Gotong Royong, Perempuan, dan Kesenian

Selasa, 5 Juni 2018, hari kelima pelaksanaan Lokakarya Bakureh Project dan merupakan hari kedua bagi para partisipan melaksanakan kegiatan observasi ke lapangan untuk mendalami isu-isu yang berkaitan dengan bakureh. Sebelum para partisipan kembali turun ke lapangan kita mengajak partisipan berdiskusi atau memahami kembali mengenai Program Daur Subur yang digagas oleh Komunitas Gubuak Kopi. Diskusi ini dipandu oleh Delva Rahman selaku ketua fasilitator, ia menjelaskan Daur Subur sebagai upaya membaca peta kebudayaan agraria dan kepedulian terhadap lingkungan hidup di Sumatera Barat melalui platform multimedia. Seperti mengajak pengguna teknologi smartphone untuk memanfaatkan “alat”nya dan perkembangan fitur terkininya guna mengawal dan mengarsipkan kebudayaan pertanian kini dan lampau. Serta mengembangkan praktek seni sebagai metode penelitiannya.

Di samping itu Delva juga menjabarkan beberapa catatan Christine Dobbin (2008) yang menyinggung kebudayaan masyarakat di Minangkabau, yang suka membuat perayaan kolektif. Seperti setelah panen, biasanya masyarakat akan merayakannya sebagai bentuk rasa sukur, dan acara adat lainnya. Begitu pula dengana dengan kemalangan atau kematian. Walaupun saat kemalangan merupakan hal yang tidak wajar untuk disebut perayaan, namun pada dasarnya masyarakat Minangkabau “merayakannya” dengan mengadakan pengajian, dengan motif mengenang orang yang telah meninggal dunia.

Kelas pendalaman pemetaan kultur masyarakat pertanian Suimatera Barat: Daur Subur serta hubungannya dengan tradisi Gotong Royong,, bersama Delva Rahman di Markas Gubuak Kopi. (Foto: Arsip Gubuak Kopi, 2018)

Selanjutnya, Delva juga merangkum beberapa catatan dari Sir. Thomar Stamfort Raffles (1818) mengenai sistem ekonomi dan mata pencarian masyarakat Sumatera Barat, sebelum masuknya Eropa ke dataran tinggi Sumatera Barat. Ia membahas tentang sistem kemasyarakatan dan organisasi sosial pada masa itu. Soal ini sangat penting dan juga berkaitan dengan kegiatan bakureh –dalam konteks gotong royong, yang juga dibahas di kelas-kelas sebelumnya. Dulunya, masyarakat Minang suka hidup damai dan saling bergotong royong ketika ada warga yang akan mengadakan pesta maupun acara pengajian. Jadi adalah kejutan sekaligus tamparan bagi Gubuak Kopi, ketika mendengar adanya kasus persekusi di Solok beberapa bulan lalu, yang mana tetangga atau kita, hanya diam saja ketika ormas-ormas yang suka main hakim sendiri. (lihat juga: Kasus Dokter Fiera)

Selanjutnya pembahasan menyinggung sistem pengetahuan masyarakat Minangkabau yang sangat dekat dengan alamnya. Masyarakat Minang, terlihat dari sejumlah aturan dan analogi sastranya yang identik dengan kejadian alam, sebagian besar landasan adat ataupun falasafah adat ditarik dari sifat-sifat alam, termasuk tanaman, binatang, dan manusia. Yang kemudian setelah masuk Islam diperkaya dengan ajaran agama tersebut.  Alam Takambang Jadi Guru demikian masyarakat Minang merangkumnya.

***

Ada beberapa hal menjadi persoalan mendasar kenapa Bakureh Project hadir, pertama sebagai upaya menemukan media tradisional dan pemahaman akan media itu sendiri pada masa lampau, kemudian membaca kebudayan gotong royong dan dampak-dampak sosialnya di tengah-tengah masyarakat pendukungnya, serta membaca posisi perempuan dalam sistem sosial masyarakat, yang dalam hal ini dipantik dari tradisi gotong royong masak, atau di Solok, tradisi ini disebut: bakureh. Terkait adat, kesadaran media, kebudayaan gotong royong, telah dibahas kelas-kelas sebelumnya, kali ini diskusi terpantik ke upaya membaca posisi perempuan.

