Talempong Sambilu

 

Beberapa waktu lalu (4-6/10/2012) saya mengunjungi salah seorang seniman di pelosok Kota Sawahlunto, tepatnya di Dusun Sungai Cocang, Kecamatan Silungkang. Seniman tersebut bernama Umar Malin Parmato, dan akrab disapa Pak Usman Ajo. Untuk mencapai kediaman bapak Usman kita akan melawati perjalanan yang cukup mengesankan. Jika kita berangkat dari Arah Padangpanjang kita terlebih dahulu akan melewati kota Solok, dan sekitar 1 jam dari kota Solok kita akan sampai di Nagari Silungkang. Dan sebelum pasar Silungkang, kita akan bertemu dengan sebuah persimpangan, dari sana kearah kanan dan menanjak ke perbukitan yang cukup tinggi, namun saat ini kita sudah dapat mengaksesnya dengan kendaraan bermotor.

Hal yang menarik dari perjalanan ini adalah letaknya yang di pelosok dan di pebukitan ternyata sangat mempengaruhi eksitensi sebuah kesenian yang didalami oleh bapak usman tersebut.

Kesenian yang didalaminya itu biasa disebut oleh masyarakat setempat dengan istilah talempong sambilu, tapi ada juga yang menamakannya sebagai talempong botuang.

Memang secara umum istilah telempong mengacu pada alat musik logam/perunggu, bulat dan berbentuk gong kecil. Atau seperti bonang dalam perangkat gamelan jawa. Talempong sebagai alat musik logam/peunggu ini juga tercatat oleh Kamus besar bahasa indonesia (KBBI).

Namun oleh Teti Darlenis dalam jurnalnya MENYIKAPI PEWARISAN ENSAMBEL TALEMPONG PACIK MINANGKABAU mengatakan “Perkataan ‘talempong’ bagi masyarakat Minangkabau mengandung dua pengertian:  1) talempong sebagai nama dari alat musik jenis gong berpencu, berukuran agak kecil dari bonang (small gong) yang terbuat dari bahan logam dan perunggu; 2) talempong sebagai nama dari suatu ensembel musik perkusi tradisional, yang terdiri dari beberapa jenis musik talempong, seperti talempong pacik, talempong rea, talempong jao, talempong sambilu, talempong kayu, talempong batuang, talempong sayak dan sebagainya.”

Alat musik yang akan dijelaskan ini pada awalnya hanya disebut dengan istilah “calempong”. Sedangakan calempong dalam bahasa umum di Minangkabau disebut dengan talempong. Kemudian karena juga banyak ditemukan jenis talempong yang memiliki perbedaan baik itu dalam cara permainan, bentuk, dan bahan akhirnya terjadi penambahan istilah untuk masing-masing talempong tersebut. Ada yang menamakannya berdasakan daerah, seperti talempong sialang, talepong unggan, dan lain – lain. ada juga yang menamakannya berdasarkan cara permainan seperti talempong pacik, talempong goyang, dan ada juga yang menamakannya berdasarkan bahan dan bentuk seperti talempong batu, talepong botuang, atau talempong sambilu.

___

Talempong Sambilu Sungai Cocang, Silungkang Oso, Kecamatan Silungkang, Kota Sawahlunto.

Sebenarnya masih simpang siur masalah penamaan kesenian ini. Ada yang menyebutnya sebagai talempong sambilu, kemudian ada yang menyebutnya sebagai talempong botuang. Seperti yang dikatakan oleh bapak usman. “ado yang manyabuiknyo talempong sambilu, ado yang yang manyabuiknyo talempong botuang, namun nan disiko urang paliang acok manyabuiknyo talempong botuang” kata bapak usman.

Namun diluar daerah tersebut, orang-orang lebih banyak menyebutnya sebagai talempong sambilu, terutama dari akademisi seni dan budaya, baik itu luar dan dalam negeri. Hal ini juga karena pertimbangan sumber bunyi. Secara organologi, talempong sambilu memang terbuat dari bambu jenis botuang/batuang. Kemudian kulit luar batuang (sambilu/sembilu) dikupas tanpa lepas dari tubuh batuang dan direngakan dengan menggunakan sampa.

Pada alat musik tersebut yang menjadi resonansi adalah ruang kosong dalam batuang itu sendiri sedangkan yang menjadi sumber getar (sumber bunyi) adalah sembilu yang telah dikupas tersebut.

