Magenta dan Bayu: Maju Dimulai dengan Berkumpul

Sudah menjadi tradisi bagi Komunitas Gubuak Kopi untuk mewawancarai seniman yang terlibat dalam proyek ataupun kegiatan kita, sebagai bahan belajar. Wawancara ini berupaya untuk mengenal latar belakalang artisitik seniman serta mengumpulkan masukan-masukan untuk Solok, ataupun Komunitas Gubuak Kopi. Wawancara ini dilakukan pada hari-hari terakhir perhelatan Tenggara Festival 2020, di Solok.

November 2020 lalu, Tenggara Festival berbincang dengan Bayu dan Genta Rekayasa. Genta Rekayasa atau yang juga biasa disapa Magenta adalah seorang seniman visual asal Medan, Sumatera Utara. Ia aktif memproduksi karya-karya mural, ilutrasi, dan visual kreatif lainnya. Saat ini Magenta juga aktif terlibat di kelompok Maros Art & Design. Sebuah kelompok untuk produksi visual kreatif di Kota Medan. Bayu Sludge adalah seniman asal Medan dan kini berdomisili di Berastagi. Ia aktif membuat karya-karya mural di Sumatera Utara. Saat ini juga mengelola sebuah kedai kopi di Berastagi. Ia juga aktif dalam skena musik underground Medan.

Bayu dan Magenta turut hadir di Tenggara Street Festival 2020, dan menjadi bagian “parsitipasi spesial” dalam program “Artist in Residensi”. Bayu awalnya hadir sebagai partner kolaborasi Genta Rekayasa, dan kemudian juga meninggalkan beberapa karya di Tenggara Street Art Festival 2020. Karya-karyanya terdiri dari kolaborasi residensi bersama Adhi Dhigel, Verdian Rayner, Genta Rekayasa, dan warga binaan di Lapas Klas II B Kota Solok. Karyanya juga terdapat di Taman Bidadari, Kota Solok, yang juga berkolaborasi dengan Blesmokie; dan di panggung utama malam penutupan festival di Taman Pramuka, Kota Solok.

Rumah Tamera, 27 November 2020

“Terus apa yang mau kita sampaikan ke khalayak banyak atau orang yang melintas di sudut kota tersebut. Sebenarnya lebih mengajak orang lain merasakan emosi yang kita rasakan” – Genta

TF : Oke, Bang Genta sama Bang Bayu boleh perkenalkan diri dulu.

Genta : Oke. Nama saya Genta, kalau di jalan biasanya aku bikin watermarknya itu Magenta. Aku mulai jadi street artist sejak 2006, sebelumnya bikin ilustrasi di kertas gitu. 

Bayu : Halo, hai, nama saya Bayu, tapi kalau di Jalan namanya ‘Sludge Art 13’, mulai gambar itu tahun 2003, awalnya cuman gambar-gambar, terus grafitian, terus baru ke mural.

TF : Kenapa memilih menjadi seorang street art?

Genta : Kenapa aku memilih menjadi street artist, ya karena menantang aja, atau lebih ke memperindah sudut-sudut kota yang mungkin lebih butuh sentuhan. Hahaha. Tapi, kenapa memilih street artist, jadi jati dirinya itu lebih hidden, nggak yang kayak blak-blakan gitu.

Bayu : Lebih ekspresif sih, itu satu, kalau kita cuman berkarya di satu tempat yang mungkin medianya di kertas atau apa, kurang greget gitu. Tapi kalau karyanya di street gitu dan karyanya bisa dinikmati banyak orang, dan orang lain itu senang. Nah itu poin plus, dan kita juga jadi senang, ya, intinya kayak gitu sih. Karyanya universal, bisa dinikmati siapa saja.

TF : Kalau membahas sebuah karya, ya, kalau melihat karyanya yang di lapas itu kan realis ya.  Bang Genta sama Bang Bayu itu emang suka realis atau bagaimana?

Genta : Awalnya aku tu nggak gambar realis, awalnya aku gambar kayak tengkorak, sablon-sablonan. Di awal tahun 2006 aku mulai serius ke realis. Mungkin karena aku melihat terlalu banyak street artis yang genrenya/alirannya sama, jadi aku mencari genre yang berbeda gitu, biar lebih dikenal aja karakternya.