Beberapa hari sebelumnya juga sempat dibahas Albert Rahman Putra denga mengumpan sejumlah pertanyaan kritis, apakah materilinial, serta merta meninggikan posisi perempuan di Minangkabau? Apakah matrilinial adalah kebalikan dari praktek patrilineal seperti di Jawa? Menurut Albert hal ini merupakan kasus kebudayaan yang menarik, untuk memahami kesadaran konsep egaliter yang pernah hidup di masyarakat Minangkabau. Bakureh dalam konteks gotong royong masak di Solok misalnya dan di beberapa di Sumatera Barat. Sebagaian besar memang dikerjakan oleh kaum ibu, tapi hal ini tidak untuk merujuk tugas ini sebagai pekerjaan kelas dua, melainkan upaya membagi tugas dalam sebuah “organ” atau organisasi kaum.

Kaum ibu pun pada dasarnya bertugas mengomandoi, sedangkan untuk bekerja kadang juga disertakan laki-laki. Karena memang sebagian besar kaum ibu dalam keseharian sangat meluangkan waktu untuk bekerja memasak dan memahami racikan makan. Lain halnya dengan laki-laki yang memang sebagian besar bekerja berbasis tenaga, walau tidak sedikit juga perempuan yang juga bekerja berbasis tenaga. Lalu apa yang terjadi setelah muncul beragam profesi-profesi “modern” yang menawarkan kesempatan yang sama? Kita juga diajak untuk mengkritisi, apakah ibu-ibu memasak ini berkaitan dengan sistem kekerabatan materilineal atau memang berdasarkan skil? Atau kemungkinan lainnya.

Hal ini berkaitan dengan pernyataan Delva, bahwa ia juga tidak ingin mengamini tradisi yang kemudian dilabelkan “perempuan” ini sebagai rujukan utama standar moral ideal dalam konteks lokal, dan tidak pula berarti menentang tradisi sebagai penolakan terhadap konstruksi adat atas perempuan — yang belakangan hal ini menjadi “seksi” di kalangan pegiat seni perempuan. Penelitian ini diniatkan sebagai sikap kritis terhadap persoalan manusia sebagai bagian dari lingkungan sosialnya. (Pengantar Bakureh Project, Gubuak Kopi, 2018)   

Anisa Nabilla Khairo, atau biasa disapa Cayuang, salah satu partisipan, menghadirkan beberapa soal yang ia pahami dari buku The Second Sex, karya Simone de Beauvoir. Ia menuliskan posisi perempuan yang menjadi objek kedua, ia membantah bahwa perempuan tidak saja menjadi objek, perempuan juga adalah subjek, seperti yang ditulisnya tentang perempuan yang dulunya perempuan sering ditindas, kekerasan terhadap perempuan, karena laki-laki mengaggap perempuan itu adalah musibah. Kalau kita kembali ke zaman Byzantium, itu perempuan yang menguasai dunia, bukan berarti laki-laki dan perempan saling menyaingi, namun itu ada negosiasi antara laki-laki dan perempuan. Sampai di era sekarang misalkan melihat cara berpakaian perempuan seperti di Indonesia, terutama di Minangkabau, seperti latah harus mengenakan jilbab, tapi pada dasarnya ia sudah diberi kebebasan seperti mau atau tidak ia memakai jilbab itu adalah hak nya sendiri, dan itu bisa jadi tanggung jawabnya sendiri. Atau bisa dilihat dari sudut pandang yang lain, itu bisa disebut intimidasi perempuan, seperti manusia ingin berbuat kebaikan atau kejahatan itu menurut kemauannya sendiri, seperti diskusi yang terpantik dari filem The Hidden Fortes (Akira Kurosawa, 1958) di hari kedua lokakarya.

Setelah cukup panjang Delva memberi penjelasan kerangka tentang perempuan, tradisi, dan kebudayaan untuk observasi nanti. Di samping itu Cayuang juga mengaitkan dengan  pernyataan tentang sebuah narasi terkait penghapusan/pembelokan budaya seperti yang pernah dibacanya, berkaitan dengan tradisi warih nan bajawek (waris yang berjawab) di Minangkabau, yang penyampaiannya dilakukan secara lisan, karena penyampaian dengan cara itu bisa saja salah pengertian. Contohnya, seperti menyarankan masak ditungku ada filosofinya, apabila salah pemahaman atau salah penyampaian itu bisa jadi beresiko. Ketika masuk sistem tulisan maka terciptalah buku atau dalam bentuk tulisan, itu dikaitkan dengan hak cipta, seperti yang pernah dialami Cayuang ketika menyakan buku tentang bakureh kepada seorang ibu yang berperan sebagai Bundo Kanduang di Solok.