Seperti yang terjadi pada kesenian talempong lainnya, seperti talempong batu, masyarakat pemilik, serta akdemisi seni sepakat me-nama-i-nya sebagai talempong batu karena yang mejadi sumber getar utama adalah batu itu sendiri, sedang resonansi ada yang menggunakan kayu, dan lain-lain. Barang kali hal inilah yang memotivasi para ilmuan seni tertarik untuk menamakannya talempong sambilu.

Namun apapun nama yang akan dikenal nanti semoga  itu tidak akan mempengaruhi keindahan yang akan disampaikan oleh alat musik ini.

***

Bapak Usman ketika saya temui sudah berusia kurang lebih 84 tahun.  Ia sudah mengenal talempong sambilu ini sejak kecil. Alat musik ini dulu serigkali dimainkan oleh ibunya disela-sela waktu. Dari dulu hingga sekarang kesenian itu tetap dimainkan sebagai hiburan. Artinya bukan mewakili ritual atau upacara tertentu.

Kesenian ini biasa dimainkan dalam forum-forum kecil ketika masyarakat beristirahat dan berccanda-canda ketika selesai bekerja.

Oleh bapak usman dulunya kesenian ini tidak terlalu diminatinya. Namun selain talempong sambilu ia menyukai kesenian-kesenian khas Minangkabau lainnya.

Sejak ibunya meninggal, serta “suasana panas” yang terjadi di nusantara pada tahun 40-50 cukup membuat kesenian ini terlupakan dari komunitasnya.

Apa lagi setelah itu bapak Usman juga terlibat dalam pemerintahan, kemudian menjadi kepala jorong (kades), hal ini cukup membuat masyarakat setempat amnesia dengan keindahan bunyi yang berasal dari telempong sambilu ini.

Setalah pensiun dari jabatan kepala jorong, bapak usman kembali menggiati kesenian yang dulu pernah ditinggalkannya tersebut, hingga sekarang.

Dengan kesenian tersebut ia telah mengunjungi bebagai daerah baik itu didalam negeri maupun luar negeri. Seperti  Jakarta, Medan, Singapura dan lain-lain. Bahkan Ia juga mendapat penghargaan dari Perdana menteri Malaysia pada tahun2005 . Selain ia yang dibawa keluar, ia juga didatangi oleh beberapa orang seniman, budayawan baik itu dari dalam ataupun luar kota.

Seperti keterangan bapak Usman, ia membuat 20 talempong sambilu yang dipesan oleh seniman asal Australia untuk dibawa kenegeri asal mereka. Selain itu ada pula beberapa seniman dari Padangpanjang, Yogyakarta, Jakarta, dan Bali yang memesan alat musik tersebut.

Namun yang datang terlambat adalah dinas pariwisata Kota Sawahlunto itu sendiri. Bukan terlambat mengenal,tapi terlambat untuk mempelajari kesenian ini. Pada tahun 2010 untuk pertama kali kesenian ini berada di panggung besar kota Sawahlunto. Dan ini juga pertama kali saya mengenal talempong sambilu  ini.

Kemudian pada tahun 2012 ini juga ditampikan di pergelaran Pekan budaya Sumatera Barat di Kab. Solok. Hal ini adalah petanda dan cikal bakal kembalinya eksistensi talempong sambilu. Seperti diskusi yang saya lakukan beberapa waktu lalu, bapak Usman juga talah menyetujui undangan dari  sekolah SMA N 1 Kota Sawahlunto yang meminta untuk mengajarkan kembali  talempong sambilu pada siswa mereka.

“Rencana saya akan mengajarkan siswa tersebut bagaimana cara membuat talempong sambilu ini, kemudian kalau masih ada jadwal pertemuan, saya akan mengajarkan beberapa lagu”

Cukup menarik sekali, dari warga setempat dan keterangan bapak usman sendiri bahwa dirinya adalah satu-satunya seniman yang mahir memainkan dan yang bisa membuat alat musik tersebut.

“Sebenarnya ada tiga orang yang masih memainkan kesenian ini, saya, dan dua orang adik saya. Satu diantanya sudah meninggal, tingga saya dan adik saya. Itupun adik saya sudah jarang sekali memainkannya, pasalnnya istri dia tidak mendukung dirinya sebagi seniman, bisa dikatakan saya lah satu-satunya yang tersisa.”