TF : Kalau Bang Bayu gimana?

Bayu : Kalau aku sebenarnya  nggak realis, tapi basic-nya aku suka yang “dark art” sih sebenarnya. Dan kenapa aku mengambil namanya Sludge, karena itu dari satu aliran musik namanya sludge metal, stoner, dan gambar-gambarku pengaruhnya banyak ke situ, tengkorak. Nah, kita ketemu jadi kita saling melengkapi nih, jadi satu karya itu dia ada realis, tapi aku lebih bermain warna lah sekarang. Tapi karakterku itu biasanya ada tengkorak dia realis, jadi kita mix and max lah.

TF : Jadi dua karakter yang berbeda jadi saling melengkapi ya, ngalir aja gitu. Nah, akhir-akhir ini lebih sering bermain di medium yang berbeda dari sebelumnya, karena dulu mediumnya di kertas. Kenapa memilih medium di tembok, dengan medium, dan teksturnya yang berbeda. Seberapa jauh menariknya sih tembok ini?

Genta : Sebenarnya bukan temboknya yang menarik, hahaha. Jadi, awalnya aku melihat sudut kota gitu kan, ternyata kalau aku menempelkan kertasnya di situ, kertasnya bakal rusak. Jadi mau nggak mau harus temboknya yang digambar. Tantangannya sebenarnya bukan teksturnya sih, kalau tekstur kan mungkin lebih kepada komposisi cat. Sebenarnya sih ukurannya yang menantang. Terus apa yang mau kita sampaikan ke khalayak banyak atau orang yang melintas di sudut kota tersebut. Sebenarnya lebih mengajak orang lain merasakan emosi yang kita rasakan.

TF : Kalau Bang Bayu, menariknya?

Bayu : Lebih menantang ya, bukan berarti di kertas itu nggak keren ya. Cuma kalau di dinding itu kan feel-nya itu lebih enak lah.  Kan kalau yang di kertas itu, kayak kata Genta tadi terpaku di situ aja, cepat. Tapi kan kalau di dinding kan kita harus mikir, ini bakal dinikmati banyak orang kita kampanye harus apa, pesannya, medianya sebesar apa nih, tapi lebih ke masalah prosesnya gambarnya, apa yang mau kita sampaikan. 

TF : Jadinya lebih merasa hal baru di dinding itu ya. Nah kalau dinding dia lebih dekat dengan warga dan ruang lingkupnya publik. Proses mendapatkan dinding atau medianya itu gimana, apakah dengan cara street art yang biasa, atau izin atau pun ada proyek tertentu?

Genta : Jadi pertama kali aku  gambar di tembok itu bukan di temboknya langsung. Jadi sebelum terjun ke jalan aku beli satu lembar triplek, yang ukurannya 1 x 2m ya buat latihan. Jadi bukan langsung “vandal” ke jalan. Nggak berani. Kan tantangannya banyak tuh. Ya, tantangannya masyarakat, Polisi, preman, gitu kan. Jadi, dari 2006 aku dua tahun belajar di triplek baru aku turun di jalan. Karena kalau gambar aku jelek nanti aku dibuli, hahaha…

TF : Jadi triplek gunanya latihan sebelum eksekusi?

Genta : Iya. Sebelum eksekusi di jalan aku gambarnya di triplek dulu. Nah, jadi pertama kali aku gambar itu ya, ukuranya ya bisanya 1×2 atau 2×2, belum bisa yang gedung tiga lantai. 

TF : Nah, menarik nih, kalau Bang Bayu gimana prosesnya.?

Bayu : Kalau dulu, awalnya, start-nya vandal ya. Tapi, lebih kesini kita izin lah. Ya lebih resmi, hahaha. Jadi kayak tahun 2014 kita bikin dokumenternya ada. 

Tf : Ooo… berdua bang?

