Sudah menjadi tradisi bagi Komunitas Gubuak Kopi untuk mewawancarai seniman yang terlibat dalam proyek ataupun kegiatan kita, sebagai bahan belajar. Wawancara ini berupaya untuk mengenal latar belakalang artisitik seniman serta mengumpulkan masukan-masukan untuk Solok, ataupun Komunitas Gubuak Kopi. Wawancara ini dilakukan pada hari-hari terakhir perhelatan Tenggara Festival 2020, di Solok.
Kali ini kami berbincang dengan Verdian Rayner, atau biasa disapa Dian. Lulusan Seni Murni Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang. Saat ini, selain sibuk dengan lapak streetfoodnya, ia juga aktif menggambar, membuat mural, custom paint, pin striping, dan produksi visual kreatif lainnya. Selain itu, ia juga aktif menjadi vokal di beberapa grup musik underground, salah satunya adalah Blindside.
Dalam Tenggara Street Art Festival 2020, Dian hadir untuk berkolaborasi dengan Dhigel, Magenta, Bayu, dan warga binaan Lapas Klas II B, Kota Solok. Di lapas mereka memilih salah satu dinding lapas yang cukup luas, dan menggabungkan karakter mereka dalam satu kesatuan setinggi 6 meter dan lebar 32 meter. Selain di Lapas Klas II B Kota Solok, seniman asal Solok ini juga terlibat dalam berbagai sesi kegiatan Tenggara Festival. Antara lain, ia terlibat di “Estafet Menuju Tenggara”, Workshop Stencil Remaja Bermedia, Juri untuk penghagaan Tenggara Festival.
Rumah Tamera, 30 November 2020
—
“Makanya kadang visual-visual itu yang membantu saya. Ya, ketika tidak semangat saya bisa bikin api semangat sendiri, gitu”
—
TF : Halo Verdian Rainer, dalam Tenggara Street Art Festival, Dian merangkap 3 atau 4 jabatan, hahaha. Kita akan berbincang sedikit tentang pengalaman berkesenian, berkarya di visual dan pengalaman Bang Dian bermusik. Perkenalan dulu mungkin, menyebut diri sebagai seniman apa dan sekarang kesibukannya apa?
Dian : Halo, nama saya Verdian Rainer, teman-teman biasanya manggil Dian. Apa ya, masih di mural, custom paint , dan commision work juga. Mungkin lebih ke tukang gambar kali ya, hahaha.
TF : Ban Dian kan juga bermain musik ya, bisa diceritakan pengalamannya di musik?
Dian : Ya, sekarang sih sudah agak jarang karena teman-teman yang lain tidak ada di sini. Awalnya ini dari hobi mendengarkan musik, dari kecil itu di rumah. Sebelum berangkat ke sekolah sering mendengarkan musik yang diputar oleh orang tua saya. Random aja gitu, dari Farid Harja, Scorpion, kadang juga ABBA. Waktu SMP belajar gitar, diajak teman main, sebenarnya saya demam panggung, sampai sekarang sih sebenarnya. Tapi, waktu di panggung challenge-nya bagaimana mengatasi demam panggung itu. Dan Sampai kuliah masih main band di Blindside.
TF : Di visual, Bang Dian kan bermain di berbagai macam media juga, ya? di tangki motor, di gitar, dan tidak hanya di dinding. Dan bentuk karakter yang “api-api” itu apakah ada pengaruh dari musik kah?
Dian : Ya, mungkin teman-teman tau juga, waktu dulu media sosial belum seperti sekarang, akses ke luar kota juga tidak selancar sekarang. Dulu saya banyak penasaran tentang gambar, dulu hobinya contoh-contoh gambar yang ada di komik. Tapi, pengen tahu lebih dan tidak tahu tanya ke mana, makanya sering penasaran tiap kali melihat hal yang baru. Dan ketika melihat graffiti, custom paint, dan pakai spray (cat semprot), wah, ini apa? gitu. Jadi yang mempengaruhi itu penasaran itu sendiri akan seni rupa.
Ya, apapun, dulu lihat orang bikin karikatur juga pengen. Kan dulu tidak ada panduan, dan tidak ada kenal sama seniman juga dulu. Ketika masuk kuliah di ISI Padangpanjang saya langsung eksplor, waktu itu ambil minatnya grafis. Padahal saya nggak hobi grafis, cuman karena penasaran. Soalnya yang lain bisa dipelajari juga kan ke yang lain, ke teman-teman. Kita melukis, mematung, saya juga ikutan jadi saya penasaran dengan berbagai media gitu. Kalau karakter gambar dipengaruhi dengan musik dan motor. Seperti yang saya bilang tadi demam panggung. Makanya kadang visual-visual itu yang membantu saya. Ya, ketika tidak semangat saya bisa bikin api semangat sendiri, gitu.
