Seringkali kita mengandalkan internet untuk melihat sesuatu yang penting dalam waktu yang cepat. Namun, ada sesuatu yang kita konsumsi tanpa mencarinya di hidangan. Dia adalah bentuk otomatis yang muncul sebagai gerbang sistematis atau satu ‘bentuk’ dari sebagian besar informasi yang ada. Semacam menu pembuka dihidangkan kepada kita. Dengan itu, kita bisa menyaksikan yang jauh dari dekat. Atau di kondisi lain, kita menyebarkan yang dekat agar jauh. Kita sebut ini adalah lubang pengintip berbasis internet.
Malam itu, saya, Hafiz dan Zekal bergerak dari Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta menuju ke Galur. Di mobil, kita bercerita soal jasa travel dan apa yang dialaminya di malam hari; yakni seputar kejadian-kejadian menarik yang dialami sopirnya. Mulai dari penumpang yang sudah langganan, ditipu penumpang, hingga kejadian unik lainnya di jalanan. Namun baginya, yang terpenting adalah agar maksud awalnya tersampaikan; yakni penumpangnya bisa sampai dengan baik bagaimanapun kondisi jalannya. Lalu, kita berhenti dulu di tengah perjalanan. Sopir berkata bahwa kita sudah dekat (ini jarak tempuhnya ya, bukan hubungan). Oke, kita langsung memesan ayam geprek yang Masha Allah pedasnya. Kelihatan sekali sopirnya tidak terlalu suka pedas, namun hidangan ini sudah tertera di atas meja. Maka, dia makan dengan pelan sambil sesekali dibantu es teh.
Di posisi ini, es teh tidak menghilangkan pedasnya sambal. Tapi es teh adalah menu lain di atas meja, yang mungkin saja meredakan atau memberi rasa lain selain pedas.
Melanjutkan perjalanan…
“Biasanya kalau Gojek enggan lewat sini malam-malam. Untung sekarang pakai mobil.”
Cerita ini terus berlanjut, hingga tak ada satupun peristiwa di jalan yang cukup menarik perhatian.
Sebelum menuju Galur, menyaksikan Galur dari internet adalah jalan pintas yang kami ambil. Biasanya poin-poin yang sangat heboh berada di daftar teratas berita. Saat itu, ia menjadi gambar-gambar yang berpengaruh untuk wajah daerah ini. Cover dari sebuah pencarian kita bisa berubah kapan saja sebab ini hanya lubang pengintip yang melihat sebagian kecil dari banyak hal yang tidak terlihat darinya. Namun bagaimanapun juga, dia dihidangkan meski tidak dipesan, sebagaimana es teh yang mendampingi pesanan ayam geprek sopir travel.
Sebelumnya, pertemuan-pertemuan kami dan tim kurator Pekan Kebudayaan Nasional serta perwakilan Galur banyak dinarasikan dengan suatu jenis peristiwa tertentu yang sebetulnya sudah ada sejak lama di Galur. Biasanya, ia berlangsung dalam beberapa menit saja, lalu hilang, lalu ada lagi, lalu hilang lagi dan begitu seterusnya. Kenapa dia mesti ada? Apakah dia akan menjadi teka-teki yang mestinya tak dijawab atau menghadirkan jawaban sebanyak mungkin adalah cara lainnya?
Tak banyak yang kita tahu tentang apa sebetulnya yang mendorong hal ini ada sampai sekarang. Mencari alasan-alasan membuat semuanya seperti mungkin. Mengabaikannya juga mungkin. Tapi, menemukan apa yang lebih penting dari alasan-alasan itu sepertinya sangat mungkin.
