Tentang Terminal dan Bioskop yang Konon Pernah Ada di Solok

Siang  itu, 7 Maret 2017, sekitar jam 10.20 di Terminal Angkot Kota Solok, cuaca sangat bersahabat. Tampak suasana terminal yang sudah ramai dan menimbulkan kebisingan akibat suara mesin angkutan kota (angkot). Tidak hanya angkot yang ada di terminal itu, tetapi banyak juga ojek dan pedagang d ipinggiran Terminal Solok yang mengisi ruang-ruang di area tersebut. Kurang-lebih sudah 50 tahun terminal ini berdiri dan menampung ribuan kendaraan bermotor yang melewatinya. Di dalamnya, banyak juga gedung-gedung tua berdiri di sekitar Terminal Angkot Kota Solok. Ada sebuah gedung di tengah terminal yang dulunya merupakan tempat menjual karcis angkutan bus kota, tapi sekarang sudah menjadi toko-toko kecil, terlihat dari tekstur bangunan yang berada di tengah-tengah Terminal Angkot Kota Solok. Dan juga pos penjaga terminal, yang menjadi saksi bisu dari kerasnya kehidupan di terminal. Sementara itu, gedung pertokoan yang berada di sebelah pos penjaga Terminal Angkot Kota Solok tersebut, dahulunya adalah sebuah bioskop lokal di Kota Solok. Warga menyebutnya “Bioskop Karia”.

Penampakan Terminal Angkot Kota Solok. (Foto: Muhammad Riski).

Angkot bisa dibilang adalah alat transportasi untuk memudahkan pekerjaan warga. Ada banyak angkot berjejeran di pinggiran Terminal Angkot Kota Solok yang menunggu penumpang untuk pulang ke daerahnya masing-masing. Untuk berbagai jenis angkutan yang ada di terminal dengan tujuannya yang berbeda-beda itu, para penumpang harus membayar ongkos tergantung dekat dan jauhnya tujuan. Jalur angkot di Kota Solok sendiri, secara umum adalah dari Terminal menuju Koto Baru, ke Muara Panas, Tanah Garam, Sumani, dan daerah-daerah sekitarnya.

Terminal Bareh Solok, salah satu terminal yang ada di Kota Solok. (Foto: Delva Rahman).

Berbicara angkot di Sumatera Barat, kita bisa melihat adanya berbagai modifikasi dan hiasan stiker yang membalut angkot-angkot itu. Modifikasi angkot berpengaruh juga bagi para penumpang yang akan menggunakan jasa angkutan. Kalau penampilan luarnya menarik, pasti di dalamnya nyaman. Tidak lupa juga bagian dalam dari angkot, loud speaker atau sound system, yang juga dapat menarik perhatian orang untuk naik angkot sambil mendengarkan musik sembari menuju alamat tujuan. Tidak sedikit para supir angkot di Sumatera Barat yang memperhatikan penampilan kendaraannya karena itu akan berpengaruh pada banyak-sedikitnya penumpang yang akan menaiki angkutan mereka. Tapi tren semacam ini tidak begitu banyak di Solok. Hanya ada sedikit angkot Solok yang memodifikasi dan menambah stiker untuk hiasan bagian luarnya.

Di Terminal Angkot Kota Solok juga terdapat banyak warung dan rumah-rumah toko (ruko) yang menjual berbagai macam kebutuhan, mulai dari sandang, pangan, papan, dan kebutuhan sekunder hingga tersier pun ada di terminal itu. Meskipun sewaktu saya observasi pada hari itu ada banyak warung yang tutup, saya tetap mendapat kesan masifnya keberadaan toko-toko ini. Pedagang-pedagang kaki lima menambatkan warungnya di badan jalan atau bersandar pada tembok bangunan pertokoan yang lain; ada juga yang membuat gerobak yang dapat dipindah-pindahkan untuk berjualan sehingga mudah dibawa kemana-mana saat membuka dan menutup dagangannya.

Suasana di dekat Terminal Angkot Solok. (Foto: Muhammad Riski).

Penampakan angkutan kota, dalam hal ini bajaj, yang mangkal di sekitaran Pasar Solok. (Foto: Muhammad Riski).

Maksud dan tujuan saya pergi ke terminal tersebut sebenarnya adalah untuk mencari informasi tentang keberadaan sebuah bioskop lokal di masa lalu. Kabarnya, dulu ada sebuah bioskop yang terkenal, yang di awal tulisan sudah saya sebutkan bahwa dulu orang mengenalnya dengan nama “Bioskop Karia”. Konon, lokasinya berada di dekat terminal itu pada tahun 1950-an.

