Menyusuri setiap bangunan dengan kisah-kisah yang mengikutinya memberikan pengetahuan sekaligus fakta-fakta mengejutkan. Termasuk di sini, di kota yang masih sangat kental dengan arsitektur zaman kolonial ini menyimpan berbagai cerita kehidupan dari masa sebelum kita. Kota yang terkenal dengan kota tambang ini bernama Kota Sawahlunto. Kota yang manyuguhkan pemandangan perbukitan dengan jalan yang berkelok-kelok.
Menapaki trotoar di sepanjang Jalan Diponegoro, di kawasan pusat Kota Sawahlunto seperti membawa kita masuk ke dalam mesin waktu, Dan membawa kita menuju abad yang lalu. Pemandangan yang menyerupai kota di masa penjajahan, menggiring kita menembus lorong waktu. Aku melewati bangunan demi bangunan hingga akhirnya berhenti di sebuah gedung berwarna abu-abu bertingkat dua. Di depannya terdapat sebuah portal yang betuliskan “Museum Situs Lubang Tambang Mbah Soero”.
Museum ini ialah salah satu situs bersejarah yang dimiliki oleh kota Sawahlunto. Situs bersejarah tersebut menyimpan berbagai kenangan. Kenangan ini menggambarkan betapa kayanya kota Sawahlunto dengan batu bara yang terkandung dalam perutnya. Namun situs bersejarah ini juga mengingatkan betapa pedih dan kejamnya kehidupan di zaman kolonial dahulu.
Lubang tambang Mbah Soero seperti namanya ialah lubang bekas tambang batu bara yang beroperasi dari tahun 1891 hingga 1932. Awalnya tambang ini dikelola oleh sebuah perusahaan yang bernama Tambang Batubara Ombilin. Dikarenakan beberapa alasan, tambang ini dipindah-alihkan kepada PT. Bukit Asam sejak 1900.
Posisi lubang tambang yang berada di pusat kota ini menjadi misteri tersendiri bagiku. Dengan langkah pasti, aku menuju pintu, membuka dan masuk ke dalamnya. Saat masuk pertama kali yang menarik perhatianku ialah sebuah kotak kaca persegi panjang yang berisikan rantai-rantai. Menurut keterangan info box di sebelahnya, rantai itu dahulu digunakan untuk mengikat kaki para pekerja tambang. Para pekerja tersebut merupakan tahanan yang sengaja didatangkan dari Jawa dan daerah lainnya. Tahanan tersebut dipekerjakan Belanda untuk mengais batu bara. Dan hari ini, orang-orang menyebutnya dengan panggilan “orang rantai”.
Bukan hanya itu yang menjadi perhatian, foto-foto yang terpampang dan alat-alat lainnya juga seolah menceritakan kejadian masa silam. Setelah melakukan registrasi dan membayar insert sebesar Rp. 10.000, aku diarahkan menuju ruang ganti. Di sana disediakan helm, dan sepatu boots yang wajib dikenakan pengunjung ketika masuk ke area tambang.
Aku dan beberapa kawan diarahkan oleh seorang pemandu yang akan menjelaskan perihal lubang tambang Mbah Soero ini. Perjalanan diawali dengan memasuki sebuah pagar besi yang akan membawa ke dalam lubang yang diungkap pemandu tersebut memiliki panjang 186 M. lubang ini dilengkapi dengan tangga yang akan membawa pengunjung ke dalam lubang. Di sekitar tangga tersebut terdapat rembesan-rembesan air. Berdasarkan penjelasan pemandu rembesan tersebut berasal dari sungai yang berjarak 50-60 M dari lubang tambang Mbah Soero. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan bagaimana jika air sungai membesar dan meluap hingga mengenai lubang tambang yang notabene-nya berada di bawah dataran sungai.
“kita punya alat penyedot airnya, jika terjadi hal demikian” ungkap pemandu ketika salah seorang kawan bertanya.
Pertanyaan lain muncul di benakku “Bagaimanakah para petugas menyikapi ketika air besar masuk ke dalam lubang sedangkan ada pengunjung di dalamnya?”
Dengan sedikit berpikir, petugas tersebut menjawab “biasanya air itu masuk sedikit-sedikit, jadi kami akan mengeluarkan terlebih dahulu pengunjung sebelum air membesar”. Pemandu tersebut juga mengungkapkan bahwa daerah atau lubang yang bisa diakses pengunjung itu hanya pada level satu dan dua. Untuk level tiga sampai enam itu masih belum bisa digunakan karena masih dalam kondisi tergenang air.
Dengan jawaban yang kurang memuaskan, aku dan kawan-kawan lainnya melanjutkan perjalanan. Di sisi dinding dan atap lubang masih terdapat batu bara yang menghinggapinya. Pemandu tersebut juga menuturkan alasan tambang ini dihentikan.
“masih banyak terkandung batu bara di area ini, namun perusahaan menghentikannya (tambang) karena sudah tergenangnya air di sekitaran lubang dan juga mempertimbangkan bangunan di atasnya” ungkap pemandu itu.
