atau turun ke lapangan dan dikembangkan dengan cara kerja mengolah, serta dianalisis kembali.
“Dalam hal ini, kita menggunakan prespektif warga. Kita adalah warga, dengan latar pendidikan dan pengetahuan yang beragam. Warga yang mengkritisi persoalannya. Bukan berarti kita menjadi panggung untuk semua orang…” kata Albert.
Menurut Albert, penulis yang baik, tidak menjadi panggung persoalan yang tidak kita alami. Kita terlebih dahulu mendalami persoalaan itu. Membicarakannya berdasarkan pengalaman individual maupun kolektif, termasuk meminjam pengalaman orang lain untuk mengatur sudut pandang atau membantu pembaca memahami persoalan secara kompleks.
“tidak semua cerita yang kita dapat di lapangan harus kita hadirkan. Penulis harus bisa mengkurasi itu, sesuai kebutuhan penulisan.”
Kemudian, latar belakang penulisan dalam kerangka penulisan Daur Subur atau yang juga diterapkan dalam Bakureh Project ini adalah berpatokan pada kisah-kisah atau pun pengalaman personal dan kolektif, dan persoalan yang dirasa penting untuk dikupas lebih jauh, untuk melihat isu bakureh dari beragam dimensi.
Sebagai contoh, seorang anak disuruh membuang sampah oleh ibunya, lalu anak ini pergi menjemput sampah itu, spontan ia membuang sampah ke sungai dan warga lainnya menyaksikan peristiwa tersebut tanpa ada hasrat untuk berpikir melarang atau berpikir itu bermasalah. Namun, kita bisa memahaminya sebagai warga, bahwa hal itu sudah menjadi latah kebudyaan kita. Adat pun tidak pernah membicarakan secara spesifik mengenai aturan ini, dan tentunya tidak ada pendidikan yang serius soal itu.
Contoh lainnya di Kota Solok, rumah-rumah membelakangi sungai sementara di kampung pintu rumah menghadap sungai. Ada beberapa hal yang bisa kita tarik dari fenomena ini. Barangkali arah pengembangan kota telah merubah pemahaman kita tentang sungai, kalau dia dulu adalah sumber utama kehidupan, sekarang ia adalah tempat pembuang limbah.
Lalu selanjutnya Albert menyampaikan tentang “kesadaran isu”, misalkan terkait isu bakureh. Maka tidak ada salahnya kita mengatahui terlebih dahulu tradisi bakureh secara konvensional, menemukan polanya, dan mendeteksi hal-hal yang “melenceng” dari pola itu, lalu apa dampak-dampaknya dalam kehidupan sosial kita. Kemudian dilanjutkan dengan kerangka berfikir yang kritis dan skeptis.
Skeptis dalam artian meragukan “kebenaran” atau konstruksi kebanyakan atau arus utama, bahkan hal-hal yang dinyatakan benar oleh orang–yang kita berpihak kepadanya. Mengujinya dengan cara pandang yang mungkin berseberangan, dekonstruksi, dan lain sebagainya. Di situlah proses “kurasi” menjadi penting dan mengaduknya untuk mendukung pendapat kita sendiri ke dalam tulisan. Perspektif yang kita pakai dalam penulisan ini memang subjektif, tapi kita perlu mengeksplorasinya se-objetif mungkin.
Setelah melakukan observasi dan riset lanjutan, Albert menganjurkan sebaiknya kita terlebih dahulu membuat sebuah outline. Di mana outline ini nantinya sebagai tulang atau kerangka yang akan kita isi.
Setelah materi dari Albert, dari Taman Bidadari kita pulang menuju markas Komunitas Gubuak Kopi. Pukul 14.00 kita melanjutkan kuliah bersama Ibu Suarna. Beliau adalah salah seorang tokoh perempuan adat, Bundo Kanduang, Kelurahan Nan Balimo, Solok. Dalam suasana diskusi santai Ibu Suarna mulai menjabarkan tradisi Bakureh yang berkembang di Tembok, Kelurahan Nan Balimo, wilayah tempat Markas Gubuak Kopi terdapat. Bakureh pada dasarnya adalah sebuah gotong royong, namun ia lebih identik sebagai arisan memasak. Menurut pandangan Ibu Suarana telah terjadi sejumlah pergeseran dari makna bakureh, kini orang-orang telah banyak memakai catering, jadi lebih instan.