Nah waktu kuliah saya sering diketawain teman-teman, karena katanya gambarnya angker-angker, tapi justru saya takut hantu, hahaha. Menggambar ini membantu saya, ketika takut hantu, saya bisa berteman dengan visual yang saya bikin sendiri. Visual yang motor-motoran juga, bapak saya kerja di bengkel, dan dari dulu sudah tertarik ke dunia motor, tapi tidak di mesinnya lebih ke custom-nya.
TF : Mengenai obrolan tadi, ya Bang Dian memakai media macam-macam untuk berkarya seperti motor, baju, gitar dan lainnya. Jadi pertanyaan baru, kenapa Bang Dian memilih media itu untuk berkarya. Apakah latar belakang tadi, atau memang spesifik memilih itu untuk media berkarya.?
Dian : Mungkin balik ke yang tadi, waktu saya banyak tertarik kepada sesuatu hal, dan memiliki banyak keterbatasan juga. Dulu suka lihat di MTV, skateboard, dan band yang Punk gitu. Untuk keluar kota juga nggak mudah. Dan dari dulu juga suka custom, baju kosong/polos saya coret pakai spidol, nah lihat anak skate di tv bajunya keren-keren, kayak Volcom, ya, saya bikin sendiri di baju, hahaha. Tapi itu yang mempengaruhi, mungkin konyol kelihatannya, tapi saya sudah terbiasa kalau nggak dapatin sesuatu, bikin sesuatu itu sendiri. Sederhana saja, misalnya ada yang rusak di rumah, seharusnya bisa diganti, bisa dilas di bengkel kan? jadi meng-custom itu sudah dipraktekan dari dulu.
TF : Sekarang kan pandemi ya, nah dari kesibukan biasanya berpengaruh nggak?
Dian : Berpengaruh sih, beberapa proyek batal dan ada juga sih yang masih jalan. Secara ekonomi juga berpengaruh.
—
“…tapi saya sudah terbiasa kalau nggak dapatin sesuatu, bikin sesuatu itu sendiri”
—
TF : Kan Bang Dian masih aktif berkarya di pandemi ini, bagaimana tuh menyiasatinya?
Dian : Kalau berkarya kan mediumnya banyak, terbiasa meng-custom tadi kan di mana saja bisa berkarya. Ya, kalau di ekonomi kita harus cari strategi. Malah masa pandemi juga main ke Rumah Tamera, kita kan bikin showcase online, jadi nemu ide baru kan. Ya, tidak menjadikan keterbatasan itu menjadi terbatas.
TF : Dari, karakter visualnya, apakah ada seniman influencenya atau bagaimana?
Dian : Bisa dibilang banyak ya. Saya gampang ter-influence sama orang. soalnya tiap bertemu orang baru seniman baru mereka kan punya karakter yang berbeda-beda. Setiap orang bisa jadi influence saya.
TF : Kita ke Tenggara Festival dulu, kenapa mau ikut festival ini?
Dian : Kenapa nggak? Hahaha. Ya dari awal, sebelum Tenggara ini, tahun kemarin kan mural kompetisi, itu saja sudah excited banget. Dan sekarang ditransformasi menjadi Tenggara Street Art Festival, saya jadi senang banget. Dulu jadi peserta saja dulu sudah senang, kan bisa dibilang, itu yang pertama juga di Solok. dan sekarang diajakin jadi juri segala macam, ya, kenapa nggak.
TF : Di Tenggara ini kan Bang Dian dapat tempat mural yang unik juga. Di lokasi yang susah untuk diakses seniman lain. Di Lapas dan di Kodim. Nah, buat memutuskan visualnya bagaimana dan pengalamannya?
Dian : Di Lapas sama Kodim, wah, Tenggara ini membuat saya masuk penjara, hahaha. Jadi memang menarik di penjara itu. Saya kolaborasi sama Dhigel, Genta dan Bayu, orang-orang keren. Adaptasi sama mereka juga nggak lama gitu, mereka asik. Jadi memutuskan visual itu juga nggak lama, kita bikin satu-satu terus ngalir aja.
TF : Ngalir aja ya, gak ada diskusi khusus ya?
Dian : Ya, diskusi gitu aja. Buat karakter masing-masing cocok aja. Awalnya saya mau spotnya sendiri, terus jadinya saya masukin di karakter yang lain. Saling merespon lah.
TF : Pengalamannya di sana bagaimana, apakah disiksa atau sebaliknya, hahaha?