Nurul Haqiqi, atau biasa disapa Kiukiu juga memberikan beberapa pengalamannya sewaktu ia Kuliah Kerja Nyata (KKN) di sebuah desa di Solok. Disana ia melatih randai di sanggar randai salendang dunie, ia diberi naskah randai oleh pengurus sanggar, naskahnya berjudul tarea rea yang didapatnya dari datuak ta-tuo di wilayah tersebut, dan naskah yang diberikannya hanya sebagin kecil, Kiukiu meminta untuk melihat naskah lainnya dan beliau menolak untuk tidak melihatkannya, firasat Kiukiu mungkin ada sebuah penghambat yang seperti asumsi Kiukiu, ada sejarah Minang yang mungkin tidak bisa memberikan hal tersebut kepada anak kemenakan, dan apabila itu tidak dibatasi bisa jadi akan memicu perperangan atau yang bisa disebut konflik sosial.

***

Kharisma berbagi pengalamnya terkait tradisi bakonsi di Batu Sangkar. (Foto: Arsip Gubuak Kopi, 2018)

Siang itu kita juga kedatangan Kharisma, atau yang biasa disama Iie. Dia adalah salah seorang komposer perempuan dan mahasiswa pasca-sarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpnjang. Dalam kesempatan ini ia kita ajak berbagai tentang pengalaman risetnya pada tradisi gotong-royong di Sungai Tarab, Batusangkar. Tradisi yang dimaksud adalah bakonsi. Ia memiliki spirit yang sama dengan tradisi bakureh di Solok, yakni gotong-royong, dan dikomandoi ibu-ibu. Hanya saja pada tradisi bakonsi, lebih spesifik pada urusan pertanian, terutama saat panen padi bersama. Berkaitan dengan tradisi ini, Iie sebelumnya pernah menangkap fenomena musikal terkait tradisi yang kemudian ia respon menjadi sebuah karya musik. Siang itu, kami mendapat kesempatan menonton dokumentasi video karyanya yang berjudul “Bakonsi”.

Siang itu kita juga mendiskusikan dan membedah karya Iie, terutama kaitannya dengan tradisi bakonsi dan bakureh. Dalam diskusi ini, Albert, yang juga merupakan peneliti musik menambahkan, memang dalam banyak tradisi gotong-royong masyarakat Minangkabau, juga memunculkan kesenian-kesenian rakyat. Seperti dalam tradisi bakonsi, ia hadir sebagai upaya para partisipan gotong-royong memaknai kegotong-royongannya, maupun menghibur diri mereka sendiri. Albert juga mencontohkan beberapa kesenian lainnya yang lahir dari hal serupa, seperti baombai di Sijunjung, dan di Solok Selatan ada tradisi bagontong, ada pula kebiasaan berbalas pantun jenaka, dan hiburan malam manunggu samba (menjaga lauk-pauk pesta) atau menghibur urang dapua dalam sebuah alek di Solok Selatan

***

Sore itu, setelah berdiskusi para partisipan diarahkan untuk turun ke lapangan mencari isu-isu terkait tentang kegiatan bakureh dan didampingi oleh fasiliator yang sudah dibagi beberapa tim. Sefni dan Olva pergi ke daerah Banda Panduang didampingi oleh Zekalver selaku fasilitator, dan mengambil beberapa foto dan video. Sementara Nahal, Ade dan Ipan diajak oleh Volta selaku fasilitator untuk riset di rumahnya di Kinari. Dan Roro bersama Qiqi pergi ke daerah KTK (Kampai Tabu Kerambia) yang didampingi seorang fasilitor yaitu Ogi Wisnu atau yang biasa disapa Cugik. Sementara itu Icha salah satu partisipan lainya tidak turun ke lapangan, karena lebih memilih studi literasi di sekre Gubuak Kopi. Karena memang dalam penulisannya ia berfokus pada studi literatur-liunguistik terkait bakureh, tentang pergeseran makna, dan penggunaan ragam istilah lainnya. Lalu, seperti malam-malam sebelumnya, para partisipan mempresentasikan perkembangan riset mereka.

Hafizan (Padang, 1995) biasa disapa Spis. Pernah kuliah di Pendidikan Seni Rupa di Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Universitas Negeri Padang. Saat ini, ia aktif dalam berkesenian di bersama komunitas-komunitas seni di Sumatera Barat. Ia juga merupakan partisipan dari Lokakarya Daur Subur: Lapuak-lapuak Dikajangi #1 yang digelar Gubuak Kopi di Solok (2017), dan Lokakarya Daur Subur di Padang Sibusuk, yang digelar oleh Gubuak Kopi berkolaborasi dengan PKAN Padang Sibusuk (2018). Pada tahun 2018, ia juga terlibat sebagai salah seorang seniman kolaborator dalam proyek seni Lapuak-lapuak Dikajangi #2 di Solok.

One comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.