Tag Archives: Pengarsipan

Presentasi Publik Kurun Niaga #4

Open lab atau pameran proses artistik berbasis arsip yang dilakukan di Rumah Tamera ini diinisiasi untuk menampilkan proses yang didapatkan selama lokakarya kepada publik. Open lab dibuka dengan pengantar oleh Albert Rahman Putra selaku koordinator project “Kurun Niaga #4 – How is the story told after it’s over?“, yang memperkenalkan aktivitas partisipan selama sepuluh hari terakhir. Open lab ini bukanlah merupakan hasil akhir melainkan proses dari pengarsipan itu sendiri. Sebelum project ini dimulai, Komunitas Gubuak Kopi melakukan pemetaan sederhana mengenai kelompok atau inisiatif-inisiatif warga berbasis kegiatan pengarsipan yang terdapat di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Riau. Menelusuri beragam medel praktik pengembangan arsip sebagai modal dalam pendidikan kontekstual di berbagai daerah. 

Continue reading

Merangkai Presentasi Artistik dalam Open Lab Kurun Niaga #4

Di hari kedelapan, di Jum’at yang cerah ini seluruh partisipan lokakarya Kurun Niaga diminta untuk merangkai proyeknya masing-masing. Hari ini dimulai dengan diskusi tentang proyek artistik untuk presentasi publik dalam bentuk open lab hari Sabtu. Partisipan diminta memikirkan konsep apa yang akan ditampilkan pada open lab nanti. Ada yang mulai mengumpulkan dokumentasi zaman kolonial, arsip tentang kejayaan masa lalu, dan diskusi dengan Akbar Yumni dan fasilitator Komunitas Gubuak Kopi tentang konsep apa yang sekiranya cocok dihadirkan ke ruang publik. Apa yang hendak ditampilkan ini tentunya bukanlah sebuah karya hasil akhir, melainkan modul proyek ataupun draft karya yang kelak bisa dilanjutkan secara kolaboratif di kolektif atau wilayah masing-masing partisipan.

Continue reading

Membuat Buku Bersama Sokong

Sokong Publisher adalah sebuah platform penerbitan buku terkait fotografi yang berbasis di Yogyakarta. Mereka sudah hadir sejak tahun 2018. Penerbit ini menyokong praktik artistik dan diskursif dalam langkah memantik pembahasan terkait fotografi secara berkelanjutan. Sokong mengutus Prasetya Yuda sebagai narasumber di project Kurun Niaga kali ini. Pras sudah pernah menerbitkan zine pada tahun 2014. Selepas kuliah, Pras dan kawan-kawan memutuskan mendirikan publisher untuk ruang penerbitan buku fotografi. Mereka belajar membuat publikasi digital dan editorial di tahun pertama. Menurut Pras, publikasi cetak membangun peristiwa sosialnya sendiri. Melalui zine jugalah Sokong Publisher akhirnya bisa terhubung dengan komunitas-komunitas di seluruh nusantara. 

Continue reading

Krista : How Is The Story Told After it’s Over? 

Minggu (13 Oktober 2024), Lokakarya Kurun Niaga dilanjutkan dengan pertemuan secara daring dengan Krista Jantowski yang kini berdomisili di Utrecht. Krista mengisahkan risetnya melalui pendekatan aspek memori atau juga ingatan kolektif. Salah satu risetnya menyingkap kehidupan tambang batubara Oranje Nassau di Heerlen yang dibuka sejak 1893. Dari penelitiannya ia mendapati bahwa eksploitasi batubara pertama oleh Belanda telah dimulai sejak 1854 di Pulau Laut, Kalimantan Selatan. Hal tersebut membuat ia mempertanyakan kapan “cerita” seharus dimulai. Hal ini menurutnya penting yang kemudian membuat bagaimana sejarah dan narasi dominan itu terbentuk.

Krista mengkritisi bagaimana museum menarasikan kehidupan tambang meski disajikan secara kronologis, namun tidak menyinggung sama sekali aspek orang-orang yang terhubung erat dengan kehidupan pertambangan, dan membuatnya menjadi tetap tidak diungkap/ dibicarakan (unspoken).


