Catatan Proses Residensi Lumbung Kelana di Solok
Hitungan hari para partisipan residensi Lumbung Kelana di Gubuak Kopi akan meninggalkan Kota Solok. Hari ini, Rabu, 26 Januari 2022, kami semua dapat undangan makan siang di Rumah Suhey, sebuah rumah kreatif di Solok. Pada hari sebelumnya Sufty bertemu dengan Uni Patrisia dan Uni Amelia di Naluri Coffee. Ketika saya, Albert, Sufty dan Badri sedang mengganti suasana untuk bekerja dari cafe dengan akses internet yang lebih baik, Uni Patrisia dan Uni Amelia menyusul ke Naluri untuk menemui Albert, ketua Komunitas Gubuak Kopi. Uni Patrisia dan Uni Amelia merupakan pejabat Dinas Pariwisata Kota Solok, dan juga ikut nongkrong di markas kami, di Rumah Tamera. Ketika pertemuan kemarin Albert mengenalkan Sufty ke mereka, bahwa Komunitas Gubuak Kopi lagi kedatangan tamu, selain Sufty juga ada Yoan dari Komunitas Kahe, Maumere. Uni Pat dan Uni Mel mengobrol panjang. Saya tidak terlalu mendengarkan karena sedang menulis, tapi sepertinya mereka langsung akrab. Diakhir obrolan, uni-uni ini mengundang Sufty dan kawan-kawan Gubuak Kopi untuk makan siang esok hari di Rumah Suhey. Kami pun semangat menerima ajakannya.
Pada pagi hari, Sufty sudah bangun terlebih dahulu karena sudah membuat jadwal dengan Spansan untuk mengunjungi rumah Pakde Tekno. Ketika saya bangun, ternyata Sufty belum juga berangkat ke rumah Pakde Tekno. Saya coba bantu menghubungi Albert untuk membangunkan Spansan, barangkali dia masih tidur. Akhirnya Spansan datang walau agak telat dari jadwal yang direncanakan. Pakde Tekno adalah orang yang selalu kami kunjungi kalau teman-teman ingin mengenal banyak jenis tanaman dan manfaatnya.
Pulang dari rumah Pakde Tekno, Sufty dan Spansan membawa buah tangan dari pakde yaitu 5 buah Durian yang diambil langsung dari kebun pakde. Sebagian besar dari kami antusias dengan durian itu, hanya saja Badik sudah terlalu begah, karena dari kemarin kami sudah makan banyak durian yang dibawa dari kebun keluarganya Sarah.
Riski membantu membuka durian pemberian pakde, sementara saya, Sufty, Spansan, dan Badri sudah menunggu durian itu untuk dimakan. Ketika dibuka di dalam durian itu ada ulat buah yang cukup besar. Hal itu tidak menjadi hambatan untuk kami tidak menyantap durian itu. Anehnya, Riski mengambil semangkuk nasi untuk disantapnya menggunakan durian. Hal itu membuat saya terheran-heran karena baru kali ini saya melihat durian dimakan menggunakan nasi. Bagi Riski itu sudah hal biasa untuk di keluarganya. Saya pun mencoba dan rasa itu sangat tidak cocok untuk lidah saya.
Selesai makan durian, kami semua bergegas menuju Rumah Suhey. Sufty sudah dikabari oleh Uni Mel untuk segera datang, karena makanan sudah terhidang. Sesampainya di sana, benar saja makanan sudah tersusun rapi, Uncu, pemilik Rumah Suhey dan uni Amel sudah duduk menunggu kami. Kami tidak langsung makan, tetapi menunggu Uni Patrisia, Albert, Yoan, dan Stingki yang belum datang. Sembari menunggu, kami ditawari untuk ngemil karupuak leak. Karupuak leak merupakan cemilan khas Minangkabau, yang mana kerupuknya diberi kuah sambal khas untuk kerupuk itu, juga ditambah dengan topping bihun di atasnya. Tidak lama kemudian Uni Patrisia datang, disusul Albert dan rombongan juga datang. Di situ pertama kalinya Yoan dan Stingki bertemu uni-uni Rumah Suhey, mereka saling berkenalan dan bercerita sembari menikmati cemilan kerupuk leak. Tidak lama mereka mengobrol, uni Amel mengingatkan untuk segera menyantap hidangannya karena terlalu lama didiamkan makanan akan menjadi dingin dan berkurang nikmatnya.