Dian : Hahaha, sebaliknya sih. Sebenarnya, saya sudah pernah juga main kesana soalnya saya punya teman disana, hahaha. Sipirnya teman saya, karena itu juga sih, makanya berani main ke sana. Tapi, menarik sih kayak yang pertama, waktu sampai, di dalam ternyata dindingnya tinggi dan panjang, kedua respon masyarakat di sana, pada lihatin. Dan ketika ketemu beberapa yang di sana, mereka tertarik, dan nggak ganggu atau apa, malah senang. Kepala Lapasnya, juga sipirnya, kita diservis di sana, aksesnya serasa VVIP gitu. Yang terkendala sih, sama seperti yang lain, hujan. Kalau kondisi di sana seru dan terkontrol. Nah, kita kan masang scaffolding dua tingkat, loncat dikit bisa sampai di luar gitu. Jadi habis gambar scaffolding harus dibawa lagi ke tengah, agak ekstra sih, hahaha. Ribet, tapi seru.
TF : Kabarnya dapat oleh-oleh juga di sana.?
Dian : Kalau oleh-oleh sudah dari awal ke sana sudah dapat. Waktu masih persiapan awal meninjau ke sana saya malah dapat merpati dibawa pulang. Hampir bawa ikan cupang juga. Keluar dari lapas rasanya balik pulang kampung. Orang tua saya saja sampai kaget, “kamu dari lapas kok bawa ini” hahaha. Di luar yang kita bayangkan.
TF : Kalau di kodim bagaimana?
Dian : Ya, saya bantuin Da Boy, ternyata dia sendiri di Kodim. Saya yakin dia sangat kewalahan. Awalnya memang tertarik dengan dengan dua lokasi ini. Oke, di kodim saya coba gambar di lantai bagaimana rasanya. Di kodim serunya lain, apa lagi abis hujan, kita ngepel lapangan basket. Ada yang pernah ngepel lapangan basket? Tapi seru.
Tf : Kolaborasi sama RAS juga ya?
Dian : Ya, awalnya mereka ada kesibukan di Padang, dan setelah semua itu selesai mereka bisa datang ke sini, ya seru di kodim, respon dari adik-adik yang latihan di sana.
TF : Bang Dian juga pemateri workshop, bagaimana pengalamannya?
Dian : Seru workshop sama anak-anak, mereka ramai, sama dibantu sama Layo (Sayhallo) juga. Ya saya jarang juga ngasih workshop, ya, yang belajar sebenarnya sayanya.
TF : Tapi dari pengalaman ngasih workshop ke anak-anak tadi, Bang Dian bilang itu pengalaman baru juga. Di Tenggara ini kan jadi juri juga untuk awarding peserta Jamming Session, ini bagaimana?
Dian : Karyanya bagus-bagus, banyak macam karakter. Dilihat dari yang tahun kemarin, ini lebih ramai dan lebih serius.
TF : Ya, dulu kan pakai tema dan sekarang kan nggak. Kita membebaskan seniman untuk berkarya.
Dian : Ya sekarang awarding bukan juara, kan tidak terlihat kompetitif, teman-teman juga lebih enjoy.
TF : Kalau kedepannya, Bang Dian ada rencana apa ?
Dian : Kalau saya ada rencana besar kedepannya, pertama mau potong rambut, haha. Ya, tentunya masih terus menggambar, terus berkarya. Mungkin mulai lagi jualan street food saya.
TF : Bang Dian kan asli Solok nih. Akamsi (anak kampung sini) dan sudah lama di skena seni rupa, street art, dan musik juga. Mungkin lebih spesifik ke seni rupa dan street art di Sumbar ini bagaimana?
Dian : Ya, kalau di Sumatera Barat, cukup aktif sih, saya lihat semakin bersemangat di Tenggara ini. Kalau pelakunya banyak dan keren-keren gitu. Dan mudah-mudahan kedepan lebih nge-boom lagi dan mungkin nggak satu titik. Sekarang, lebih jadi bisa melihatnya lebih jauhnya ya di festival ini, ya, mereka dari mana datang, ngumpul dan saling support nggak ada persaingan. Ya, mudah-mudahan ini terjaga terus. Skenanya OK. Ya, mungkin belum terlalu terpetakan. Ya mudah-mudahan habis ini semuanya lebih bersemangat terutama di Solok. Saya punya teman yang suka gambar tapi tidak tahu mau ke mana, ada yang memang basic-nya bukan di seni rupa tapi dia suka gambar. Dan mudah-mudahan mereka tidak ragu untuk muncul.
TF : Ok terima kasih Bang Dian, sampai bertemu di Tenggara 2022.
Dian : Terima kasih, Volta dan Zekal.
–
Transkrip: Biahlil Badri
—
Mampir ke halaman portofolio Verdian di Tenggara Festival