***
Sampai di Galur, kita disambut oleh Pak Manock yang sedang duduk menunggu di teras Gedung Karang Taruna. Beliau adalah orang pertama yang kita tuju di Galur; seorang pegiat teater senior. Beliau menyambut kami dengan ramah, memesankan kopi, lalu mengajak pindah ke dalam sanggar dengan alasan di luar banyak nyamuk. Kita kembali berkenalan, memulai obrolan tentang perjalanan kita dari Solok yang harusnya sudah sampai sedari sore tadi. Karena penerbangan delay, kita sampai di Galur sudah cukup malam. Pak Monock melanjutkan dengan cerita-cerita kehidupan di sini; tentang bagaimana lahirnya kelompok-kelompok teater yang dilatarbelakangi oleh banyak profesi seperti pedagang, anak sekolah, anak kuliah, putus sekolah dan lain sebagainya. Beliau juga bercerita tentang pengalaman shooting film, sinetron, dan lain-lain. Di ujung obrolan, beliau ingin menyaksikan Vlog Kampuang (platform merekam video dari Gubuak Kopi). Setelah menonton beberapa vlog, beliau mengulas sedemikian rincinya, mengatakan bahwa ia menyukainya, lalu ia berkata bahwa vlog semacam ini memancing imajinasinya dalam berteater dan juga dalam membuat film. Obrolan masih berlanjut sampai semua anak-anak di sini tertidur di sebuah ruangan.
Paginya kita bertemu pengurus kelurahan dan Tim Penggerak Desa di RPTRA (Ruang Publik Terpadu Ramah Anak). Namun, kita tidak bertemu Pak Lurah secara langsung melainkan diwakilkan oleh Pak Pri. Pertemuan ini adalah perkenalan sekaligus memberitahu maksud kedatangan kita yang akan menetap selama kurang lebih sebulan di sini. Ada satu hal yang paling saya ingat di obrolan ini, yakni Pak Pri menceritakan Galur yang menurutnya adalah daerah paling padat penduduk se-Asia Tenggara. Pak Pri juga menceritakan tentang upaya-upaya pemerintah mengakali agar kondisi di Galur tetap ideal. Mendengar kata padat penduduk se-Asia Tenggara, saya dihantarkan banyak pertanyaan: apa yang membuat kondisi ini terus bertumbuh? Lalu, bagaimana caranya?
Di jalan pulang menuju ke Gedung Karang Taruna, kita melihat Pak Manock bertegur sapa dengan orang-orang. Sesekali beliau berhenti untuk ngobrol singkat, dan begitu seterusnya. Sambil jalan, beliau turut mengenalkan kami ke orang-orang sehingga kami merasa jadi tamu untuk banyak orang di sini. Di sepanjang jalan, saya melihat banyak orang berkumpul di luar ruangan, di depan rumah, di depan warung yang adalah warung, serta di sebelah warung yang juga ada warung. Di sini, juga kita menemukan harga makanan yang cukup murah dibanding tempat lain. Harga minuman yang masih cuma seribu rupiah dan pedagang yang lalu lalang di sela-sela anak-anak bermain.
Di perjalanan itu, Pak Manock juga menceritakan bahwa dia baru saja membuat kelompok teater bersama ibu-ibu PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga). Mendengar itu, seketika saya teringat kelompok musik ibu-ibu di Majalengka, Mother Bank, yang baru saja merilis album karyanya. Sepintas, saya melihat Mother Bank membahas persoalan di keseharian mereka sekaligus mengajak kita untuk mengkritisi diri sendiri. Saya melihat semangat yang sama dengan ide ini pada kelompok teater PKK yang melibatkan ibu-ibu, membahas keseharian dan persoalannya, lalu mempublikkannya. Banyak hal tentang Galur yang sudah ditransformasikan menjadi sebuah karya teater dan film yang diperankan dan diceritakan langsung oleh warga Galur serta mendapat apresiasi yang sangat baik. Bahkan salah satu kelompok teater di sini sudah tidak boleh ikut lomba teater se-DKI karena selalu jadi juara 1 beberapa tahun belakangan. Hal ini menjadikan teater di sini terus berkembang sesuai porsinya.
Pada minggu pertama, kita berkesempatan berdialog dengan warga di Galur melalui lokakarya media dan seni bersama ibu-ibu dan anak mudanya. Kita mengajak semua yang hadir untuk membicarakan Galur dari berbagai peristiwa keseharian dan hal yang menjadi budaya di sini. Pada lokakarya tersebut, kami juga mengenalkan bagaimana media yang sangat dekat dengan keseharian ini, bisa diberdayakan untuk setidaknya menarasikan dan mengarsipkan cerita-cerita serta aktivitas di sini.