Ia bahkan menyoroti sebuah poster Hercules Powder Co. sebuah perusahaan yang memproduksi bahan peledak untuk pertambangan. Menurutnya bumi menyimpan banyak batubara maupun bahan mineral lain yang siap untuk digali, untuk kepentingan orang banyak. Krista melihatnya sebagai narasi yang sangat menggambarkan pemikiran khas kolonial, bahwa mereka merasa berhak untuk mengambil sumberdaya tersebut demi kenyamanan mereka.

Usaha-usaha melengkapi narasi-narasi dominan oleh Krista dilakukan melalui bacaan, musik, podcast di art space-nya di Heerlen, untuk membangun dialog dengan orang-orang yang memiliki hubungan dengan tambang batubara tersebut. Namun Krista menekankan, bahwa upaya mengumpulkan informasi mengambil pendekatan memori kolektif ini bukan untuk membuktikan bahwa narasi dominan adalah salah, namun untuk melengkapi berbagai sudut pandang yang selama ini tidak dibicarakan.

Melalui pameran berjudul Overburden, bersama artis-artis yang terlibat, mengambil analogi makna overburden; residu, sesuatu atau material yang tidak digunakan lewat bermacam pendekatan. Krista juga sangat antusias dengan lokakarya Kurun Niaga 4 ini, dan ingin tahu apa saja temuan-temuan baru yang dapat dihasilkan partisipan dalam tinjauan artistik. [DA]

Riski Ramadani – Non Blok Ekosistem 
Solok, 13 Oktober 2024

Narasi-narasi dari Situs Ingatan

Senin (14/10), memulai awal pekan dengan kelas secara daring bersama Rifandi Septian Nugroho dari Gudskul Ekosistem. Pertemuan daring ini melanjutkan kelas yang sempat tertunda dikarenakan Rifandi harus kembali ke Jakarta. Para residen Kurun Niaga #4 diminta menjelaskan “situs ingatan” yang sudah ditempel menjadi kolase di dinding depan kelas Rumah Tamera. Masing-masing mengemukakan ide terkait ingatan atas ruang yang dirasakan secara personal.

Continue reading

Menyibak Arsip Melalui Perspektif Dekolonialisasi

Selamat Datang di Kota Solok!

Pada “fase rawat” Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) 2024 ini, Komunitas Gubuak Kopi dipilih sebagai salah satu hub Sumatera yang menjaring beberapa komunitas di Sumatera Barat, Riau, dan Sumatera Utara untuk diajak berkolaborasi. Fase rawat ini sejalan dengan pengembangan proyek Kurun Niaga #4 yang sedang berlangsung, sebagai upaya menjangkau dan membangun jejaring kelompok budaya lebih luas lagi, khususnya dalam produksi narasi berbasis kegiatan pengarsipan wilayah.  Kurun Niaga sendiri adalah serial proyek Komunitas Gubuak Kopi, sejak tahun 2019.

Continue reading

Dari Mana Kita Akan Membaca Arsip?

Repotase Hari Kedua FGD dan Lokakarya Daya Desa: Penguatan Ekosistem Budaya di Desa Warisan Dunia

Hari kedua dimulai oleh penyegaran kembali materi hari sebelumnya oleh fasilitator, kemudian dilanjutkan dengan materi dari Dr. Sri Setiawati. Beliau adalah Pengajar di studi Antropologi dan studi Pembangunan di Universitas Andalas (UNAND), Padang. Ibu Sri sebelumnya aktif melakukan penelitian di sejumlah wilayah di Sumatera Barat, termasuk Kota Sawahlunto, dan memiliki ketertarikan pada isu-isu perempuan, serta pernah menginisiasi sejumlah gerakan pemberdayaan perempuan di Kota Sawahlunto. Ibu Sri berbagi mengenai metode antropologis dalam memetakan Objek Pemajuan Kebudayaan (OPK) serta mendedah persoalan sebuah wilayah melalui pengalaman risetnya. Serta bagaimana wawasan antropologis digunakan dalam menginisiasi agenda design sosial ataupun gerakan berbasis komunitas warga. Pada sesi ini para partisipan juga diminta untuk menuliskan “siapa anda dalam satu kata”, jawaban para partisipan digunakan sebagai pintu untuk membongkar perspektif peserta dalam memposisikan diri dalam agenda Daya Desa ini.