Dulu bapak Usman juga sempat mengajarkan anak perempuannya, namun sekarang juga sudah jarang dimainkannya. Kemudian belakangan juga sudah diajarkan kepada cucunya dan telah melakukan penampilan kolaborasi di panggung Pekan Budaya Sumatera Barat 2012 di Solok.

***

Kesenian talempong sambilu , sepertinya memang sangat penting dilestarikan. Selain nadanya yang jernih dapat membantu pendengar menenangkan fikiran. Seperti yang dikatan ibu Usman (Istri Bapak Usman) bahwa bapak usman seringkali memainkannya ditengah malam atau dini hari ketika dia lagi suntuk dan lain-sebagainya. Ibu Usman mengaku tidak terganggu malah dia senang, karena permainan bapak usman yang halus membuat dirinya semakin nyaman.

Lagu  (reportoar) yang biasa dimainkan oleh bapak Usman banyak sekali, mulai dari lagu tradisional, populer, dan apa saja yang mengalir dari otaknya.

Pada dasaranya ada dua lagu khusus yang selalu dimankan dengan alat musik ini, yang pertama adalah lagu mandaki ngarai basurek, kemudian malereng ngarai basurek. Lagu ini tidak pernah dikenal siapa yang menciptakannya. Menurut bapak Usman dua lagu tersebutlah yang selalu dimainkan oleh pendahulu kesenian ini. Lagu ini pastinya bercerita tentang aktivitas keseharian masyarakat setempat. Mandaki berarti mendaki, sedangkan malereng secara  luas dapat berarti mendaki ataupun menurun. Namun malereng bagi masyarakat Sungai Cocang adalah kegiatan menurun.  Dan Ngarai Basurek adalah nama pebukitan daerah tersebut.

Selain dua lagu khas tersebut, melalui talempong sambilu juga biasa dimainkan lagu yang lazim dimainkan oleh beberapa instrumen lain. Seperti lagu yang biasa dimankan pada alat musik talempong pacik, sarunai, dan lain sebaginya, menurutnya hal itu hanyalah sebuah pengembangan, termasuk mengunakannya sebagai musik pengiring tarian.

Sebenarnya ada hal lain yang cukup menarik dari lagu-lagu kemudian. Seperti cerita bapak Usman. Setelah bosan memainkan dua lagu khas tersebut, ia mencoba untuk mengmbangkannya dengan lagu-lagu lain. Seperti pada lagu-lagu yang dimainkan dengan talempong pacik. Namun tidak ada yang mau mengajarkannya. Akhirnya ia mulai melakukannya sendiri.

Seperti yang saya jelaskan sebelumnya (Bagian I) bahwa kondisi geografis tempat pak Usman juga sangat berpengaruh dengan eksistensi kesenian ini. Dari puncak tersebut, terdengar jelas orang –orang yang memainkan talempong pacik (terbuat dari perunggu). Kemudian ditirukan oleh pak Usman pada talempong sambilu. Begitu berulang-ulang kali, hingga akhirnya ia mahir.

Setelah mempelajari beberapa lagu tersebut barulah bapak Usman membawa kesenian ini ke pangung yang lebih luas. Artinya pak usman sudah bisa menyajikan beberapa lagu yang mungkin akan menjadi perminataan penonton.

________
*Artikel ini sebelumnya dipublikasi di blog BUJANGKATAPEL. Tulisan yang sebelumnya di pecah menjadi tiga artikel bersambung ini di edit kembali oleh redaksi sesuai dengan watak jurnal GUBUAK KOPI atas izin penulis.

Albert Rahman Putra, biasa disapa Albert, adalah seorang penulis, kurator, dan pegiat budaya. Merupakan lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang, dengan fokus studi pengkajian seni karawitan. Dia adalah pendiri Komunitas Gubuak Kopi dan kini menjabat sebagai Ketua Umum. Albert aktif sebagai penulis di akumassa.org. Ia juga memiliki minat dalam kajian yang berkaitan dengan media, musik, dan sejarah lokal Sumatera Barat. Manager Orkes Taman Bunga. Tahun 2018 bersama Forum Lenteng menerbitkan buku karyanya sendiri, berjudul Sore Kelabu di Selatan Singkarak. Ia merupakan salah satu kurator muda terpilih untuk program Kurasi Kurator Muda yang digagas oleh Galeri Nasional Indonesia, 2021.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.