Pertemuan Pertama Lokakarya Lapuak-lapuak Dikajangi

Senin, 18 September 2017, sekitar pukul 15.00 Lokakarya denga tema “Lapuak-lapuak Dikajangi” (yang lapuk disokong kembali) dibuka langsung oleh Albert Rahman Putra, selaku ketua Komunitas Gubuak Kopi. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Komunitas Gubuak Kopi dan didukung oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sebelumnya, Albert memberikan sedikit latar belakang terkait hadirnya lokakarya ini, gambaran kegiatan yang akan dijalani hingga 12 hari ke depan, serta capaian-capaian yang diharapkan.  Setelah itu, para partisipan maupun para fasilitator saling memperkenalkan diri. Albert menekankan bahwa penting bagi kita – para partisipan maupun fasilitator – untuk saling berbagi pikiran dan bekerja sama memaksimalkan hasil lokakarya ini. Teman-teman yang diundang untuk terlibat, menurut Albert adalah orang-orang yang sengaja dipilih dan dianggap bisa membicarakan isu ini dari beragam perspektif. Kegiatan ini merupakan bagian dari Program Daur Subur dalam membaca perkembangan kultur pertanian di Sumatera Barat. Kegiatan kali ini, mengerucut membicarakan posisi kesenian di masyarakat pertanian Minangkabau, peran media dalam praktek pelestarian dengan kesadaran akan sejarah kebudayaan lokal dan perkembangan terkininya.

Saya sendiri datang ke markas Komunitas Gubuak Kopi sebagai partisipan dalam kegiatan lokakarya ini. Selain saya, juga hadir beberapa partisipan lain, yakni: Vera Maita Nova, salah seorang seniman dan pengkasi seni dari ISI Padangpanjang, yang minggu depan segera diwisuda; lalu, Kak Diva atau Riyani Vardila, yang sedang menempuh program Pascasarjana Universitas Andalas dengan studi Sastra Inggris; M. Yunus Hidayat atau Joe. Datuak, perwakilan dari Komunitas Takasiboe Solok Selatan; Hafizan mahasiswa Seni Rupa Universitas Negeri Padang; Zekalver Muharam, ia adalah anggota Gubuak Kopi yang kali ini juga terlibat sebagai partisipan; dan Muhammad Risky, juga merupakan anggota Gubuak Kopi, selain partisipan ia nanti juga merupakan narasumber salah satu sesi dari lokakarya ini nantinya. Selain itu masih ada satu partisipan yang belum hadir, yakni Henri Koto, ia merupakan mahasiswa Pascasarjana di ISI Padangpanjang, dan juga merupakan personil Orkes Taman Bunga.

Pembukaan lokakarya Lapuak-lapuak Dikajangi di kantor Komunitas Gubuak Kopi, 18 September 2017. (foto: Gubuak Kopi)

Saya sebelumnya sering nongkrong di Gubuak Kopi atau sekedar bertemu teman saya: Delva Rahman. Saya sendiri sangat tertarik dengan kegiatan yang digelar oleh Gubuak Kopi kali ini. Meskipun sebelumnya saya tidak pernah ikut serta dalam kegiatan yang diadakan oleh Komunitas Gubuak Kopi, namun sekarang saya mulai paham maksud dan tujuan dari Komunitas Gubuak Kopi mengadakan Program Daur Subur, dengan tema Lapuak Lapuak Dikajangi. Dalam hal ini, kita perlu mengkaji lebih jauh posisi kita sebagai masyarakat pertanian untuk terlibat dalam pembangunan kebudayaan kedepannya.

Dari beberapa poin yang disampaikan oleh Albert pada pembukaan acara tadi, saya sangat berminat untuk serius memperlajari apa itu seni dan literasi media. Meskipun saya masih awam dalam hal seni, namun anggota Komunitas Gubuak Kopi sangat terbuka dan tidak memandang saya sebelah mata meskipun saya orang baru. Setiap orang bebas mengemukakan segala pikiran dan tidak ada yang dalam posisi menjadi ‘murid’ ataupun ‘menggurui’, karena kita yakin setiap orang memiliki keahlian yang berbeda-beda.

Pembukaan diakhiri dengan basmallah yang juga berarti lokakarya ini resmi dimulai. Kita memulainya dengan harapan Program Daur Subur dengan Tema Lapuak Lapuak Dikajangi ini dapat berjalan dengan lancar hingga 12 hari ke depan dan membawa dampak yang sangat baik bagi semua.

