Kelana ke Lapas Solok

Catatan Proses Residensi Lumbung Kelana di Solok

Residensi Lumbung Kelana di hari ke sepuluh, Sufty dari Gelanggang Olah Rasa (GOR) Bandung, Yoan yang berasal dari Komunitas Kahe, Maumere dan Komunitas Gubuak Kopi melakukan kunjungan ke Lapas Klas II B Laing, Kota Solok. Sebelum ke sana, teman-teman telah mengkoordinasikan kepada pegawai lapas, yaitu Bapak Rahmad untuk meminta izin kunjungan, ia juga seorang kawan yang sering berkegiatan di Rumah Tamera – Solok Creative Hub, atau markas Komunitas Gubuak Kopi. Sekitar pukul 16.00 WIB, ada sekitar delapan orang yaitu saya, Bray, Farah, Albert, Spansan, Yoan, Sufty, dan Verdian dengan mengendarai 4 motor segera meluncur ke sana. 

Tiba di lapas, kami langsung dibukakan pintu oleh Sipir, kami didampingi Pak Rahmad untuk masuk dan melihat ke dalam lapas.  Tepat para tahanan sedang beristirahat. Ada yang sedang duduk santai, mengobrol dan ada juga yang sudah selesai sholat. Kami berhenti terlebih dahulu di Pos Jaga tepat di persimpangan lorong-lorong. Bercerita dengan Sipir yang lainnya dan saling berkenalan. Sebelumnya kawan-kawan Komunitas Gubuak Kopi juga telah melakukan beberapa kali kunjungan ke Lapas II B yang juga menjadi salah satu lokasi untuk mural dan grafiti di ajang Tenggara Street Art Festival 2020 lalu. Kita akan melihat karya kawan-kawan dari Tenggara Street Art Festival yang berkolaborasi dengan para Tahanan di sepanjang tembok dekat lapangan. Selain itu teman-teman Komunitas Gubuak Kopi juga melakukan aktivitas lain bersama lapas, seperti menggambar bersama warga binaan, menghubungkan karya warga lapas dengan usaha kreatif di luar sana.

Ditengah obrolan bersama para sipir, datang seorang kawan yang pernah terlibat di Tenggara Street Art Festival, ia bernama Apri Bolong. Salah satu warga binaan yang juga senang menggambar. Sekali sebulan teman-teman Komunitas Gubuak Kopi mengirimkan kertas untuk teman-teman di Lapas. Kali ini Bolong sekaligus memperlihatkan gambarnya ke teman-teman yang berkunjung sore itu. 

Kami memutuskan untuk duduk santai di lapangan futsal. Selain melihat gambar, sore ini kita ingin melihat racikan jahe merah yang diproduksi oleh Lapas. Kali ini, Teh Sufty ingin tahu proses pembuatan Jahe Merah yang diproduksi di sini. Bang Rahmad memanggil salah satu warga binaan yang juga sudah belajar membuat jahe, namanya Nanda. Ia menceritakan kalau sekali produksi sebanyak 3 kg jahe. Prosesnya dimulai dari menghaluskan jahe, diperas seperti memerah kelapa, kemudian air dari perasan jahe diambil, lalu dimasukkan ke dalam tempat pemasak, diberi gula 12 kg, madu, habbatus sauda, dan cabe jawa. Jika jahe yang digunakan sebanyak 3 kg maka cabe jawa yang dipakai adalah setengah ons dan bahan terakhir diberi raja tawon atau biasa disebut dengan pemanis buatan. 

Setelah semua bahan dimasukkan kemudian diaduk. Adukan tidak boleh terhenti selama 4 jam, karena jika berhenti hasil pembuatan jahenya akan gagal, dan akan menggumpal seperti permen. Terakhir yang paling penting sekali adalah pengaturan apinya yang mesti pas, begitulah Pak Nanda menceritakan bagaimana proses pembuatan jahe. Ia tak butuh waktu lama untuk bisa memproduksinya, hanya melakukan percobaan dua kali “kalau proses belajar mungkin akan sangat lama, tetapi saya memberanikan diri untuk langsung terjun dalam proses pembuatan” kata Pak Nanda, setelah kami melihat hasil jahe tersebut telah dikemas dan di-packing dalam plastik. Jahe itu telah berbentuk serbuk yang siap diseduh dalam takaran 300ml. Begitulah Pak Nanda menjelaskan proses pembuatan jahe kepada kami sore itu. Sebelum pulang kami diberi 3 renteng Jahe Merah sebagai hadiah. 

Kami kembali mengamati sekitar lapas, di mana pandangan dari tahanan tak luput dari obrolan teman-teman. Mereka membuat lingkaran kecil dan mengamati perjalanan kami di sekeliling lapas dengan jarak pandang cukup jauh. Setelah berdiri setengah jam, kami memilih duduk dan membuat lingkaran di tepi lapangan. Tak lama Bolong membawakan kami minuman dingin dari kantin yang juga berada di dalam Lapas. Sembari menceritakan peristiwa-peristiwa lucu yang ditemukan oleh Bang Rahmad selama berdinas di Lapas Klas II B Solok ini. Ada napi yang mencoba kabur dan kembali ditemukan di dalam rawa-rawa, ada juga yang kabur dan ditangkap oleh warga. 

Namun saya melihat hal menarik lainnya, yaitu banyak tempat kerajinan untuk aktivitas para tahanan, ada yang bertani, produksi sendal, bengkel dan lainnya. Kami berjalan melihat perkebunan terong yang sudah siap panen di pinggir-pinggir lapangan. Beberapa terong juga dipanen oleh teman-teman warga binaan untuk kami bawa pulang. Selain terong, ketika saya mengalihkan pandangan saya ke halaman depan, terbentang berbagai jenis sayuran. Salah satunya ada sayur pangsit, kacang panjang, ada cabe rawit dan ubi. Setelah selesai berkeliling, kami kembali menuju depan, meninggalkan halaman belakang lapas. Sedangkan para tahanan telah masuk kembali setelah bel berbunyi, membuat kondisi sesaat menjadi sepi. 

Setelah berpamitan untuk pulang, kami melihat barang produksi lapas yang berada di sebelah pintu gerbang penjaga. Lemari itu berisi, sandal, jas hujan jahe merah dan lainnya. beberapa dari kami tertarik untuk mengoleksi karya warga lapas, namun sepertinya toko ini sudah tutup, akhirnya kami pulang dengan bingkisan oleh-oleh dari lapas menuju Rumah Tamera.

Sarah Azmi (b. Padang, 1998), biasa disapa Sarah mulai menulis sejak tahun 2016. Puisinya banyak diposting melalui media Instagram dengan nama pena Sarah Azmi. Ia aktif membacakan puisinya dalam iven di beberapa kota di Sumatera Barat. Ia pernah memenangkan lomba baca puisi se-Kota Padang. Sekarang sedang fokus menulis, terutama puisi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.