Genta : Nggak, jadi sebelum kami ketemu nih berdua, dia bergerilya di Tanah Karo, aku di Kota  Medan. Ketemunya di Medan, dikenalin sama teman, katanya dia juga gambar, langsung tuh aku tantang bikin backgroundnya gambar aku. Jadi dokumentasinya udah beda-beda sendiri nih

TF : Itu, kira-kira tahun berapa, ketemunya?

Genta : Baru tiga bulan terakhir deh kayaknya.

Bayu : Iya, baru.

Tf : Clop ya, lanjut aja gitu, hahaha. Mantap tiga bulan kenal langsung kolaborasi.

Bayu : Awalnya, berapa kali kita ketemu, saling ngajak kalau lagi punya proyek. Habis itu, berangkat deh ke Solok, haha.

TF : Kalau pemilihan karya nih bang, jadi sebelum gambar itu, biasanya riset dulu kah atau gimana?

Genta : Biasanya sebelum aku bikin karya itu aku lihat dulu lokasi yang mau aku gambar. Terus apa yang mau aku sampaikan di situ. Karena genre aku realis, aku nggak bisa sampaikan pesan itu lewat warna, jadi aku sampaikan lewat ekspresi, gitu. Isunya juga aku tangkap, jadi apa yang mau aku buat disatuin jadi satu ide. Makanya beberapa kali aku harus berkolaborasi sama orang untuk buat backgroundnya. Karena karakter aku itu tunggal gitu.

Bayu : Kalau aku langsung ekspresif, langsung di tempat. Pas lihat, oooh.. aku mau gambar ini. Lebih spontan sih. 

TF : Kan Bang Genta sama Bang Bayu baru ketemu tiga bulan terakhir nih, sebelumnya apakah pernah di kolektif nggak?

Genta : Dari awal aku memang solo dulu di jalan, jadi udah gambar satu tembok gede yang lumayan berpengaruh lah di Medan, setelah itu aku baru kolab, sama komunitas lain di Medan. Jadi aku nggak berani berkolektif juga sebelum gambar aku bagus, hahaha…

Bayu : Kalau aku kolektif, jadi kita ada dulu beberapa orang yang buat kolektif, ya kayak Gubuak Kopi dan Rumah Tamera. Kita rekrut juga generasi yang punya minat yang sama, nggak berbatas di visual saja, ada musik, sinema juga lintas disiplin juga.

TF : Nah, ini kan pandemi ya, gimana proses berkaryanya terganggu atau bagaimana?

Genta : Di era pandemi ini si semua orang ngerasain pandemi ya, pengangguran aja ngeluh, apalagi seniman, ya? Jadi sebenarnya, seniman kan harus tetap bikin karya walaupun pandemi. Ya, caranya gini, yang biasanya aku street art, mural, sekarang desain, menulis ya ngulik. Tapi awal-awal pandemi ini kita tungguin nih, seminggu dua minggu tiga minggu eh, malah lama. Terus akhirnya, mulai kepikiran kita harus coba yang baru. 

Tf : Nah, project nya bagaimana, banyak yang batal atau bagaimana?

Genta : Banyak yang batal.

Bayu : Otomatis, agenda-agenda hancur semua. 

TF : Tapi, sekarang kan mulai beraktivitas lagi kan?

Bayu : Masa bodo lah hancur pada nggak makan. Ya, masyarakat sudah bosan.

TF : Tapi, kalau masalah influence-nya bagaimana, apakah itu seniman atau apa gitu?

Genta : Kalau aku si sebenarnya di-influence street art yang realis mungkin, sama yang graffiti mungkin. Misalnya kalau di Indonesia yang realisnya itu ke grafiti genrenya. Jadi kalau yang muralnya aku ke luar. 

Bayu : Ya, ada yang mempengaruhi, kayak si Rotten namanya. Jadi, dia memang Dark Art, jadi pas ngeliat keren banget nih. Tapi, awalnya dia, setelah itu baru banyak pengaruh band-band Sludge Metal di cover-covernya yang lain. Ya, kayak Perfect Monster, yang vokalisnya John Dyer Baizley – Baroness.