Saya selalu teringat pada kejadian di kampung saya waktu pandemi. Hal ini sering saya ceritakan pada teman-teman. Bahwa di awal masa pandemi, kita gagap dengan model interaksi yang sebetulnya melawan kodrat manusia. Belum selesai tentang bagaimana penyesuaiannya, kita dikagetkan dengan hal lain selain pandemi. Adalah beberapa petani yang tidak bisa turun dari ladang mereka karena dihadang beberapa ekor harimau. Kejadian ini menghebohkan kampung. Namun, alih-alih membatasi interaksi, semua warga justru keluar berbondong-bondong menunggu petani tersebut turun dengan selamat. Beberapa hari setelah kejadian tersebut, saya mencari nama kampung saya di internet. Selain berita tentang harimau berada di daftar pencarian paling atas, cover nama kampung saya juga digantikan dengan foto seekor harimau.
Menyikapi hal yang sama sebetulnya, kita berupaya menarasikan Galur dari warganya sendiri dengan mengenal kembali lingkungan yang setiap hari dilewati. Kemudian, kita membaca interaksi warga lalu membuat wadah berbagi bersama bernama Tutur Galur. Di wadah ini, semua warga Galur bisa melihat dan berbagi cerita. Seperti yang kita semua harapkan, wadah ini bisa menjadi bank cerita dan gambar-gambar Galur yang lebih variatif. Untuk wajah-wajah Galur di media, setidaknya kita bisa pesan sendiri melalui aktivitas ini agar hidangan yang tersedia tidak melulu soal kehebohan di jalanan.
Dari obrolan panjang dengan teman-teman di sini tentang bagaimana teater hadir sebagai ruang ekspresi bagi anak mudanya, Galur ingin disebut sebagai kampung teater. Mungkin hampir semua orang yang saya temui menyatakan hal yang sama. Begitu juga saat mendengar cerita dari Cang Cudin, seorang senior di teater yang ceritanya mungkin akan terdengar seperti cerita preman pensiun dan lain sebagainya. Sedari muda, beliau disegani di Galur dan ia memanfaatkan kekuatan ini untuk merangkul anak muda Galur agar terlibat dalam teater. Ya, Cang Cudin punya caranya sendiri dengan latar belakangnya. Ia bermaksud mengalihkan kegiatan-kegiatan sebelumnya ke hal yang lebih baik.
Mungkin hampir semua warga di sini pernah berteater, setidaknya sewaktu masih muda atau sedari muda sampai saat ini. Kegiatan ini turun temurun, dari orang tua, ke anak dan seterusnya. Beberapa minggu di sini, saya melihat banyak hal yang sangat dekat dengan teater. Saya melihat anak-anak bermain di gang dengan melakoni sebuah peran, berdialog dengan temannya, dan menirukan kembali apa yang pernah mereka lihat di keseharian.
Perjalanan teater yang dilakoni Pak Manock dan Cang Cudin dari masa ke masa menjadikan Galur seperti yang kita lihat hari ini; disibukkan dengan aktivitas berteater yang berlangsung hampir setiap hari. Galur bahkan memiliki gedung yang cukup luas di dalam kawasan padat penduduk dan hal ini adalah sebuah hadiah yang besar. Saya juga melihat banyak piala berjejer di sudut ruangan, dokumentasi kegiatan, properti teater, alat musik, alat olahraga dan kipas angin yang selalu aktif. Pak Manock menceritakan gedung ini adalah tanda kepercayaan masyarakat pada kegiatan teater yang terus berkembang dan menjadi ruang berekspresi bagi warganya. Gedung ini sangat sibuk dengan aktivitas, mulai dari berteater siang dan malam, mengaji di sore hari, tempat pertemuan, tempat untuk ibu-ibu, anak-anak dan anak muda berkumpul, serta lain sebagainya.
Ruang Tak Terbatas
Mungkin semua daerah padat penduduk memiliki persoalan yang sama tentang bagaimana berinteraksi, menyiasati ruang, sistem kebertahanan, dan lain sebagainya. Namun di sisi lain, setiap daerah memiliki caranya masing-masing dalam berbagai hal pula. Keterbatasan ruang bisa jadi hambatan tapi di saat yang bersamaan dia adalah ruang yang tak terbatas. Menghancurkan batas-batas dengan segala kemungkinan yang sesuai konteksnya.