Continue reading

Menanam Arsip

Ramadhan tahun 2017 ini, Gubuak Kopi kembali menggelar lokakarya dengan tema “Kultur Daur Subur”, kegiatan ini dilakukan dari tanggal 10-20 Juni 2017. Partisipan pun yang mengikuti lokakarya kali ini terdiri dari perwakilan kelompok ataupun individu dari lintas disiplin. Hari pertama kegiatan ini berlangsung, Albert selaku ketua fasilitator dalam lokakarya kali ini, membekali tentang Sejarah Perkembangan Media kepada partisipan. Albert menjelaskan apa itu media, bagaimana perkembangannya di dunia maupun di Indonesia sendiri. Bagaimana kita mengelola media sendiri dan praktek bermedia. Ia juga menjelaskan bahwa media dan seni berjalan seiringan jauh dari zaman peradaban sebelumnya. Albert juga memutarkan beberapa karya film-film penting dalam sejarah perfilman dunia maupun Indonesia. Continue reading

MENGENAL DAN MERAWAT TRADISI

Pada Senin 16 januari 2016, di Palanta Komunitas Gubuak Kopi berlangsung persentasi dan diskusi menarik bertemakan “music.locality.achiving” (Musik, Lokalitas, dan Pengarsipan). Diskusi ini pada dasarnya merupakan persentasi penelitian Palmer Keen bersama Albert Rahman Putra di beberapa daerah, di wilayah budaya Minangkabau. Duo peneliti dan pengarsip kesenian lokal ini, bersama Komunitas Gubuak Kopi sengaja memilih tema tersebut mengingat semakin berkurangnya kesadaran untuk mengenali dan mengembangkan kebudayaan lokal di Sumatera Barat.

 “apa lagi di buku-buku kesenian sekolahan, sebagian besar muatannya adalah Jawa.”

Palmer Keen adalah seorang pengarsip seni tradisi dari Los Angles-USA, Sejak empat tahun terakhir juga aktif mendokumentasikan dan mempublikasi kesenian tradisi (lokal) di Nusantara melalui situs yang dikelolanya http://www.auralarchipelego.com. Menurutnya kasus serupa sebenarnya tidak hanya terjadi di Sumatera Barat, tapi juga terjadi di banyak daerah di Nusantara (Indonesia). Kurangnya informasi dan publikasi dalam bahasa Inggris menjadi salah satu asalan Palmer untuk menjalani proyek ini. Sungguh pun begitu, kegiatan yang ia lakukan tidak hanya untuk orang di luar Indonesia saja tetapi juga untuk komunitas lokal.

“bagi saya idealnya mengembangkan dan melestarikan seni tradisi adalah tanggung jawab komunitas lokal itu sendiri, tidak pemerintah, ataupun universitas.”

Bagi Palmer hal itu harus segera dilakukan mengingat sedikitnya regenerasi dari kesenian yang sangat menarik dan langka. Beberapa kesenian yang diteliti waktu itu diantaranya: Talempong Sambilu (Silungkang, Sawahlunto), Saluang Sirompak (Taeh Baruah, Payakumbuh), Talempong Batu (Suliki, Limopuluah Koto), Basijobang (Sungai Tolang, Payakumbuh), dan Muluk (Lintau). Kesenian ini pada dasarnya merupakan kesenian yang hanya ditemukan di daerah itu saja.

Dalam diskusi tersebut Palmer juga menyampaikan kekagumannya atas aksi Pak Umar yang berusia sekitar 80 tahun namun masih kuat bermain dan membuat alat musik tersebut. Sebenarnya kesenian ini juga pernah dikenalkan di sekolah-sekolah di Sawahlunto namun di daerah Silungkang itu sendiri tidak ada regenerasinya.

“sedangkan kesenian itu adalah kesenian Silungkang bukan Sawahlunto, artinya ia adalah representasi daerah lokal itu, daerah yang asri pebukitan Silungkang, bukan Kota Tambang, Sawahlunto.”