Tf : Ya, dengan berbeda-beda pengaruh ya.  Bang Genta dengan realis dan ilustrasi, Bang Bayu dengan pengaruh musiknya. Nah, itu si yang menjadi menarik ya. Selama berkarya individu atau kolektif, apakah ada karya yang paling berkesan?

Genta : Yang paling berkesan, sebenarnya sih di sini. Jadi gini, awalnya ada mural yang paling aku cintai itu, pertama yang ada di Medan tepatnya di Pajak Ikan Lama, nggak jauh dari Lapangan Merdeka. Yang kedua di Stadion Teladan, stadionnya PSMS Medan. Setelah itu ini lebih gila.

Bayu : Masuk Lapas kita, yaaa tamu VIP.

Genta : Yaaa, ke Solok disambut sama Volta, dia bilang Bang Genta dapat spotnya di lapas. Awalnya khawatir juga ya, ini di lapas gimana yaaa.

Bayu : Ini apakah di kamar ya, gabung sama napi.

Genta : Mikirnya di tembok beton. Eh ternyata temboknya bagus.

Bayu : Dan napinya juga ramah-ramah, ya. Perkiraan juga, aduh mampus ini, mau masuk diam, malu gitu.

Genta : Ya, yang paling berkesan itu ya, di Solok di Lapas Solok. Jadi kalau orang mau lihat karyaku itu harus bikin kasus dulu, baru bisa lihat, hahaha. Jadi orang lain itu nggak bisa lihat 

TF :  Nah, kalau ditanya nih, kenapa sih Bang Genta sama Bang Bayu mau ikut dan residensi di Tenggar Street Art Festival ini?

Genta : Awalnya sebelum aku kenal sama Albert, jadi aku punya teman namnaya Ebi dia itu seorang sinematographer.  Jadi teman baru aku ini, yang namanya Ebi ini yang  bisa bawa aku ke Solok. Dia kan temanan sama Albert, nah Ebi ini rekomendasikan aku. Karena memang aku bukan yang harus material melulu, tapi kalau aku sudah melihat tembok itu bagus, sampai selesai aku kerjain. Terus Albert cerita, ini kita mau residensi di Tenggara Street Art Festival, ya, itu yang membuat aku sangat tertarik. Awalnya dengar Solok itu, ya, dimana Solok, eh ternyata di Sumatera Barat. Awalnya tahu Padang doang. Ya, sebelumnya juga ada yang pertama kan, dan dia cerita residensinya ini bakal keliling di Solok, di pasar, dan dimana gitu. 

TF : Bang Bayu gimana?

Bayu : Yaa, habis dia dapat informasi dari Albert, dia langsung hubungi aku, 

TF : Itu udah fix ya?

Bayu : Pokoknya dia cerita itu, entah udah apa belum

Genta : Udah fix itu. Cuman ketika udah aku terima gitu, kerjaan malah datang. Ya udah, kerjaannya aku tolak.

Bayu : Iya, ada satu projek yang kita tolak. Dia nanya, ini di Solok gimana Bang? berangkat apa nggak? Yaa berangkatlah, dan kita harus tau mereka ini siapa, kenapa mereka bisa bikin acara seperti ini, keren. Berani kali orang ini, hahaha…

Genta : Jadi Bang Albert itu ngabarin aku jauh sebelum keberangkatan, dua minggu atau tiga minggu. Jadi tanggal 15 atau 16 itu kan memang harus berangkat ke Solok ternyata tanggal 14 itu Jobnya deal. Jadi, sebelumnya aku sudah desain, udah aku kirim penawaran. Tapi aku udah keburu semangat yang residensi, mau ketemu sama yang lain juga.

“…Ya, karena kalau mau besar mau maju ya, kita berkumpul juga. Gak berbatas” – Bayu

TF : Tapi, itu menarik si lebih memilih residensi. Tadi kan Bang Bayu sama Bang Genta sudah cerita soal mural di lapas, kan kolaborasi di sana sama Verdian, dan Dhigel juga ya? dan gambarnya Bang Genta itu kan seperti anak kecil, nah kenapa memilih gambarnya itu, melihat sisi dari lapas itu juga atau gimana?