Tapi sekarang sudah tidak ada bekasnya. Saya berkeliling untuk mencari informasi dari para pedagang maupun orang-orang lainnya yang ada di sekitaran terminal. Saya sempat bertanya kepada salah seorang ibu penjual makanan dan minuman di lokasi tersebut, yang mengaku sudah lama berjualan lebih kurang 8 tahun. Setelah saya berbincang-bincang tentang berbagai hal, percakapan pun mulai cair. Si ibu penjaga warung menceritakan pengalamannya tentang menonton di bioskop itu. Ia sendir itak tahu pasti kapan berdirinya “Bioskop Karia”, tetapi menurutnya, sekitar tahun 60-an bioskop itu sudah ada. Ada kemungkinan, jauh sebelum itu bioskopnya sudah berdiri. Menurutnya juga, pemilik “Bioskop Karia” itu adalah orang keturunan Cina, dan letaknya memang berada di dekat terminal. Bangunan bioskop itu sendiri kabarnya baru dirobohkan sekitar tahun 2013 dan kini telah berganti dengan bangunan-bangunan baru. (baca juga: Nostalgia Layar Kejayaan, Putra, 2014)

Gedung rumah-toko yang konon dulunya adalah lokasi tempat Bioskop Karia berdiri. (Foto: Gelar Soemantri).

Sekitar tahun 1980-an, bioskop yang kita bicarakan ini memasuki masa keemasannya. Waktu itu, harga tiket masuk bioskop bisa mencapai Rp 1.500 per orang, tergantung di mana kita memilih tempat duduk. Sedangkan film yang laris pada tahun-tahun itu adalah film-film dari India, Mandarin, Barat, dan beberapanya juga dari Indonesia. Penayangan film pada waktu itu bisa sampai empat atau lima kali dalam satu hari. Beberapa orang yang saya tanyai mengakui bahwa aktor yang terkenal pada masa itu, antara lain Rhoma Irama, Berry Prima, dan Amitabh Bachchan. Sebenarnya, Bioskop Karia yang ada di daerah terminal ini dulunya bukanlah satu-satunya bioskop lokal, karena beberapa orang mengaku bahwa ada juga bioskop di depan SMPN 1 Kota Solok dan di Lukah Pandan. Namun, katanya bioskop yang ada di dua daerah tersebut tidak terlalu laris seperti Bioskop Karia.

Sekitar tahun 1990-an, sebagaimana juga terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, peminat bioskop lokal mulai berkurang karena sudah merebaknya DVD dan VCD sehingga membuat orang lebih tertarik menonton di rumah dibandingkan dengan menonton di bioskop. Karena tontonan melalui VCD dan DVD lebih mudah didapatkan dan bahkan bisa ditonton berulang-ulang. Bioskop pun kalah saing. Setelah beberapa tahun kemudian, Bioskop Karia sendiri tidak juga mengalami perkembangan, hanya beberapa orang saja yang menonton di bioskop itu.

Pascatahun 2013, toko-toko yang mengganti posisi dan peran bangunan bioskop menyebabkan kita tak bisa sedikit pun melihat tanda-tanda bahwa dahulu di lokasi yang dimaksud berdiri sebuah bioskop yang diminati warga, dan bahkan konon menjadi kebanggan daerah Solok. Hanya cerita dan kenanganlah yang bisa kita dapat sekarang ini, entah apalagi yang akan terkikis oleh perkembangan zaman. Saya pikir, mungkin tugas kitalah, yang muda-muda di masa sekarang, untuk berupaya membuat orang-orang tahu tentang cerita atau peristiwa yang memang pernah terjadi di masa lalu. Barangkali lewat kegiatan bermedia dengan pendekatan komunitas yang tengah dilakukan oleh Gubuak Kopi sekarang ini. Atau, bisa juga lewat usaha mengelola bioskop lokal dengan pendekatan yang berbeda, setidaknya untuk menumbuhkan lagi ruang-ruang tontonan alternatif yang dapat mengumpulkan warga dan membuka peluang sosial yang baru pula.


Artikel ini sebelumnya telah dipublis di buku/katalog pameran open studio Di Rantau Awak Se”, dengan judul Tentang Terminal dan Bioskop yang Konon Pernah Ada di Solok dan juga dipublikasi di www.akumassa.org  (http://akumassa.org/id/tentang-terminal-dan-bioskop-yang-konon-pernah-ada-di-solok/)

Muhammad Riski (Solok, 1995), adalah salah satu pegiat seni di Komunitas Gubuak Kopi. Ia menyelesaikan studi di Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Padang (UNP). Selain itu ia juga aktif memproduksi karya seni mural dan stensil. Sebelumnya ia juga aktif menggarap program Minang Young Artist Project. Ia juga tengah sibuk mengelola karakter artist @sayhallo dan menjadi gitaris di band Papan Iklan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.