Catatan Proses Residensi Daur Subur 2021: Circumstance
Memasuki residensi hari ke enam saya dan kawan-kawan Komunitas Gubuak Kopi disambut hangat oleh senyuman Pak Mardi, sapaan beliau ketika kami berkunjung ke sana. Pak Mardi adalah warga Kampung Jawa yang lahir di Bekasi, kemudian 2009 beliau memutuskan untuk pindah ke Kota Solok. Perjalanan Pak Mardi yang konsisten berbuah manis, beliau memiliki tempat pengepul dan pengepresan limbah dalam jumlah besar. Saya memasuki gang menuju tempat usahanya, karung-karung besar berisi botol plastik berjejer rapi di tepi jalan, sepanjang 100 m sebelum masuk ke dalam rumah pengepresan sampah milik Pak Mardi.
Kita belum cukup mampu menuntaskan persoalan limbah yang kita hasilkan belasan ton tiap harinya di Kota Solok. Pak Mardi melihat peluang ini bisa dimanfaatkan, baik dari pundi-pundi rupiah yang bisa beliau raih dan cukup membantu warga yang ikut mengelola limbah daur ulang. Untuk semua jenis sampah anorganik, yang sekarang telah didirikan Pak Mardi dengan usahanya beserta sang istri. Salah satu motivasi Pak Mardi untuk tetap bergelut dengan pengepul limbah, di samping mengurangi limbah non-organik juga mampu menghasilkan uang, baik Pak Mardi ataupun warga yang mengepul limbah plastik, kertas, seng, dan besi.
Sebelum berbicara lebih jauh, saya rasa menarik untuk kemudian menceritakan kembali kisah dari perjalanan Pak Mardi, bahwa proses tak selalu tentang hal-hal yang menyenangkan. Bagi saya proses adalah perjalanan penting sebelum kita berbicara hasil yang telah dicapai hari ini. Beliau mengalami musibah, di mana tempat pengepresan limbah miliknya terbakar di tahun 2019, sampai sekarang tidak diketahui penyebab kebakaran tersebut.
Kerugian yang dialami Pak Mardi kurang lebih memasuki angka 100 juta. Bagian ini membuat saya merasa pilu, mengingat proses beliau di Bekasi yang telah pengepul limbah plastik bertahun-tahun sebelum akhirnya memutuskan untuk ke Sumatera Barat. Peristiwa kebakaran tadi lantas tak membuatnya tumbang. Pak Mardi kembali merintis semua dari nol. Istrinya memiliki peran besar dalam kehidupannya, setiap jatuh bangun yang mereka hadapi bersama.
Sejak peristiwa kebakaran, Pak Mardi mencari tempat untuk beliau dan keluarga bermukim dan melanjutkan usahanya. Berkat bantuan beberapa orang setelah peristiwa yang sempat disorot media itu, beliau mendapatkan bantuan. Akhirnya ia bisa kembali mendirikan rumah serta tempat usaha pengepul dan pengepresan limbah. Usaha barunya dikenali warga dari mulut ke mulut, membuat Pak Mardi seperti yang saya temui hari ini. Beliau memiliki lima karyawan yang bekerja di tempat pengepresan limbah plastik dan sepuluh orang yang membantunya mengepul. Di samping itu, istri pak Mardi ikut membantu membersihkan botol plastik. Sore itu saya menyaksikan ia tengah membersihkan botol yang telah selesai dipilah, ketika kami berjalan keluar halaman.
“Ya, supaya lebih padat dan rapi, karena jika tidak dipres maka kita pasti mengeluarkan ongkos lebih untuk biaya pengiriman ke Pulau Jawa” kata Pak Mardi sembari menjelaskan kenapa benda-benda tersebut dipres. Kendala lain jika tidak melakukan tahap pengepresan hanya mampu memuat paling banyak 1.500 kg limbah, sangat jauh angkanya ketika telah melakukan proses pengepresan yaitu bisa memuat sebanyak 10 Ton limbah, lebih irit dan tidak memakan tempat.
Pemandangan lain mencuri perhatian saya dan Pak Mardi. Di mana kawan-kawan Gubuak Kopi ikut membantu memasukkan limbah plastik menuju mesin pengepresan, sedangkan Zekal sibuk menggambar langsung kegiatan hari itu. Lalu ada Irvan mengambil bagian dokumentasi proses pengepresan limbah, dan Aza asik mengobrol dengan istri Pak Mardi. Suasana ini membuat saya tak henti-henti mengucap syukur berproses di tengah-tengah mereka. Dan akhirnya saya tahu jika sampah yang terkumpul per-hari bisa sampai sepuluh truk. Setelah berbagi cerita dengan laki-laki yang tak mudah tumbang ini.
Setelah proses pemilahan dan pengepresan, sampah non-organik dikemas rapi lalu dikirim ke tiga tempat di luar Provinsi Sumatera Barat. Seperti kertas, botol, besi, kaleng dan seng yang siap dikemas dikirim menuju Tangerang. Sedangkan sampah jenis plastik (kemasan makanan) dikirim ke Kota Bogor. Lalu, sampah kertas kemudian dikirim ke Kota Cikarang. Di sana proses pengolahan berlangsung. Di Sumatera Barat sendiri belum memiliki pabrik daur ulang sehingga masyarakat yang mengepul sampah harus ke mengirimnya ke Pulau Jawa.
Saya menangkap satu fenomena, bahwa setiap kita bisa mengambil peran ketika membicarakan kondisi lingkungan hari ini. Terutama terkait dengan permasalahan limbah, apakah itu pengepul limbah atau eksperimen lainnya terkait limbah itu sendiri. Selain Pak Mardi, hal ini juga telah dilakukan kawan-kawan Komunitas Gubuak Kopi dalam program Residensi Daur Subur yang tengah berlangsung. Kawan-kawan Daur Subur juga mengepul limbah botol, kemudian digunting kecil-kecil dan dicairkan melalui pembakaran yang diberi oli. Setelah plastik meleleh, ia dimasukan ke dalam cetakan yang menyerupai batako, dan jadilah apa yang disebut oleh kawan-kawan sebagai batako plastik.