Minang Screening dan Pertanyaan-pertanyaan tentang Eksistensi Komunitas Film di Sumatera Barat
30 Maret akan menjadi hari besar para pencinta film, pembuat film, pemerhati film, dan semua subjek yang terlibat dalam perfilman. “Selamat Hari Film” begitu poster-poster akan tertuliskan. Kenapa hari film ditetapkan pada 30 Maret? 30 Maret menjadi hari pertama produksi film “Darah dan Doa” karya Bapak Perfilman Indonesia, Usmar Ismail tahun 1950. Penetapan ini bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan diri dan motivasi para insan film di Indonesia dan meningkatkan prestasi yang mampu mengangkat derajat film Indonesia secara regional, nasional, dan internasional.
Menjelang tanggal 30 Maret, Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) TV dan Film ISI Padang Panjang menggelar kegiatan bertajuk “Minang Screening”. Ini merupakan kegiatan baru dalam memberikan edukasi perfilman melalui seminar dan diskusi bersama para pegiat film. Berlangsung selama tujuh hari, 24 Maret – 31 Maret 2022. Dalam kegiatan yang membawakan tema “Menyingkap Tabu dalam kabut” ini, HMJ menanyangkan film-film kampus untuk komunitas film, siswa, mahasiswa, hingga masyarakat umum. Tak hanya itu, juga ada pameran 101 Tahun Usmar Ismail yang bekerja sama dengan Sako Academy, yang dikuratori oleh Arief Malinmudo, Riri Riza, dan Lisabona Rahman.
Minang Screening memasuki hari keempat, dengan topik “Eksistensi Komunitas Film Sumbar”. Berkenaan dengan topik yang diangkat, panitia mengundang beberapa komunitas film di Sumatera Barat, termasuk Komunitas Gubuak Kopi dan Rumah Tamera. Sebagai perwakilan, Volta, Irvan, Adri, dan saya sudah tiba di ISI Padangpanjang sebelum acara dimulai.
Sembari menunggu kami bercerita di halaman gedung. Lalu dihampiri oleh salah seorang panitia, ia bertanya,
“Kawan-kawan komunitas ada film yang mau ditayangkan?”
Hening sesaat, kemudian Irvan merespons, “Saya ada film kak, tapi tidak dibuat di Sumatera Barat dan juga tidak diproduksi oleh komunitas di Sumatera Barat. Tidak apa-apa?”
“Ya, tidak apa-apa bang”
Sesaat kemudian datang lagi seorang panitia membawa hardisk untuk meminta file film kepada Irvan. Juga menanyakan nama, asal komunitas, dan peran Irvan di dalam film ini.
Setelah ashar kami diajak memasuki bioskop prodi TV dan film karena penanyangan film akan segera dimulai. Menjelang pintu masuk bioskop kita akan melewati ruang pameran Usmar Ismail, ada beberapa puisi, biografi, dan sinopsis film.
MC membuka dan penonton mulai memenuhi kursi-kursi bioskop. Akan ada 3 film yang ditayangkan. Pertama, film Tinggam (2020) oleh Engga Hidayatullah. Mengisahkan tentang seorang anak laki-laki bernama Zamar yang tidak mengetahui kisah perceraian orang tuanya. Ia hanya tahu bahwa ayahnya telah hidup bahagia dan kaya raya bersama keluarganya saat ini, sedang Zamar tinggal dan hidup pas-pasan bersama ibunya. Ia iri dan ia ingin membalaskan dendamnya kepada sang ayah menggunakan cara yang tidak sehat, meninggam. Kedua, film Dedah Salamah yang diproduseri oleh M.Irvan.
Film ini mengisahkan seorang ibu Salamah, pengurus panti yang menguji kekompakan dan reaksi anak-anak asuhnya ketika ia mengurangi satu ekor ikan untuk dimakan, sehingga ada yang tidak kebagian. Dalam film ini kita akan menonton anak-anak berbalas pantun dan bernyanyi bersama. Ketiga, film Mei dalam Cerita (2019) oleh Taufiq Hidayat. Film ini mengisahkan seorang laki-laki bernama Rian yang hidup sendiri karena istri dan anaknya sudah meninggal. Bekerja sebagai buruh tani di bawah tekanan hutang juragan Eko. Suatu waktu ia ingin menegosiasi hutang namun ia mendengar percakapan juragan Eko melalui panggilan telepon yang ingin mengambil untuk sebesar-besarnya. Ia melawan, rumahnya dibakar. Isu dialihkan, ia bunuh diri karena diduga kebanyakan hutang.