Pada masa dulu, sejauh yang bisa diingat oleh Ibu Suarna, sebelum alek dimulai, keluarga tuan rumah memanggil ke rumah-rumah tetangga dan kerabat, tradisi ini di sebut “maimbau” atau menghimbau atau memanggil. Tradisi maimbau biasanya laki-laki menawarkan sebatang rokok dalam perkumpulannya untuk memberi kabar sekaligus mengundang ke acara alek saudara atau kerabat dekatnya. Sementara kaum perempuan biasa membawakan “siriah” atau sirih. Setelah mendapat kabar, ibu-ibu akan merundingkan kesepakatan bagian-bagian di dapur alek nantinya. Ibu Suarna juga menjelaskan tidak hanya orang yang bakureh andil sebagian besar dalam alek, misalkan memakai tenaga laki-laki untuk “manulak dandang” (mengaduk kuali). Dan untuk kayu bakar biasa berkolektif bila ada kayu yang berlebih di rumah masing-masing. Berbeda dalam hal meminang, cara menghimbau yang sedikit berbeda yaitu dengan membawa nasilamak, pisang buai (pisang ambon), siriah, kadang kue bolu besar. Lalu, mengajak kaum wanita minimal berdua dan satu orang ninik mamak untuk membuat perhitungan atau negosiasi menentukan kapan dan di mana lokasi alek tersebut. Ibu Suarna juga mengkritik fenomena pasca pesta pernikahan anak dari presiden Jokowi, di mana euphoria menaiki bendi (delman) turut menjadi tradisi di sini, sehingga arak-arakan marapulai (pengantin pria) dan anak daro (pengantin wanita) yang sebelumnya jalan kaki secara pelan sudah sedikit bergeser.
Selain itu, salah satu yang paling menarik bagi saya yaitu dalam proses terjadinya alek, juga ada ajang pencarian jodoh bagi pihak keluarga untuk anak, cucu dan keponakan, seperti sebelumnya dijelaskan Mak Katik pada hari kedua lokakarya. Kebetulan kejadian terdekat dialami oleh anak pertama Ibu Suarna yang pernah bertemu (berjodoh) di alek dan kini telah menikah dan memiliki satu anak. Selain itu banyak lagi tentang bakureh yang terjadi seperti dalam hal “kemalangan” (kematian) dan lain-lainya. Di sini saya dapat memahami tradisi gotong royong yang sangat melekat dalam masyarakat berbudaya sejak lama terutama dalam hal bakureh.
Hari telah menunjukkan pukul empat sore setelah sebelumnya adzan ashar berkumandang dan Ibu Suarna mohon pamit untuk pulang. Setelah shalat ashar, hingga menjelang berbuka Delva Rahman mengajak partisipan membaca bersama. Buku yang dibahas adalah Sore Kelabu di Selatan Singkarak karya Albert Rahman Putra. Membaca secara berjamaah ini menjadi umpan diskusi partisipan untuk melihat praktik dan metode penelitian yang dijabarkan oleh Albert sebelumnya.
Kebetulan malam ini kami juga kedatangan tamu dari salah seorang warga Batu Bajanjang bersama sejumlah mahasiswa, terkait penolakan proyek Geothermal oleh masyarakat Salingka Gunuang Talang. Pro dan kontra yang terjadi antara masyarakat salinka Gunuang Talang dan pemerintahan dan aparat sudah berjalan setahun belakangan ini. Terkait itu akan diadakan rapat dan berbuka bersama di sekretariat LBH Padang serta mengundang kami di Gubuak Kopi untuk dapat ikut serta. Sebelumnya memang beberapa tahun terakhir, Gubuak Kopi bersama sejumlah warga Batu Bajanjang aktif memantau persoalan ini dan berupaya mencarikan gerakan-gerakan strategis berbasis kebudayaan untuk merespon persoalan ini. Selanjutnya masing-masing melanjutkan kegiatan dan ada yang beristirahat.