Menanggapi Talempong Botuang, Albert yang sebelumnya juga pernah menulis tentang ini, menambahkan, bahwa kesenian ini memiliki dua repertoar (lagu) yang menarik, yakni berjudul “Malereng Ngarai Basurek” dan “Mandaki Ngarai Basurek” dua lagu ini sebenarnya representasi dari aktivitas masyrakat Silungkang itu sendiri, terutama daerah tempat bapak Umar ini. Ngarai Basurek adalah nama tempat pebukitan disana, malereng (menurun) dan mandaki (mendaki) adalah aktivitas yang mereka lewati setiap harinya untuk berkebun dan berinteraksi dengan warga lainnya. Hal ini lah ciri khas musik di Minangkabau, yang sangat dekat keadaan lokanya dan juga sebagai dokumentasi keseharian mereka. Secara musikal lagu-lagu ini kedua lagu ini memiliki krakter kontras, yang satu contour (kontur/pola gari nada) nadanya naik, dan yang satu lagi turun, sesederhana itu, kira-kira begitu cara mereka menikmati keseharian mereka.

Kemudian temuan menarik juga mereka ditemukan di Suliki, tak jauh dari rumah kelahiran Tan Malaka. Di sana terdapat Talampong Batu yang bisa dikatakan sangat kuno. Seperti yang dikatakan Palmer, Jarang sekali ada peradapan yang memainkan musik dari media Batu. Yang membuatnya menarik adalah keterputusan sejarah mengenai musikal dari kesenian ini. Sebelumnya batu itu menurut warga lokal merupakan batu-batu yang terpencar. Kemudian disusun berdasarkan ukuran, lalu setelah datangnya beberapa akademisi dari Aski Padangapanjang (ISI Padangpanjang) susunan batu ini ditata untuk bisa diamainkan seperti kesenian Talempong Pacik yang sangat umum di Minangkabau. Warga lokal sendiri tidak mengetahui alasan pengulangan susunan itu, selain agar bisa dimainkan seperti talempong pacik. Palmer sangat menyayangkan hal itu, kesenian ini menjadi tidak lagi organik.

Berikutnya adalah kesenian Muluk, sebuah kesenian vokal yang melantunkan syair berupa pujian terhadap nabi Muhammad selaku pemimpin umat Islam. Syair yang berbahasa Arab itu menurut Palmer terasa ‘sangat minang’. Ia mengaku walau tidak mengerti bahasa Arab ia bisa merasakan nyanyian itu cukup menyentuh perasaannya. Dengan demikian, seperti yang ditambahkan Albert, kesenian ini digunakan sebagai salah satu dakwah dan cara pengembangan agama Islam di Minangkabau. Ada beberapa kesenian lokal lainnya yang melakukan hal seperti, negosiasi antara “Agama dan kebudayaan” yang tercermin dalam kesenian. Dari sini kita bisa mengimajinasikan bagaimana agama itu begitu melekat dalam diri Orang Minang.

“Tentunya cara ini sangat berbeda dengan cara yang dibawa oleh Imam Bonjol ataupun seperti banyak ulama yang ‘kearab-araban’ sampai di Indonesia.” Albert

Ada banyak peristiwa kesenian lokal lainnya yang juga menarik untuk dibicarakan malam itu. Nantikan kuliah dan diskusi menarik lainnya di Program Kelas Warga Gubuak Kopi.

___________

(hms)

Jemuran Foto

Presentasi Publik “Jemuran Foto” adalah hasil dari proyek pendokumentasian dan pengarsipan Komunitas Gubuak Kopi bersama para partisipan dalam menawarkan model-model pengarsipan alternatif untuk publik Solok. Project ini dinamai #GBKPicstory. Beberapa hasil karya partisipan sebelumnya pernah dipajang di blog Gubuak Kopi (www.gubuakopi.wordpress.com).

Silahkan simak hasil karya partisipan di “Jemuran Foto”

Senin, 04 Agustus 2014

13.00 Wib – selesai

di GOR Batu Tupang, Kab. Solok.


Katalog Jemuran Foto