Halaman dalam pengembangan
Silakan kembali lagi nanti ^^
Tentang Proyek
Tentang Proyek
Masyarakat Minangkabau mengenal dua konsep pewarisan harta yang disebut pusako randah dan pusako tinggi. Pusako randah adalah harta yang dikelola tingkat keluarga kecil dan diwariskan dari keturunan ayah atau sejalan dengan sistem pewarisan dalam konsep ajaran Islam, sementara pusako tinggi adalah harta yang dikelola pada tingkat kaum, yang diwariskan berdasarkan garis keturunan ibu (matrilineal). Selain berupa material (pusako), seperti tanah dan rumah gadang, pusako tinggi juga berupa warisan tidak material, yang disebut sako, biasanya berupa gelar adat.
Pusako tinggi, baik itu berupa pusako dan sako hadir menjawab kebutuhan akan keberlangsungan sebuah kaum atau klan dalam sistemfikasi materilineal. Ia pada dasarnya adalah modal yang diperoleh secara turun temurun dari nenek moyang, dikelola untuk kebutuhan kaum dan mendukung martabat anggota kaum khususnya kaum perempuan. Ia boleh digadai selama memenuhi syarat yang dibunyikan oleh adat: gadih gadang alun balaki (gadis dewasa yang belum menikah), mayik tabujua di ateh rumah (mayat yang terbujur di atas rumah/ belum dikebumikan), rumah gadang katirisan (rumah gadang/rumah adat kaum yang perlu dibenahi), dan mambangkik batang tarandam (membangkitkan batang yang terendam/mengaktivasi struktur adat). Sungguhpun begitu, tatanan adat membuat ia “dijual ndak makan bali, digadai ndag makan sando" (dijual, tidak akan bisa dibeli; digadai, tak akan bisa di sandra). Dalam hal ini, Komunitas Gubuak Kopi melihat muara dari konsep tersebut adalah menegakkan martabat manusia sebagai makhluk komunal.
Sementara itu, sebagian besar masyarakat Minangkabau, yang pada perkembangannya menyendikan hukum adat dari ajaran Islam, memperkuat posisi pusako tinggi atas dasar menjawab kebutuhan yang dikenal dengan konsep ‘memelihara nan lima’ (hifzul jhamsah), yang dikembangkan dari tafsir Imam Al-Gazali, yakni apakah pusako tinggi mampu memelihara nyawa (raga), memilihara jiwa (mental), memelihara harta, memelihara kehormatan (martabat), dan memelihara agama. Landasan ini penting untuk melihat praktik pusako tinggi agar juga dimaknai secara spiritual.
Proyek ini merupakan pengembangan dari platform Daur Subur, sebuah studi yang berkembang di masyarakat pertanian di Sumatera Barat, yang digagas oleh oleh Komunitas Gubuak Kopi sejak tahun 2017. Secara spesifik, studi ini berupaya melihat bagaimana ide-ide keberlangsungan kolektif baik itu dalam takaran represenstasi pengetahuan ataupun eksperimentasi praktis dapat dikembangkam dalam konteks berkolektif dan kerja-kerja non-profit di Sumatera Barat hari ini.