Nonton Orgen

Malam itu setelah panjat pinang selesai, kembang api kelas terbaik itu diluncurkan, musik orgen mulai menyala. Semua merapat, tua, muda, dan anak-anak. Diawali dua tembang nostalgia, malam semakin larut, tempo semakin cepat, dentuman bass speaker mengejek-ejek denyut otot agar berjoget. “Malam ini,” kata bos tambang batu bara itu, “semua berpesta!”.

asek aye, bejoget boleh, awas kabel, artis jangan dipegang” seorang pemuda menyahut di antara pesta malam itu.

Empat penari keluar dari persembunyiannya menghangatkan suasana. Di tempat yang sama, di komplek perusahaan tambang batu bara, di tengah rimba, malam itu setelah panjat pinang 17-an selesai, pemilik perusahaan besar itu menghadirkan musik orgen sebagai hiburan puncak (lihat juga: Bagai Pinang Dipanjat Pemuda). Belakangan, di Sumatera bagian tengah atau mungkin di tempat lainnya, memang sering menghadirkan musik orgen sebagai hiburan puncak dalam sebuah rangkaian acara untuk memunculkan kesan “kerakyatan”. Konon, ini lah yang paling disukai pemuda Melayu hari ini. Satu acara baru akan ramai kalau ada acara musik orgennya.

Musik orgen adalah selera banyak warga di sekitar ini, Kecamatan Jujuhan, Muaro Bungo. Dari opini sederhana seorang pemuda setempat, ada dua orang yang paling sadar akan hal ini: partai politik dan pengusaha tambang. Mereka suka mensponsori acara-acara sepert ini. Mereka paling tahu cara menyenangkan hati para pemuda, dan pemuda pun biasanya punya cara-cara sendiri untuk ‘berterima kasih’. Pemuda dari desa-desa tetangga pun biasanya juga akan berdatangan.

Berjoget sambil memutar-mutar jempol di depan dada menikmati beat dan irama. Ya, tidak semuanya yang berjoget, sebagian lainnya menoton: menonton orang berjoget.

DSC06663

DSC06662

Waktu itu saya ada di kategori menonton orang berjoget, saya dan beberapa tim hadir di sana memenuhi undangan tokoh masyarakat setempat. Bersama seorang teman lain kami iseng membagi dua tipe penonton joget: tipe pertama menoton kelihaian pemuda yang berjoget mengiringi musik dan menonton “penari khusus”. Tipe kedua, adalah orang-orang yang sengaja menonton “penari khusus” dengan penampilan menarik ini.

Penari khusus yang saya maksud adalah penari yang didatang khusus untuk menyemarakkan acara musik orgen ini. Biasanya mereka adalah dua sampai empat orang perempuan muda dengan pakaian yang serba ketat, memberi banyak peluang agar angin bisa masuk, dan manik-manik yang memantulkan cahaya. Bahkan sebenarnya mereka tak pandai menyanyi dan menari. Tapi, di beberapa tempat di Sumatera, setahu saya para penari ini biasanya sekaligus penyanyi, tapi ada juga yang datang khusus untuk berjoget dan untuk memancing pemuda berjoget, di acara ini misalnya. Biasanya penari khusus ini mendapat posisi yang spesial atau terpisah di atas panggung, tapi ada pula yang membaur dengan pemuda.

Di beberapa daerah, biasanya akan mempersilahkan empat orang pemuda berada dalam ruang yang sama dengan penari khusus ini secara bergantian. Sistem ini memang sengaja dipakai untuk menghindari kerusuhan yang sering terjadi, karena berebutan untuk bisa berdekatan dengan penari khusus ini. Dari tipe kedua yang saya sebut itu, salah satu pesertanya yang paling banyak adalah remaja hingga anak-anak.

