Pengantar
Situasi pandemi yang sama sekali baru bagi warga dunia ini mengantarkan kita pada pengalaman yang sangat berbeda dalam berbagai aspek, diantaranya mengantarkan kesadaran kita pada daya bertahan mandiri –sekaligus gotong royong dalam jarak yang sangat terbatas. Di sisi lain, krisis yang menimpa berbagai kelas sosial ini memberi kita peluang untuk melihat momen ini sebagai kesempatan menata ulang gagasan mengenai ruang hidup yang lebih baik.
Seperti pandangan Hilmar Farid dalam sebuah diskusi online (ARKIPEL, 2020), gagasan mengenai “New Normal” sering kali bermuara pada upaya mempertahankan kebiasaan lama dan apa-apa yang mungkin bisa dipertahankan, dengan ide sentral keberlangsungan ekonomi. Biaya sosial yang muncul dari krisis kapital, oleh kapital itu sendiri diekstraksi kepada masyarakat “kelas rendah” dan lingkungan hidup. Alih-alih menempatkan biaya sosial ekologi di depan, kita masih tetap mengekstraksi kerugian-kerugian kapital dengan cara membebankan biaya sistem ekologis pada daur hidup sosial dan daya dukung lingkungan. Sebaliknya, seharusnya dengan meletakan biaya sosial pembangunan ekologis di hulu sebagai tali kekang, untuk mengatur laju akumulasi kapital yang tidak terkendali. Mempersiapkan keselamatan masa depan; kedaulatan pangan, keselamatan kolektif, pemukiman dan tata ruang, serta perbaikan sistem pendidikan dan tata kelola kebudayaan.
Dengan demikian desa, ataupun wilayah yang menyimpan beragam sumber daya alam ini penting untuk kita tinjau lagi sebagai model pembangunan masa depan. Seperti pandangan Arif Yudi (New Rural Agenda, 2022), pembangunan yang selama ini dicanangkan pemerintah mengadopsi logika urban, telah merubah lanskap geografis, budaya, sosial, dan sistem ekonomi yang mengabaikan keselamatan masa mendatang. Sementara itu desa menunjukan kebertahanannya selama masa krisis, dari pandemi satu ke pandemi lainnya. Kemampuan warga mengelola sumber daya alam menjadi modal kultural yang efektif dan masuk akal untuk kita dalami bersama sebagai perangkat pembangunan. Melihat bagaimana tradisi bekerja mengelola, mendayagunakan, merawat keberlangsungan sumber daya alam, dan daur hidup antar sesama, serta dibicarakan bersama-sama.
Metode Artistik dan Konteks Lokasi:
Daur Subur #8 – Downshifting
Agenda besar di atas, tentu saja tidak dapat diselesaikan dengan sebuah proyek seni di kota kecil, seperti Solok. Perlu pengoragisasian yang besar dan intensitas yang panjang. Proyek ini adalah langkah kecil dari ambisi itu dan merupakan bagian dari platform Daur Subur: sebuah studi yang digagas oleh Komunitas Gubuak Kopi, sejak tahun 2017, dalam mengkaji kebudayaan yang berkembang di masyarakat pertanian dan praktik-praktik kolektif melalui praktik seni sebagai media. Studi ini meliputi upaya pemetaan dan mengkaji isu-isu yang berkembang di masyarakat melalui sejumlah kegiatan seperti, lokakarya, proyek seni, pameran, pengarsipan, dan lainnya. Daur Subur berupaya menggali aspek pengetahuan dari berbagai peristiwa kebudayaan dan mengemasnya untuk memahami persoalan hari ini, dengan tetap sadar akan kearifan lokal, isu sosial, politik, ekonomi, dan perkembangan kontemporernya.
Secara spesifik, proyek kali ini, memperluas terma Downshifting (melambat) sebagai pilihan tindakan dalam mengupayakan keselamatan warga, termasuk lingkungan dan ruang hidupnya. Terminologi Downshifting merujuk pada gerakan sosial yang berkembang di masyarakat urban, sebagai respon gaya hidup industri yang serba cepat dan instan. Fenomena ini menarik, sebab nilai-nilai ini pada dasarnya tertanam dalam kearifan lokal di berbagai wilayah kultural di dunia, termasuk di Minangkabau, atau secara spesifik di Solok, Sumatera Barat. Lebih dari itu ia dilengkapi dengan narasi spiritual dan kearifan lokal sebagai konsepsi kebahagian kita masyarakat timur.
Pertanian di Indonesia, yang tadinya ia dilihat sebagai bagian dari sirkulasi hidup, kemudian pada masa kolonial, dan diulang pada masa Orde Baru, pertanian beralih pada motif ekonomi semata, yang memposisikan petani sebagai mesin produksi industri pangan, demi ambisi mencapai swasembada. Sirkulasi tani di Solok, yang tadinya berlangsung satu kali dalam setahun, didorong untuk memenuhi kebutuhan statistik menjadi 2 -3 kali dalam setahun.
