Dilema Debu-Debu Sijantang

Batubara masih jadi ‘primadona’ sebagai bahan bakar Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Indonesia. Menurut data kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), saat ini sekitar 60% listrik masih disuplai dari tenaga uap. Salah satu PLTU itu ada di kota Sawahlunto tepatnya di Desa Sijantang. Seolah tak bisa dipungkiri bahwa batubara dan Sawahlunto adalah satu kesatuan yang seakan tak bisa dipisahkan Siemas hitam ini masih menjadi cahaya bagi kehidupan Sawahlunto hingga saat ini, konon agar cahaya itu tetap hidup dibangunlah PLTU di Kota Sawahlunto.

Awal mulanya pembangkit listrik di kota Sawahlunto berada di kelurahan Kubang Sirakuak Utara, dimana kala itu dibangun oleh Belanda pada tahun 1894 bernama PLTU Mudik Air dengan memanfaatkan aliran Batang Lunto, berkurangnya debit air sungai di pinggir PLTU menyebabkan PLTU ini berhenti beroperasi. Masuknya agresi militer Belanda I dan II ke Sawahlunto PLTU ini berubah fungsi menjadi tempat perakitan senjata para pejuang, dan kemudian pernah juga menjadi rumah hunian pekerja tambang, hingga pada tahun 1952 bangunan induk pembangkit listrik ini  dialih fungsikan sebagai Rumah ibadah umat muslim yang lebih kita kenal sekarang dengan nama Masjid Agung Nurul Iman. Kemudian Belanda membangun PLTU penganti di Salak, Talawi pada tahun 1924 yang memanfaatkan aliran sungai Batang Ombilin. Seiring perjalanan usia dan tidak efisien lagi serta untuk operasional yang lebih besar lagi maka PLTU salak  di alihkan ke Desa Sijantang.

Sungai yang megalir di belakang PLTU Ombilin di Sijantang. foto: @wartarakyat, Maret 2018

Mari kita berbicara mengenai PLTU Ombilin di Sijantang. PLTU ini berjarak kurang lebih 15 km dari kota Sawahlunto. Pembangunan konstruksi pertama dimulai pada Tahun 1993 dengan kekuatan 2 x 100 MW. Sejak kehadirannya di desa Sijantang, ia menimbulkan sejumlah dampak, terutama masalah mata pencaharian. Dulu desa ini pernah memiliki sebuah masa yang biasa disebut warga sekitar sebagai “masa jaya”. Hal ini ditandai dengan ekonomi rakyat yang sangat mencukupi, dan ini mengantarkan asumsi kolektif pada keberadaan tambang rakyat masa itu. Namun sekarang tidak ada lagi, masyarakat beralih profesi jadi penambang emas, pasir, dan sebagian besar pemuda memilih merantau mencari kehidupan di negeri orang.

Kemarin baru saja saya berkelana ke Desa Sijantang. Perjalanan ini sangat menarik dan menantang. Selepas melewati jembatan, untuk menuju desa Sijantang kita melewati kondisi jalan  yang tergolong rusak parah, banyak lubang-lubang besar. Belum lagi debu yang membuat perih mata serta udara yang buruk. Tapi ini seakan hal yang biasa bagi masyarakat sekitar sana. Saya perhatikan, sebagian besar pengendara tidak memakai masker maupun helm.

Di tepian sepanjang jalan sebagian besar daun-daun berselimut debu. Coba saja kita tempelkan jari tangan ke daun maka debu itu akan tampak pada jari. Belum lagi atap rumah dan dinding di sekitar PLTU yang terlihat kusam seakan tak berpenghuni.

Kalau orang di bawah (sisi lain Sijantang) hampir tidak ada yang membuka pintu dan jendelanya, “sebab jika dibuka nanti sampai piring-piring di rak pun akan hitam semua”, demikian salah satu penduduk yang saya temui menggambarkan parahnya debu di sana. Warga yang saya temui di warga sekitar PLTU, bisa dikatakan tidak keberatan dengan adanya PLTU ini, tidak ada protes atau kekecawaan yang mereka gumam. Manurut mereka yang banyak merasakan imbas dari PLTU, adalah yang tinggal di arah angin corong berhembus.  Paling yang menjadi keluh kesah bagi warga yang saya tanyai ini, hanya ketika mesin rusak. Katanya, jika itu terjadi, maka debu hitam pekat akan sangat menggangu. Pakaian yang terjemur, apalagi pakaian yang putih, akan cepat kusam dan kelabu.