Genta : Jadi, di awal aku ketemu sama Bang Verdian, Dhigel, dan Bayu. Jadi malam kita ngulik dulu gambarnya, sudah cek lokasi, lihat temboknya, suasananya, orang-orangnya, dan dimana kita mau gambar. Terus aku tanya dulu, Bang Dhigel mau gambar apa, ternyata Bang Dhigel sudah punya karakter, Bang Verdian juga, Bang Bayu juga punya karakter. Nah tinggal aku nih, jadi kan karena genreku realis gitu kan, aku harus menyampaikan pesannya lewat ekspresi. Sebenarnya aku nggak bilang soal yang mau aku sampaikan di gambar aku, langsung aja gambar. Aku gambar dua sosok anak kecil, yang satu pegang karung dan yang satunya memegang pistol. Eh ternyata yang megang pistol itu nggak boleh digambar di lapas. Sipilnya bilang nggak boleh gambar senjata, ya. Jadi, misalnya aku gambar senjata orang udah langsung tahu gambar itu maksudnya apa.

Jadi pas lagi gambar-gambar, ada napi yang datang ke Bang Dhigel, napinya nanya maksud gambarnya apa? Nah, napinya mau artikan maksud gambarnya, katanya “lebih baik menjadi pemulung daripada menjadi orang yang memegang senjata di balik orang yang bertopeng”. Nah, aku jadi merinding, pesannya sampai ke dia. Tanpa dikasih tahu orang jadi tahu maksudnya apa, itu ekspresi. Dan memang itu yang ingin aku sampaikan. 

TF : Akhirnya ngalir semuanya, kalau Bang Bayu gimana pengalamannya di lapas, tapi kalau kita lihat seniman residensi di lapas memang nyaman, justru gampang keluar masuk, dapat banyak makanan.

Bayu : Tantangannya cuman satu, scaffoldingnya itu hampir tiap hari kita bongkar. Takutnya warga lapas menggunakan itu buat kabur, ya kan? Jadi yang sipir itu pesan kalau selesai gambar hari ini ya dibongkar, kita yang ngangkat, ya, gak apa-apa, seru. 

Genta : Mereka juga yang bantu ngangkat, keren.

Bayu : Napinya juga kok yang bantuin, mereka antusias lah. Kita keluar-masuk jadi dindingnya lebih berwarna.

TF : Terus, di lapas kan menggambar nggak berempat doang, ada warga binaan juga ikut kan? itu gimana tanggapannya?

Genta : Jadi gini, mungkin mereka nggak bisa mulainya sama dengan kita, hari kesekiannya mereka baru bisa gabung. Sebelumnya juga Bang Verdian bilang, lihat dulu mereka mau gambar apa. Ternyata mereka melihatkan sketnya masing-masing di kertas. Wah, ada Bob Marley, ada yang terinspirasi dengannya. Sebenarnya warga binaan itu karyanya lebih ke tulisan, karena mereka ingin menyampaikan apa yang ingin mereka rasakan selama di dalam. Jadi sempat cerita juga sama mereka, katanya susah juga gambar di tembok gak semudah yang di kertas. Dan aku bilang iyaa. Karena kan aku mulainya dari 2006 sampai sekarang, dan mungkin mereka memegang kuas baru kali ini. Mungkin basic mereka ada yang dari tato, yang gambar di kertas. Nah, ini jadi pengalaman baru bagi mereka. Mereka juga nanya, tapi agak malu-malu mungkin. Aku kasih gambaran kalau misalnya gambar tangan warnanya ini, eh mereka makin semangat. Hujan kami berteduh aja mereka masih lanjut.

Bayu : Selain gambar ada lagi yang lain, UUC (Ujung-Ujungnya Curhat) hahaha. Sambil gambar kan, cerita-cerita niatnya sih, bukan bertanya. Udah berapa lama di dalam? 6 tahun, 7 tahun. Terus aku nggak mau nanya lah kasus mereka apa, eh mereka jadi malah cerita.

TF : Menarik juga sih lebih ada komunikasi, jadi kayak membesuk.

Genta : Tapi yang paling penting, nggak semua orang bisa gambar di lapas.