Saat jalanan gang menjadi ruang publik, di saat itu juga semua bisa mengaktivasinya; bermain bola di jalan gang, membuat gawang portable, garis lapangan sesuai ukuran jalan, dan tidak masalah jika kendaran lewat ketika sedang menggiring bola ke dalam gawang. Fokus dengan aktivitas masing-masing adalah kata kuncinya. Temuan menarik lainnya adalah ketika berkeliling di Galur, gang-gang ini memiliki banyak metode pemanfaatan ruang, misalnya pemanfaatan ruang di atas jalur gang sebagai gudang penyimpanan.
Pada saat perayaan kemerdekaan Indonesia, setiap gang membuat perayaan masing-masing dan menjadikan jalanan di gang sebagai arena perayaan. Bahkan terlihat seperti gelaran festival yang menjadikan gang sebagai pojok-pojok perayaan. Kita tidak akan melihat perayaan yang sama di titik yang berbeda. Sangat mungkin bahwa semuanya melangsungkan perayaan dengan berbagai kegiatan dan menikmatinya secara keseluruhan. Di kampung saya, untuk mendirikan pohon pinang kita akan menggali tanah yang akan dipakai untuk menancapkan pinang lalu setelahnya kita tutup kembali lubang-lubang itu dengan tanah. Di sini, untuk mendirikan pohon pinang, warga perlu menggali aspal terlebih dahulu lalu menancapkan pinang dan mengikatnya ke tiang-tiang pagar. Kemudian aspal ini akan ditutup kembali setelah perayaan selesai dan memang begitu setiap tahunnya.
Temuan-temuan di atas dan aktivitasnya mungkin sama halnya seperti ketika petani menemukan cara mengusir hama, nelayan merumuskan rasi bintang sebagai penunjuk arah, dan sejenisnya. Ruang-ruang kosong (di jalanan gang) dimanfaatkan untuk menginstal TV, perosotan, dapur, ruang bermain, tempat nongkrong, sangkar burung dan lain-lain. Hal-hal tersebut sepertinya perlu diarsipkan sebagai pengetahuan kelokalan. Menemukan cara sendiri dalam menyikapi ruang baru sepertinya adalah adaptasi. Tapi bagaimana jika ruang yang ditempati adalah tempat kita lahir dan tumbuh besar? Dia adalah rumah yang akan kita huni dan tempat kembali setelah jauhnya bepergian. Menyikapinya, kita hanya perlu meniru sekitar atau apa yang telah lewat. Dalam konteks ini, dia adalah ilmu kelokalan.
Di tempat ini, saya tidak melihat Jakarta yang begitu kejar-kejaran. Semua berlangsung seperti di kampung, misal melihat orang-orang nongkrong sana-sini dan anak-anak yang bermain di depan rumah. Dengan kata lain, padat mungkin juga diartikan sebagai keakraban. Ruang itu membuat manusia tak bisa menghindari interaksi setiap saat. Ruang yang padat juga membuat warganya terus berkumpul dan dapat melihat aktivitas tetangga dengan mudah. Dengan begitu, informasi-informasi juga secara cepat akan tersebar. Namun, di saat bersamaan, kepadatan ini menjadikannya tumpah-ruah. Anak mudanya punya banyak waktu untuk berada di luar rumah yang artinya ruang-ruang kreativitas bisa menjadi rumah kedua.
Untuk menu yang tak disebutkan, dia adalah aktivitas malam hari di jalanan yang berlangsung dengan cepat, hadir tak kenal waktu seperti angin lewat. Namun suatu malam ketika hendak tidur, barisan anak mudanya sudah berkumpul di jalan, menunggu waktu bermain akan dimulai. Sayang, beberapa orang polisi menggugurkan rencana mereka, menghampiri, lalu menyuruh pulang. Beberapa perlengkapan bermain ditemukan di dalam softcase gitar, disembunyikan di sudut-sudut rumah warga. Malam ini permainan batal.
Sekali lagi, dia gagal masuk ke dalam menu.
Penulis: M. Biahlil Badri
Gambar: Serial Sketsa Galur oleh Zekalver Muharam
Mampir ke halaman Berliterasi Alam Budaya: Tutur Galur