“jika dikibas, debu itu kelihatan,” tambahnya, “ selain itu waktu saya naik motor, debu batu bara masuk ke mata, saya kucek-kucek dan itu membuat mata merah, gata-gatal dan rasa terbakar, karena itulah saya pakai kacamata, itu sudah lama sekali sekitar 5 Tahun lalu” demikian ujar Buk Eva salah satu warga yang saya temui di Sijantang.

Tapi ya sudahlah PLTU sudah beroperasi dan menjadi salah satu sumber penerangan penting di wilayah Sumatera Tengah, yang menjadi sorotan penting saat ini adalah mengenai limbah PTLU, seperti fly ash (abu terbang) dan bottom ash (abu dasar). Fly ash merupakan limbah padat berbentuk partikel halus yang di hasilkan dari pembakaran batu bara PLTU, jumlah yang dihasilkan sekitar 15-17% dari tiap ton pembakaran batu bara (syafitri, dkk 2009). Sedangkan bottom ash merupakan abu dasar yang partikelnya lebih besar dari fly ash. Dan peraturan Pemerintah No 101 Tahun 2014 tentang pengeloalan limbah bahan berbahaya dan beracun keduanya termasuk dalam kategori Limbah B3. Limbah B3 yang dimaksud adalah singkatan dari Bahan Berbahaya dan Beracun, semacam zat yang membahayakan kesehatan dan kelangsungan hidup, dan membutuhkan penanganan khusus. Pengelolaan limbah ini menjadi tanggung jawab penghasil, yang dalam hal ini adalah PLTU sendiri. Untuk PLTU Sijantang sendiri menghasilkan limbah yang mencapai 300 ton per harinya.

Tumpukan Debu PLTU Ombilin di Sijantang. Foto: Echi, Maret 2018

Tumpukan Debu PLTU Ombilin di Sijantang. Foto: Echi, Maret 2018

Lihatlah saat ini tumpukan limbah abu pembakaran sudah memenuhi separoh PLTU, tumpukan itu semakin hari semakin menggunung. Dulu tidak seperti ini, ada 2 lokasi tempat pembuangan abu, salah satunya di tepi Sungai batang Ombilin belakang PLTU, namun sekarang tidak lagi karena sudah menjadi kawasan hijau. Hal ini disebabkan oleh tumpukan abu yang pernah jatuh ke sungai batang Ombilin dan membuat aliran sungai menjadi terhambat dalam beberapa jam.

“pada kejadian tersebut kami sangat panik dan ada yang memberitahu bahwa desa kami akan tenggelam, sungai batang ombilin terhambat abu” ujar Bu Eva.

Berawal dari kejadian tersebut, menurut Bu Eva pihak PLTU menjadi panik dan menjadi sorotan nasional. Sejak saat itu mulailah berdatangan wartawan, pejabat negara hingga warga asing untuk mendalami kejadian ini. Setelah peristiwa tersebut, lokasi pembuangan abu berpindah ke areal tambang dekat Danau Biru Sawahlunto. Abu tersebut dibuang ke lubang bekas tambang, namun hal ini juga tidak berlangsung lama. Konon, dari narasi yang tersebar di kalangan warga adanya intrik permainan dalam hal ini, adanya salah satu niniak mamak (pimpinan kaum dalam konteks adat) yang tidak mendapat jatah, menggugat PLTU dan tidak memperbolehkan lagi pihak PLTU untuk membuang abu di sana lagi.

Semenjak itulah permasalahan limbah ini menjadi sangat rumit, makin hari limbah semakin bertambah, sementara pembuangan abu terkendala, maka bertumpuklah abu. Pihak PLTU pernah mengurangi penggunaan

Permasalahan ini sudah sangat menggangu, tumpukan abu yang hanya ditutup terpal – dan itupun sudah banyak bolongnya, apabila ada angin maka beterbanganlah abu hingga mencapai areal sungai dan masyarakat sekitar. Sebenarnya upaya untuk mengurangi penumpukan sudah dilakukan pihak PLTU yaitu bekerja sama dengan PT Semen Padang, abu ini bisa menjadi salah satu campuran dalam pembuatan semen, pembuatan batako, serta adanya kerja sama dengan salah satu perusahaan kontraktor bangunan dan jalan, namun ha ini juga menjadi kendala sebab prosedur perizinan pengangkutan limbah B3 dari Kantor Lingkungan Hidup (KLH) cukup rumit dan mahal, hal ini tidak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan pengguna abu, sampai saat ini kalau tidak salah hanya PT Semen Padang saja yang hanya memiliki izin dari KLH untuk menggangkut limbah tersebut (sumbar.antaranews.com). Di sisi lain ada juga masyarakat yang mengambil abu dari PLTU untuk digunakan sebagai pupuk berbagai tanaman, tapi hal ini tidak mengurangi limbah, apalah daya masyarakat sekitar, tidak mengantungkan sepenuhnya hidup pada pertanian, lebih memilih sebagai pekerja tambang dan merantau ke negri orang. Merantau.