Istirahat maghrib dan kita melanjutkan acara. Hal yang lebih serius dari menonton film, yaitu diskusi “Eksistensi Komunitas Film Sumbar” dengan narasumber Ibu Titit Lestari dari BPNB dan Bang Dhaniel dari Komisi Film Daerah Padang. Terlebih dahulu Bu Tari dari BPNB Sumatera Barat (Balai Pelestarian Nilai Budaya) memaparkan materi “Film dan Pemajuan Kebudayaan (Peran pemerintah dan Komunitas)”. BPNB memiliki tugas untuk melestarikan aspek-aspek tradisi, kepercayaan, kesenian, perfilman, dan kesejahteraan di wilayah kerjanya. Terdapat sepuluh objek pemajuan kebudayaan, tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat, dan olahraga tradisional. Objek tersebut bisa dituangkan dalam bentuk film. Dalam hal ini BPNB berperan dalam pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan; melalui beberapa program, yaitu kanal budaya, bioskop keliling, fasilitasi dan kemitraan serta festival budaya di TVRI.
Sehingga sudah sangat jelas bahwa BPNB akan sangat terbuka dalam memfasilitasi produksi, distribusi bahkan konsumsi film. Jangan malas berkarya dan selalu produktif, begitu pesan Bu Tari sebelum menutup paparannya.
Selanjutnya materi Bang Dhaniel dari Komisi Film Daerah (KFD) Padang. KFD merupakan badan yang berfungsi sebagai fasilitator industri perfilman yang bertugas mempromosikan daerah dan mempermudah proses pembuatan film di daerah. Enam tugas KFD, mengintegrasikan perizinan lokal, memetakan potensi daerah, mempermudah pembuatan film, mendorong promosi daerah, menggerakkan perekonomian daerah, dan pemicu pengembangan kebijakan, infrastruktur, dan fasilitas perfilman. Jika Bu Tari membicarakan tentang fasilitasi maka Bang Dhaniel berbicata tentang insdustri: bisnis. Untuk menutup paparannya, Bang Dhaniel membacakan satu poin pemikiran dari Peter Bogdanovich “There are no ‘Old Movies’ only movies you have already seen and ones you haven’t”.
Narasumber sudah memaparkan materi, untuk lebih memperluas pemahaman kita, maka dilanjutkan dengan sesi diskusi. Moderator mempersilahkan penonton untuk bertanya, memberikan pandangan, atau opini lainnya. Irvan sebagai perwakilan dari Rumah Tamera menanyakan pendapat narasumber terkait ruang tontonan alternatif. Kita mengetahui kalau di Solok ada Sinema Pojok, kemdian menyusul di Bukittinggi ada Bioskop Taman, di Payakumbuh ada bioskop gerilayar, dan lainnya.
Disusul pertanyaan dari Taufiq Hidayat berkenaan dengan prosedur fasilitasi produksi film yang disediakan oleh Komisi Film Daerah Padang dan juga BPNB. Lalu, teman-teman dari Rumah Tamera, Gubuak Kopi, dan Ladang Rupa mempertanyakan hal yang sama. Kita sibuk produksi film, lalu apa yang kita inginkan pada film-film itu? Mungkin kita juga bisa masuk ke ranah distribusi film. Misalnya ketika kita membicarakan kebudayaan yang dituangkan dalam film, bahkan tetangga di sekitar rumah kita sendiri saja belum menonton karya tentang kebudayaan yang kita buat.
Narasumber menjawab satu persatu, tapi bagi saya jawaban yang diberikan tidak seutuhnya relevan dengan pertanyaan. Berkenaan prosedur fasilitasi pemerintah memang cukup panjang prosesnya dan banyak dokumen yang dibutuhkan sebab kepentingan administrasi pemerintah. Ini bukan ribet tapi kompleks. Terkait ruang tontonan alternatif, Bu Tari mencoba menjawab bahwa BPNB akan berusaha dan berupaya untuk berjejaring dan berkolaborasi dengan ruang-ruang tontonan alternatif di Sumatera Barat. Kemudian Bang Dhaniel yang lebih berbelok ke arah industri, ia mengibaratkan bahwa film adalah produk makanan. Memang perlu upaya untuk membuatnya laris di pasaran, perlu promosi yang apik. Sedang kita tidak membahas film yang tidak laku, kita sedang membahas ruang tontonan alternatif yang kerapkali dianggap kurang penting.
Mereka ‘terjebak’ pada keinginan untuk menciptakan film sebanyak-banyaknya lantas tidak diikuti dengan giat penyebaran yang seluas-luasnya. Apakah film hanya sebatas untuk perlombaan? Juga sebatas ikut festival? Kita telah gagal memaknainya secara objektivisme, kita cenderung berlarut dalam subjektivisme: subjek perfilman dengan ‘hasrat’ produksi yang lebih besar dibanding distribusi.