Kami semua memulai makan, doa bersama dipimpin oleh Stingki. Sembari makan, Uni Patrisia menjelaskan hidangan apa saja yang dihidangkan saat ini. Ada samba buruak-buruak yang isinya sambal hijau, terong, ikan asin, ubi, dan tahu. Lalu ada jariang samba tanak, yakni jengkol dengan sambal hijau diberi minyak kelapa matang. Ada juga ayam sampadeh, ayam dengan kuah asam pedas. Dan beberapa lauk khas Minangkabau yang saya lupa namanya. Karena kita makan di Rumah Gadang milik keluarga Uncu, Uni Patrisia bercerita tentang “makan baradaik”, yaitu makan beradat ala masyarakat Minangkabau, semisal, etikanya piring diletakkan di bawah tanpa diangkat. Sontak membuat saya kaget, karena posisi piring saya angkat agar lebih mudah untuk menyuap nasi. Di situ Uni Patrisia tidak bermaksud untuk mengingatkan, karena saat ini kita hanya makan pesta bukan makan baradaik. Jadi tidak masalah kalau piring diangkat. Budayanya di Solok, makan baradaik itu diadakan ketika sedang ada peristiwa kemalangan atau peringatan kematian. Sembari mendengar Uni Patrisia bercerita kami menikmati makan siang dan satu persatu kami selesai makan. Kami semua menikmati makanan yang disajikan, Sufty mengatakan hidangan ini makanan terenak kedua yang ia coba, sebelumnya ada dendeng lambok yang ia beli bersama Nanda dekat terminal Bareh Solok.
Sesudah makan kami melihat karyawan uncu sedang memeras santan menggunakan alat tradisional yaitu kampo. Alat tradisional untuk memeras santan yang terbuat dari kayu panjang yang saling berhimpit, santan yang dibungkus dengan karung diletakkan di antara kayu lalu dikepit sehingga air dari santan itu keluar dan di bawahnya, ditampung dengan baskom besar. Santan itu digunakan untuk membuat pesanan 5kg rendang yang akan dikirim ke Jakarta. Kampo digunakan karena lebih cepat untuk memeras parutan kelapa dalam jumlah banyak, kelapa yang digunakan berjumlah 32 buah kelapa. Jumlah yang banyak ketika membuat 5 kg daging rendang.
Kebun Kolektif
Agenda selanjutnya kami berkunjung ke rumah Ibu Sufni salah satu anggota ekraf di Solok. Di rumah ibu Sufni terdapat banyak sekali macam-macam tumbuhan, mulai dari untuk Kesehatan, kecantikan, konsumsi, sampai ke tanaman hias. Rumah Ibu Sufni berada di komplek perumahan tidak jauh dari Rumah Tamera. Tamannya terletak di depan rumah Ibu Sufni dan berada di tengah jalan. Sebenarnya taman ini milik bersama warga sekitar perumahan itu, siapa saja boleh mengambil tumbuhan di taman itu, tetapi yang rajin merawat taman itu Bu Sufni dan suaminya. Suasana di taman itu sangat nyaman, disediakan kursi-kursi di bawah pohon jambu besar yang terbuat dari bekas rak botol yang diberi alas duduk.