Tidak sulit sebenarnya menebak-nebak apa yang membuat mereka (remaja dan anak-anak) mampu bertahan dan berdiam, memperhatikan penari khusus ini ketika orang-orang dewasa (mungkin ada orang tua atau abang-abangnya) di sekitarnya menari mengikuti irama musik. Ditanya pun mereka hanya tersenyum-senyum. Tapi ya, mungkin saja mereka mencoba mengimajinasikan diri mereka sebagai salah satu penari, barang kali mencoba mengamati lalu mempelajari sesuatu, mengumpulkan bahan gosip untuk dibahas besok jam istrahat sekolah, atau hanya iseng-iseng sampai orang tua mereka mengajak mereka pulang.

Yang saya lihat, malam itu di tengah pesta yang diselenggarakan pengusaha tambang batu bara ini, semua terlihat menikmati. Para buruh, petani, Tua, muda, remaja, dan anak-anak. Yang joget sibuk berjoget, yang menonton sibuk menonton, sekalipun mungkin tengah memikirkan hal-hal yang berbeda.

DSC06665

DSC06664

DSC06667

Anak-anak yang berusia delapan sampai sepuluh tahun pun asyik menonton bersama orang-orang dewasa. Saya jadi teringat tugas saya di desa ini, Revitalisasi Budaya. Lalu saya galau sendiri…

Albert Rahman Putra

Jujuhan, 2013


*Koleksi Foto Albert Rahman Putra pada tahun 2013, ditulis/dinarasikan dan dipublis blog Gubuak Kopi pada 6 Mei 2014

Albert Rahman Putra, biasa disapa Albert, adalah seorang penulis, kurator, dan pegiat budaya. Merupakan lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang, dengan fokus studi pengkajian seni karawitan. Dia adalah pendiri Komunitas Gubuak Kopi dan kini menjabat sebagai Ketua Umum. Albert aktif sebagai penulis di akumassa.org. Ia juga memiliki minat dalam kajian yang berkaitan dengan media, musik, dan sejarah lokal Sumatera Barat. Manager Orkes Taman Bunga. Tahun 2018 bersama Forum Lenteng menerbitkan buku karyanya sendiri, berjudul Sore Kelabu di Selatan Singkarak. Ia merupakan salah satu kurator muda terpilih untuk program Kurasi Kurator Muda yang digagas oleh Galeri Nasional Indonesia, 2021.

8 comments

  1. Cakep.

    difacebook gw dapt pegantarnya gini: “Benar nggak sih ini cuma hiburan atau ‪#‎siasat‬ raksasa pengusaha tambang?” gw stuju, ini siasat bos2 bara buat selalu dekat dengan masyrakat, dengan selalu menghibur mereka agar mudah aja dikibuli untuk pemakaian lahan.
    apa lagi beberapa kasus batu bara yang gw tau itu sering menyogok tokoh masyarakatnya untuk membujuk ulayat menyewakan tanahnya untuk digali… lalu si tokoh masyarakat ga bisa berbuat apa2 ketika rakyat protes akibat air keruh, harimau dan ular menjadi liar, akibat lobang tambang bara yang jarang sekali (hampir tidak pernah) direboisasi..

    SALAM LESTARI Save Sumatera!!!

  2. satu lagi, tambahan,

    semoga sdah tahu dan setuju, batu bara bukanlah bisnis yang sehat untuk bumi apapun legalitasnya dari negara. ini gak cuma masalah sumatera tapi dunia . mari beralih pada pemakaian energi yang sehat dan ramah lingkungan.silahkan cek juga di greenpece(dot)org

  3. Melihat tulisan dari teman2 GUBUK KOPI, Nonton Orgen Ala bos tambang batubara, inilah moral masyrakat kita yg masih berkeinginan memuaskan hasrat diri sendiri, Tetapi… tdk membaca apa2 yg sudah di rancangkan dari org2 pemodal utk masyarakat desa miskin kota, yg masih penuh dgn memenuhi nafsu tetapi tdk memikirkan ujung pangkal nya kemana arah yg mau di bawa…

    Tragiiiissssss !!!!

    Dari Feri Van Dalis di Grup Facebook Sahabat WALHI Bengkulu (Copy by Admin)
    https://www.facebook.com/groups/291746760984202/294668074025404/?comment_id=294669354025276&notif_t=group_comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.