Menyimak sejarah perkembangan media bersama Delva Rahman, di Kantor Komunitas Gubuak Kopi, 18 September 2017. (foto: Gubuak Kopi)

Pada malam harinya, sekitar pukul 20.00 WIB, kegiatan awal dari program ini di mulai dengan kuliah umum, yang membahas tentang sejarah perkembangan media dan seni rupa dunia, yang dihantarkan oleh Delva Rahman, salah seorang seniman dan pegiat media di Gubuak Kopi.

Delva menjelaskan kepada kami semua apa itu komunikasi, media, dan bagaimana kemudian ia berkembang di ranah industri maupun aktivisme. Pemahaman saya tentang bagaimana media dapat mempengaruhi manusia, jadi lebih dalam. Seperti yang juga ditambahkan Albert sebelumnya, ia menyinggung sebuah pepatah klasik yang mengatakan “untuk menguasai dunia kuasailah media”. Hal tersebut yang banyak dipraktekkan oleh para pemilik modal atau pemilik kepentingan politik. Kesadarakan akan media dapat mempengaruhi publik, juga berarti media dapat diberdayakan oleh semua orang. Namun, hal tersebut pada dasarnya tidak perlu menjadi ketakutan kalau kita mengerti cara kerja media dan seterusnya berani ‘bermain’ dengan media.

Pada kuliah umum kali ini saya juga belajar dari narasumber tentang kemajuan media, dimulai dari zaman orang-orang melukis di goa-goa sebagai media komunikasi, lalu mulai ditemukannya kertas dan teknologi-teknologi duplikasi; lalu munculnya teknologi gambar bergerak, adanya teknologi kinetoskop yang di temukan oleh Thomas A. Edison, lalu cinematogrape oleh Louis dan Auguste yang memungkinkan gambar bergerak ini terproyeksi pada layar yang lebih besar, nonton berbayar untuk pertama kalinya, hingga berkembangnya industri film, dan untuk mengimbangi itu muncul pula gerakan film sebagai bahasa seni.

Selain itu, di kuliah umum ini saya juga diperlihatkan beberapa contoh film-film yang awal-awal diproduksi. Pada tahun 1894-1920-an adalah Era Film Bisu,  yang mana film diputar dengan iringan musik live. Salah saru contoh film bisu adalah A Trip To The Moon karya Georges Melies pada tahun 1902.

Selain penjelasan yang di sampaikan oleh Delva Rahman sebagai Narasumber, di akhir sesi Albert juga me-review dan menambahkan sedikit materi tentang Sejarah Seni Rupa dan garis besar priode kebudayaan dunia, yang di mulai dari zaman Romawi yang mana kebijakan dan kekuasan berada sepenuhnya di tangan kekaisaran, sering kali tirani. Kemudian, beralih ke masa Dark Ages, yang ditandai dengan keruntuhan kerajaan Romawi, perebutan Konstatinopel oleh Turki Usmaniah, serta transisi menuju era pencerahan (renainssance), yang kemudian menghantarkan ke era modern yang memposisikan pengetahuan dan kebenaran sebagai sesuatu yang tunggal, lalu kini kita kritisi.

Banyak hal yang kita diskusikan malam itu, dan banyak pula yang sebenarnya menarik untuk dibahas lebih lanjut. Untuk kali ini, salah satu hal yang penting untuk kita pahami adalah bahwa, peran kebudayaan khususnya kesenian tidak sesederhana melihatnya sebagai pariwisata dan hiburan. Melainkan ia saling kait dengan segala bidang dan memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan kebudayaan dunia. Begitu juga dengan peran-peran media, yang sering juga dianggap sebagai musuh besar tradisi, seharusnya dapat kita berdayakan untuk pengembangan pengetahuan kebudayaan lokal kita.

Hari itu saya sadar, berkomunitas ternyata tidak sekedar nongkrong dan membicarakan hobi semata.

Elfa Kiki Ramadani (Solok, 14 Maret 1992) biasa dipanggil Cewang atau Kiki. Pernah kuliah manejemen di Universitas Negeri Lampung (tidak selesai). Saat ini berdomisili di Solok, tepatnya di Karambia. Ia tertarik pada seni musik, beberapa lagu ia ciptakan dipublikasi di akun reverbnation miliknya (www.reverbnation.com/elfakikiramadhani). Selain itu ia juga aktif belajar media di Gubuak Kopi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.