Sesampainya di taman itu, Bu Sufni menyiapkan beberapa snack dan air mineral untuk kita konsumsi, ada juga jambu air yang ia petik langsung dari pohon yang berada disitu. Uni Patrisia membantu memperkenalkan Sufty ke Ibu Sufni. Ketertarikan Sufty tentang tanaman menjadi obrolan yang seru ketika bersama bu Sufni, mereka membahas berbagai macam tanaman yang ada disitu beserta manfaatnya, juga bertukar informasi tentang tanaman dan kegunaannya. Sufty menceritakan kegemarannya membuat teh rempah. Bu Sufni antusias sekali menjelaskan satu-satu tanaman yang ada di taman itu, dan ia juga memberikan banyak tanaman kepada kami. Hampir setiap tanaman yang kami sentuh, dia bagi kepada kami. Mulai dari tanaman hias hingga ke tanaman herbal ia berikan kepada kami, mungkin kalau dihitung ada lebih dari sepuluh yang bu Sufni berikan untuk kami. Bu Sufni ada menunjukkan daun kecibling yang berkhasiat untuk menyembuhkan masalah pencernaan buang air kecil. Disitu saya tertarik dan langsung memintanya karena kebetulan saya sedang ada masalah dengan itu. Tidak sungkan Bu Sufni langsung memberi beberapa batang untuk kami bawa, lalu ada “daun Afrika” untuk obat darah tinggi, daun jarak yang getahnya dapat digunakan untuk luka daunnya untuk demam.
Tak terasa buah tangan dari Bu Sufni sudah sangat banyak. Waktu sudah mulai memasuki adzan Ashar, kami sudah memiliki janji untuk berkunjung ke Lapas Solok sesudah Ashar. Kami pun berpamitan sekaligus berterimakasih dengan tanaman yang sudah Bu Sufni berikan. Sebelum balik ke Rumah Tamera kita berfoto bersama, tak lupa Sufty mengundang Bu Sufni dan suami untuk hadir pada acara workshop Sufty tentang teh rempah.
Kami kembali ke Rumah Tamera, tanaman pemberian Bu Sufni yang tidak ada tanah langsung kami rendam di air agar tidak mati. Kami semua bersiap-siap untuk pergi ke lapas. Saya dan Albert jalan terlebih dahulu karena ingin mencari alat dehydrator yang akan digunakan Sufty pada hari workshop-nya. Kami tidak dapat menemukan alat tersebut, setelah mencari di seluruh toko elektronik dan perabotan yang berada di Solok. Kami pun kembali dan menyusul kawan-kawan yang sudah sampai di Lapas.
Tujuan kami ke lapas kali ini karena ingin mengambil jahe merah yang dibuat oleh salah satu warga binaan di lapas tersebut, sekalian mengobrol tentang proses pembuatan jahe merah. Sembari menunggu jahe merahnya datang, kami mengobrol dengan Pak Rahmat yang membantu kita untuk bisa masuk ke dalam lapas. Pak Rahmat merupakan salah seorang teman dari kawan-kawan di Rumah Tamera, kalau ingin berkunjung ke lapas terkait program yang sedang berlangsung kita selalu dibantu dan ditemani oleh Pak Rahmat. Kami mengobrol seputar lapas dan narapidana yang ada di situ, sebagian besar mereka bermasalah dengan narkoba dan obat-obatan terlarang.
Akhirnya jahe merah datang dibawakan oleh Bang Nanda, salah satu warga binaan yang membuat jahe merah. Bang Nanda menceritakan proses dan pendistribusian jahe merah itu. Ketika masa pandemi awal penjualan jahe merah melejit pesat, bisa tiap minggu memproduksi jahe merah. Kalau untuk saat ini hanya 2 kali sebulan untuk produksi.
Tak terasa hari sudah mulai gelap, kami izin berpamitan untuk pulang. Sebelum pulang kami berkeliling melihat workshop atau bengkel yang digunakan para narapidana untuk berkarya. Mulai dari bengkel mobil, gedung membuat jas hujan, membuat sandal kulit, kain tenun dan kolam ikan. Setelah berkeliling, kami pamit dan kembali ke Rumah Tamera.