TF : Jadi, malah kayak workshop, tapi kolaborasi juga iya, rame-rame. Kalau besok juga belum tentu bisa lihat karyanya, kan? Nah, bagaimana sih pengalaman di Tenggara.

Genta : Apa ya… pengalaman baru yang belum tentu orang lain bisa rasain ya. Terus teman-teman yang di Solok juga support banget. Biasanya kan rame-rame, tapi karena pandemic jadi dipisah-pisah lokasinya. Jadi nggak terpaku kalau ini acara gitu.

Bayu : Jadi, pas sampai di Medan bilangnya, ini acara keren banget lah. “Wah” emang. Makan bareng, kebersamaannya lah. 

TF :  Nah, kedepannya ada project apa, atau karyanya gitu? Kan ini juga sudah akhir tahun.

Bayu : Tapi, aku banyak banget dapat pengalaman dari teman-teman semuanya, banyak belajar juga dari sini. Informasi, ilmu segala macam lah.  Dan aku jadi, tetap harus berkarya yang nggak putus lah. Kan berkarya nggak ada batasan. Ya, awalnya sebelum ke Solok juga ada mau kolaborasi sama Genta lagi soal, ada tembok besar juga. Sebelumnya kan udah sering tapi kan yang kecil-kecil.

TF : Nah, kalau Bang Genta gimana?

Genta : Jadi, dari yang tahun lalu, sam yang pandemic ini aku sudah siapin. Aku buat Maros and Art gitu. Yang legalitasnya benar, yang serius lagi di art. Dan nggak cuman di art aja si itu, ada yang lain juga ada fotografi dan EKRAF juga. Mungkin next project ada yang mau di-branding.

TF : Itu, kolektif ya, Maros and Art itu?

Genta : Jadi kalau di Medan gerakan kolektif itu kurang berjalan baik lah. Jadi awalnya aku gambar itu sama dengan yang dibuat Walikota tagline nya Medan “ Yuk Bikin Cantik Medan”. Jadi aku kolektifnya langsung sama teman-teman, sama pemkotnya juga. Jadi kalau siapa aja yang mau ikut, ya, ayuk.

TF : Tadi juga udah nyinggung  soal skena yang di Medan, kita ka sama di Sumatera nih, ada perbedaan nggak Solok dengan Medan skenanya.?

Bayu : Medan, kan termasuk kota besar kan, jadi akses segala macam kita lebih dari Solok. Tapi, Solok walaupun kota kecil tapi kalian jadi ngumpul gitu, bukan aku bilang Medan nggak. Ngumpul, tapi bergerak masing-masing. Ya, aku nggak bilang itu dikotak-kotakkan ya, tapi ya punya misi dan pergerakan masing-masing lah. Ya, kebanyakan pergerakannya gitu lah. Nah, di Solok kan klop lah. Karena kan yang dari Bukitinggi datang, dari Padang juga, volunteernya juga banyak. Ya, karena kalau mau besar, mau maju ya, kita berkumpul juga. Gak berbatas.

Genta : Kalau aku dari awalnya tertantang. Aku mikirnya gini, karena kan kita berada di kota yang berbeda. Karena setiap kota itu beda challenge, sumber daya manusianya juga beda, budayanya juga beda adatnya beda. Jadi kalau kita cerita yang di Medan, kan kota besar. Ya budayanya “siapa lu, siapa gua” aja. Jadi, sebenarnya yang buat aku tertantang dan selama aku berada di Solok, ini yang aku pelajari sebenarnya. Solok mempunyai adat dan budaya yang kuat dan kental. Dan mereka mempertahankan itu si, keren. 


Transkrip: Biahlil Badri

Mampir ke halaman portofolio Bayu dan Genta di Tenggara Festival

Komunitas Gubuak Kopi adalah sebuah kelompok belajar seni dan media yang berbasis di Kota Solok, sejak tahun 2011. Kelompok ini berfokus pada pengembangan seni sebagai metode riset. Serta menjembatani kolaborasi profesional (seniman, peneliti, dan penulis) dan warga dalam mendedah persoalan-persoalan budaya lokal di Solok secara khusus dan Sumatera Barat secara umum.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.