Catatan Proses Residensi Lumbung Kelana di Solok
Kamis, 20 Januari 2022 menjadi hari keempat dalam pelaksanaan program Lumbung Kelana. Kita melanjutkan silaturahmi di Kampung Jawa dan sekitarnya. Hari ini kita berencana untuk bertukar cerita ke rumah produksi batik khas Solok: Tarancak, atau yang lebih dikenal dengan Batik Mimi. Sufty bersama saya bergerak menuju Batik Mimi seusai shalat dzuhur, sekaligus mengantarkan produk Batik Mimi yang masih tersimpan di Gubuak Kopi setelah pameran ekonomi kreatif dalam rentetan perayaan Ulang Tahun Kota Solok pada Desember 2021 lalu. Kita juga mengajak Yoan, partisipan residensi lainnya, tapi ia tidak bisa karena ada pertemuan online yang harus diikutinya.
Lokasi Batik Mimi tidak jauh dari Rumah Tamera, creative hub di Kota Solok yang juga merangkap sebagai sekretariat Komunitas Gubuak Kopi. Tak lama kami pun sampai. Langsung disambut oleh Bu Mimi dan suaminya. Kita disajikan kue talam, cemilan tradisional yang terbuat dari perpaduan tepung beras, santan, dan gula merah. Saya memperkenalkan Sufty sebagai partisipan residensi Lumbung Kelana yang berasal dari Bandung dan akan menghabiskan waktu selama dua minggu di sini. Sufty juga tertarik dengan tekstil.
Sufty bercerita bahwa beberapa tahun belakangan ia memiliki proyek bersama dengan teman-temannya, UMBARA. Melalui proyek tersebut Sufty dan teman-teman berusaha mengumpulkan informasi berupa pengetahuan “rahasia” yang dibentuk atas kekuatan tradisional dalam bingkai kearifan lokal terkait alam dan religi. Pengetahuan semacam ini hanya bisa didapatkan secara langsung melalui lisan dari orang-orang lokal. Tak hanya sebagai konsumsi pribadi, mereka juga membagikan cerita-cerita yang didapatkan melalui booklet dan platform instagram. Mereka sudah melakukannya 2 kali, di Tabanan, Bali dan Dayak Iban, Kalimantan Barat. Objek penceritaannya adalah tenun. Di sana masyarakat sudah meninggalkan tenun karena prosesnya cukup lama dan harganya cukup tinggi. Hal ini lah yang mendasari mereka melaksanakan proyek ini: mengembalikan konsep kearifan lokal terhadap produksi tekstil yaitu menenun.
Bu Mimi bercerita bahwa mereka tidak hanya fokus pada ekonomi ataupun bisnis, tapi mereka juga memperhatikan konsep “kebertahanan” atau pelestarian. Hal ini dibuktikan dengan pemanfaatan warna alami. Biasanya mereka menggunakan warna sintetis namun sekarang sedang proses pengalihan ke warna alami. Tak hanya itu, Batik Mimi juga mulai mengembangkan ecoprint. Banyak produk yang dibuat dari ecoprint, seperti tas, kain, pakaian, jaket, dan outer. Daun-daun yang digunakan bermacam-macam, ada daun bawang yang biasanya mereka ambil dari pasar, daun mangga, dan banyak varian daun lainnya. Mereka juga memiliki katalog berbagai daun dalam satu lanskap kain panjang berwarna putih. Juga warna yang variatif akibat bahan yang digunakan saat finishing.
Kita begitu antusias dalam obrolan ini. Terutama Sufty yang begitu tertarik pada tekstil, tapi pada kesempatan ini ia sangat antusias untuk mempelajari warna-warna alami yang dimanfaatkan dalam pewarnaan kain. Sufty ingin menjadikan ini fokus Umbara pada chapter selanjutnya. Bu Mimi dan suaminya memberikan banyak informasi baru kepada kami. Mereka juga sempat mencoba tenun, langsung difasilitatori oleh penenun ternama Sumatera Barat, Silungkang. Perlu waktu yang sangat panjang untuk menyelesaikan tenun karena dikerjakan secara manual. Benang dipintal satu persatu, membutuhkan tenaga yang cukup keras. Ketika menenun, laki-laki biasanya menghasilkan tenun yang lebih rapi karena dipengaruhi oleh tenaganya.
Kami disajikan menu makan siang oleh Bu Mimi. Pindang ikan dan sambal. Kita makan bersama tapi Bu Mimi tidak ikut karena sedang berpuasa. Sedang makan kita juga bercerita. Obrolan tidak terhenti begitu saja. Tak lama, kita selesai makan. Sufty menyusuri ruang produksi yang berada di bagian belakang. Kita melihat proses mencanting yang dilakukan oleh Ira, karyawan Bu Mimi. Kita juga bisa melihat berbagai cap yang digunakan dalam pembuatan batik cap. Suami Bu Mimi mengembangkan pemanfaatan limbah kertas dalam pembuatan cap. Hari mulai sore, kita berpamitan karena Sufty akan mengikuti kelas bahasa isyarat.
Malam di hari keempat ini, kita mengenal Komunitas Kahe di Maumere, NTT melalui presentasi Yoan. Di awal paparannya ia ingin mengkonfirmasi bahwa keanggotaannya di Kahe terhitung sekitar setahun. Tidak lama, jadi jika nanti dalam paparannya ada hal yang sekiranya kurang sesuai harap dimaklumi. Kahe sendiri berasal dari bahasa lokal berupa sapaan kepada teman seumuran, seperti “Hei”. Sekretariat Komunitas Kahe masih berstatus kontrakan. Awalnya kecil tapi sekarang sudah diperluas. Komunitas Kahe merupakan ruang produksi, diskusi, dan publikasi pengetahuan yang didirikan di Maumere, Sikka pada tahun 2015.
Yoan menyampaikan berbagai program yang ada di Komunitas Kahe. Misalnya Klubbaca, Jamming Sastra, dan lain-lain. Ia berkisah bahwa Komunitas Kahe hadir di lingkungan Sekolah Tinggi Fakultas Katolik, sehingga anggota Komunitas Kahe didominasi oleh mahasiswa filsafat. “Aza sangat nyambung kayaknya ngobrol sama mereka” ujar Yoan di sela-sela paparannya. Mungkin karena saya tengah menempuh studi filsafat. Tak hanya itu, teman-teman di Komunitas Kahe merupakan orang-orang yang membidangi teater bahkan sering menulis naskah teater. Kita mendapatkan banyak informasi dari Yoan tentang Komunitas Kahe. Yang paling diingat “Orang yang selalu di sekre Komunitas Kahe, Kak Eka suka makan dan suka masak. Jadi kita sering dimasakin. Kalian harus ke Kahe biar mencoba masakan Kak Eka.” Nanti kita rencanakan perjalanannya dengan harap semoga terwujudkan.