Seperti yang diungkapkan oleh pemandu tersebut, bahwa ada bangunan dan rumah-rumah warga berada tepat di atas lubang Mbah Soero. Tentu hal ini mengejutkan, karena bekas lubang tambang berada di area pemukiman bisa saja memungkinkan terjadinya kecelakaan atau bencana. Seperti roboh atau rusaknya bangunan karena tidak kuatnya tanah menahan bangunan yang berada di atasnya. Roboh atau rusaknya bangunan tersebut berkemungkinan besar akan menelan korban jiwa. Bukan hanya warga yang bertempat tinggal di atas lubang tersebut saja yang akan mengalami kerugian, tetapi bisa juga terjadi kepada para pengunjung di objek wisata tersebut mengingat tempat itu telah dibuka untuk umum semenjak tahun 2007.
Kemungkinan-kemungkinan terjadi bencana atau kecelakaan seharusnya dipikirkan dengan serius oleh penanggung jawab dan pengelola lubang tambang. Dalam hal ini ialah Pemerintah Kota Sawahlunto khususnya Dinas Kebudayaan. Menjadikan bekas lubang tambang menjadi tempat wisata seharusnya memerlukan indikator-indikator yang jelas terkait keamanan tempat.
Setelah menyusuri lubang tambang sepanjang 186 M ini selama kurang lebih 30 menit, aku dan rombongan akhirnya sampai di pintu keluar. Pintu keluar ini ternyata berada di seberang jalan di depan gedung abu-abu yang kumasuki tadi. Pemandu kembali menggiring kami masuk ke dalam gedung tersebut. Aku dan beberapa kawan masuk ke dalam ruang ganti, melepaskan helm dan sepatu boots yang cukup besar ini. dan meletakannya kembali ke rak yang disediakan.
Dengan matahari yang cukup terik, membuatku melangkah keluar ke arah sebuah warung yang tak jauh dari pintu keluar lubang. Di warung tersebut terdapat seorang ibu dan anak perempuannya. Aku membuka lemari pendingin dan mengambil sebotol minuman di dalamnya. Kemudian duduk di sebelah ibu tersebut dan membayar minumanku. Pertanyaan-pertanyaan ketika berada di lubang tambang teringat kembali. Pertanyaan perihal ketakutan warga yang tinggal di sini, dengan lubang tambang di bawahnya.
Namun, ketakutan tersebut ternyata tidak dirasakan oleh ibu pemilik warung ini, yang baru kuketahui bernama ibu Emi. Ibu Emi mengatakan bahwa dia percaya bangunan di sekitar ini ialah bangunan yang ditinggalkan oleh Belanda dan bangunan ini kokoh.
“lagian, bangunan di sini, kita masyarakatkan cuma punya hak pakai, karena ini merupakan peninggalan perusahaan tambang yang sekarang sudah tidak beroperasi lagi, dan lubang tambang sudah ada sebelum bangunan ini dibuat” ungkap ibu Emi.
Ketika ditanyakan perihal ketakutan akan kemungkinan terjadi bencana, ibu Emi mengatakan “kalau soal roboh bangunan, saya tidak terlalu memikirkan, karena percaya bahwa lubang maupun bangunan di sini masih berkualitas baik kok. Dan untuk air masuk, dulu sih pernah di tahun 70 atau 80-an gitu, namun sekarang sudah tidak lagi, dan tidak pernah ditemukan ada air masuk ke dalam rumah”
Hal ini tentu memberikan gambaran bahwa keyakinan perihal lubang tambang dan bangunan bangunan yang kokoh tersebutlah yang menjadi dasar warga setempat untuk optimis melanjutkan kehidupan. Melanjutkan kehidupan dengan terus berdampingan dengan sejarah-sejarah atau kejadian masa lampau tersebut.
Perjalanan ke Lubang Tambang Mbah Soero ini memberikan banyak pengetahuan dan membuka jejak-jejak yang selama ini tertutup. Fenomena area tambang yang banyak sekali dijadikan tempat wisata ini tentu haruslah berlandaskan pada keamanan. Sejarah memang sangatlah penting seperti yang sering didengungkan oleh bapak Proklamator kita dengan “JAS MERAH”. Namun dibalik semua itu kemananan dan penanggulangan bencana mengingat pertambangan merupakan aktivitas yang sering kali terjadi kecelakaan, tetaplah harus terus diperhatikan. Kehidupan kota Sawahlunto dengan segala keramahannya, jangan sampai tercederai dengan kepentingan pariwisata tanpa memikirkan keamanan.
Tulisan ini merupakan salah satu hasil dari kegiatan Pendidikan Kader Rakyat “Jurnalisme Warga Sebagai Katalis Gerakan Rakyat dalam Upaya Penyelamatan Lingkungan Hidup” yang digelar oleh WALHI Sumatera Barat pada 26-30 Maret 2018.
Penulis: Novina Deliza
Editor: Albert Rahman Putra