Percepatan ini berdampak pada banyak perubahan pola sosial, kearifan lokal, persepsi mengenai alam, dan paradigma mengenai pertanian itu sendiri sebagai bagian dari daur hidup. Seperti ritual kolektif sebelum menanam dan setelah panen, pupuk yang aman, gotong-royong, memberi jeda terhadap tanah, dan pengetahuan lainnya pun menjadi terlupakan. Peleburan jerami pasca-panen yang tadinya dirayakan dengan berbagai ritual, yang kaya akan nilai-nilai kolektif, digantikan dengan pupuk subsidi yang tidak bertahan lama dan industrinya terpusat di kota-kota besar. Tanpa bermaksud melihat tradisi-tradisi ini sebagai sesuatu yang eksotis, namun, bersamanya turut terkikis beragam pengetahuan lokal, yang berpihak pada pangan nan aman, tata kelola lingkungan dan kebudayaan.
Proyek ini dikerjakan melalui metode lokakarya dan berkolaborasi dengan komunitas warga –sebagai bagian dari warga. Para partisipan diajak merespon isu di atas, dengan menyoroti narasi kecil yang berkembang di Kota Solok, Sumatera Barat. Proyek ini mengajak kita untuk melihat sejauh mana kejeniusan lokal, secara konsep dapat memperbaharui bentuknya, membangun inisiatif dan spekulasi mengenai masa depan yang lebih baik. Melibatkan warga sebagai aktor utama dalam memproduksi wacana tersebut.
Tim dan Kolaborator
Daur Subur #8 – Downshifting
Komunitas Gubuak Kopi (Albert Rahman Putra, Biki Wabihamdika, Hafizan, M Biahlil Badri, Muhammad Riski, Volta Ahmad Jonneva, Zekalver Muharam) dan kolaborator: Ryan Kelana, Mimi Batik, Pesantren Darut Thalib, Kelompok Badunsanak Sampai Gaek.
Project ini didukung oleh Festival Komunitas Seni Media, ARKO Art Center Korea, dan Jakarta International Literary Festival (JILF) 2023
Open Lab #1
Selama berproses, tepatnya pada perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, Komunitas Gubuak Kopi bersama warga menggelar sejumlah kegiatan, seperti perlombaan, permainan, nonton film, dan pameran. Pameran ini menghadirkan sejumlah catatan mengenai bingkaian proyek Daur Subur #8 – Downshifting dalam memahami daur hidup yang berkelanjutan, baik itu dalam konteks lingkungan dan sosial, serta mengaktivasi Pos Ronda sebagai institusi alternatif dalam menyalurkan energi gotong-royong dalam merencanakan ruang hidup yang lebih baik.
Presentasi Publik/Open Lab #1
14-17 Agustus 2022
di Pos Ronda Induk Kelurahan Kampung Jawa, Kota Solok
Open Lab #2
Komunitas Gubuak Kopi dan sejumlah tetangga yang terlibat pada proyek Daur Subur #8 – Downshifting mempresentasikan catatan dan temuan-temuan menarik terkait proses dalam bentuk pameran sederhana. Pameran diselenggarakan di Pos Ronda Iduk Kampung Jawa, Solok, membuka partisipasi warga untuk membaca ulang proses, menanggapi, memberi masukan, dan menyampaikan refleksi lainnya terkait proyek ini.
Presentasi Publik/Open Lab #2
19-23 Oktober 2022
Pos Ronda Induk (RW06) Kelurahan Kampung Jawa, Solok
Pameran di Festival Komunitas Seni Media
Salah satu topik riset Daur Subur #8 – Downshifting adalah memahami bagaiama warga mengatasi hamanya dengan cara-cara yang lebih bijak, salah satunya adalah memproduksi imajinasi tentang musuh dari hama yang hendak diusir, seperti memproduksi aroma harimau dan bunyi-bunyian.
Artikel terkait: Smells Like a Tiger
Pameran dan Presentasi di JILF
Selain di Pos Ronda Induk, Kampung Jawa, Solok, proyek ini juga dipresentasikan di perhelatan Jakarta International Literary Festival (JILF) yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta di Taman Ismail Marzuki. Pameran ini dikuratori oleh Grace Sambok dalam bingkaian “Our City in The World" bersama 8 komunitas lainnya dari berbagai kota di Indonesia. Selain pameran, juga terdapat sesi diskusi yang membahas seluk beluk proyek.
Pameran dan Diskusi Publik
Jakarta International Literary Festival (JILF) – Our City in The World
22-26 Oktober 2022
Taman Ismail Marzuki, Cikini Raya, Jakarta
Artikel terkait: Presentasi Daur Subur #8 – Downshifting di JILF