Batako dengan campuran debu PLTU Ombiling di Sijantang. Foto: Echi, Maret 2018.

Batako dengan campuran debu PLTU Ombiling di Sijantang. Foto: Echi, Maret 2018.

Beberapa literatur yang saya baca mengenai limbah B3 batu bara mulai dari Sindo.com, detik.com dunia-energi.com dan lain lain, sudah sejak lama digunakan di luar negri seperti Amerika Serikat, China, India dan Jepang menjadikan limbah batu bara sebagai bahan pembuatan pembuatan jalan, jembatan, paving blok, semen, pupuk  dan sebagainya. Di Pulau Jawa pun sudah banyak dimanfaatkan tapi hanya hitungan puluhan kilogram saja padahal limbah yang dihasilkan setiap harinya lebih dari 1000 ton .Yang menjadi kendala saat ini di luar pulau Jawa adalah mengenai perizinan dalam penggangkutan limbah B3, dimana Peraturan Pemerintah (PP) Nomor  101 Tahun 2014 mengenai limbah batu bara tergolong berbahaya dan beracun menyebabkan penggangkutan limbah menadi sangat berat dan harus dalam pengawasan yang ketat, padahal tidak semua limbah tergolong B3, karena beberapa penelitian yang dilakukan PLN menunjukkan batubara setelah menjadi “by product” racunnya sudah tidak keluar lagi.

Ini menjadi dilema tersendiri, menurut saya masalah limbah ini menjadi tanggung jawab pihak PLTU sepenuhnya. Namun setidaknya kita bisa berkaca atau menarik referensi pada sejumlah negara yang telah memanfaatkan limbah secara leluasa. Pihak pemerintah hendaknya membuat regulasi baru mengenai pemanfaatan limbah ini sehingga pihak PLN bisa menyelesaikan masalah ini, dan tentu juga harus diterapkan dengan baik. Jika tidak, tentu saran terakhir terhadap masalah ini ialah penutupan PLTU, ini sangat memungkinkan sejak dibangun, dulunya PLTU ini hanya boleh beroperasi 30 tahun, sekarang telah memasuki usia 25 tahun. Hal ini tidak akan terlalu menggangu karena menurut General Manager PLN Sumbar, Bambang Yusuf mengatakan, tidak berfungsinya PLTU Ombilin tak perlu dikhawatirkan. “Tidak perlu khawatir akan bergelap-gelap. Walau PLTU Ombilin tidak berfungsi, pasokan tetap aman karena jaringan PLN antara Sumatera Bagian Tengah telah interkoneksi dengan Sumatera Bagian Selatan. Jika terjadi kekurangan pasokan listrik, PLN Sumbagsel (Sumatera Bagian Selatan) bisa mensuplai listrik ke Sumatera Barat,” terang Bambang di harianhaluan.com.

 


Tulisan ini merupakan salah satu hasil dari kegiatan Pendidikan Kader Rakyat “Jurnalisme Warga Sebagai Katalis Gerakan Rakyat dalam Upaya Penyelamatan Lingkungan Hidup” yang digelar oleh WALHI Sumatera Barat pada 26-30 Maret 2018.

Penulis: Refsi Qumaira
Editor: Albert Rahman Putra

Refsi Qumaira (Barulak, 03 Januari 1996), biasa di panggil Echi, mahasiswa jurusan Agroekoteknologi dengan bidang kajian ilmiah Pengembangan Sumberdaya Lahan dan Lingkungan, di Fakultas Pertanian, Universitas Andalas, Padang. Selain itu juga aktif sebagai anggota penuh Unit Kegiatan Mahasiswa Pengenalan Hukum dan Politik (UKM PHP UNAND). Ia juga merupakan partisipan pelatihan Kader Rakyat yang digelar oleh WALHI Sumbar di Sawahlunto (2018).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.