Oleh-oleh Keliling Kampung Jawa

Catatan proses Lokakarya Daur Subur #6 di Kampung Jawa

Solok (3/6) Lokakarya Daur Subur #6 yang diadakan Komunitas Gubuak Kopi di Rumah Tamera memasuki hari ke-4. Sejumlah partisipan mengikuti materi lanjutan yang dipresentasikan oleh peserta itu sendiri. Sebenarnya ada sepuluh orang, namun karena dua orangnya ada keperluan mendesak ke Padang, untuk hari ini kami melanjutkannya delapan orang saja.

Albert Rahman Putra sebagai pemandu diskusi hari ini, memandunya dengan bentuk diskusi terarah. Sebelumnya Albert meminta para partisipan mencari topik-topik tertentu untuk dicatat dan didalami. Dalam diskusi ini partisipan saling bertukar pengetahuan dengan membuka kembali wawasan tentang peristiwa sejarah yang dianggap penting di Sumatera Barat. Juga bahasan yang mengarah ke pergerakan-pergerakan yang dilakoni tokoh-tokoh Sumbar.

Hari ini kita lanjutkan dengan catatan dari Noura tentang peristiwa PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia). Kisah ini dimulai dari munculnya agresi militer oleh Belanda yang dimulai dari tahun 1947. Setelah Indonesia diserahkan kembali ke pemerintah pusat, PDRI pun berakhir. Namun kenangan tentang PDRI melekat di hati warga Sumatera Barat. Terbukti dengan didirikannya sejumlah tugu PDRI di beberapa lokasi persembunyian Syafrudin Prawiranegara dalam memimpin pemerintahan darurat. Seperti di Bidar Alam, Solok Selatan, dan Koto Tinggi, Limapuluh Kota. Diskusi berlanjut hingga materi tentang peristiwa PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) dan lahirnya tokoh-tokoh modern nasional dari INS (Indonesisch Nederlandsche School) Kayu Tanam.

Sesi periode sejarah kebudayaan lokal ini untuk sementara selesai dan dilanjutkan dengan berkeliling Kampung Jawa. Jalan-jalan kali ini dipandu oleh Albert langsung dan fasilitator lainnya. Peserta mengunjungi rusunawa yang berada di samping belakang Rumah Tamera. Di halaman  rusunawa kami berbicara dengan Bu Gina, seorang perempuan penghuni rusanawa berusia 40 tahun. Ia waktu itu sedang mengurus Budikdamber (Budi Daya Ikan dalam Ember) di pekarangan rusunawa. “Ini merupakan  pemberian dari WMI (Wahana Muda Indonesia) Kota Solok untuk dua puluh tiga kepala keluarga”, terang Bu Gina. Ia merupakan seorang staf honorer DPRD Kota Solok. Tinggal gratis di rusunawa sejak ramadhan tahun lalu. 

“Untuk menempati rusunawa ini kita diinterview terlebih dahulu oleh Dinas Perkim (Perumahan dan Kawasan Pemukiman)” lanjut Bu Gina.

Kami melanjutkan perjalanan ke salah satu rumah produksi makanan khas di Kampung Jawa bernama Snack 88. Ialah seorang Ibu bernama Leni Palentina yang telah  memulai bisnisnya selama 16 tahun. Ketua UP3HP (Unit Pelayanan Pengembangan dan Pengolahan Hasil Pertanian) ini sebelumnya memiliki 10 orang  karyawan, namun sekarang hanya tinggal 4 orang karyawan tetap. 

Bu Leni juga menceritakan bahwa hasil ubi yang diolah hanya menghasilkan seperempat dari jumlah utuh. Jika ubi yang diolah sekitar 200 kilo maka hanya mendapatkan 50 kilo saja. Sebagian besar ubi ini didatangkan dari Pekanbaru dan beberapanya diambil dari hasil panen warga Kampung Jawa. Ubi kayu ini sebelum diolah memerlukan treatment pemarutan dan pengepresan pati agar tepungnya kering dan langsung digiling. Setelah dilakukan penggilingan maka Snack 88 atau yang biasa disebut karak kaliang ini dicetak menyerupai angka 8 dengan cara manual. 

Saat berbincang dengan Bu Leni, seorang ibu lain datang membeli karak kaliang untuk dibawanya ke Jakarta. Hal ini  membuktikan bahwa masyarakat setempat sudah mengenal produk dari Snack 88. Karak kaliang 88 ini mempunyai umur simpan 2-3 bulan dalam kemasan. Selain itu karak kaliang ini juga sudah didistribusikan ke banyak kota di Sumatera Barat. Beberapa pusat oleh-oleh terkenal di Kota Padang dan Bukittinggi juga mengambil hasil produksi Bu Leni. Tahun 2015 industri rumah tangga milik Bu Leni ini berkembang ke skala UKM (Usaha Kecil dan Menengah), dengan penghasilan di bawah 50 juta rupiah. Snack ini diolah dari bahan alami tanpa pengawet dan pewarna buatan. Perbincangan  kami pun terhenti karena hari semakin sore, kami pun pamit undur diri dan berjanji akan datang kembali esok hari untuk melihat proses produksi. 


Kembali ke Rumah Tamera selepas magrib dan makan malam, kelas pun dimulai. Kali ini kami membahas isu yang didapat selama observasi lapangan. Presentasi pun dimulai oleh Alfi dari Sekolah Gender yang memaparkan tentang temuan yang diperolehnya di lapangan. Alfi menjabarkan tentang jepretan-jepretan yang diambilnya. Awalnya Alfi hanya penasaran kenapa banyak warga Kampung Jawa yang memelihara anjing. Juga kebanyakan warga yang memelihara anjing adalah pemilik sapi. Berawal dari sana muncullah saran dan masukan dari masing-masing partisipan. Teman-teman fasilitator menyarankan untuk mengembangkan riset Alfi mengenai perilaku dan hubungan manusia dengan peliharaan.

Diskusi berlanjut dengan penjabaran dari Tio partisipan dari Kota Solok, yang menemukan ketertarikan terhadap perilaku pergaulan remaja yang suka nongkrong maupun pacaran di jalan  raya Lingkar Utara, Ampang Kualo, Kel. Kampung Jawa. Tio juga mengaitkan fungsi keberadaan taman-taman di Solok yang seharusnya bisa dimanfaatkan sebagai tempat nongkrong, namun sepi pengunjung. Presentasi berjalan meriah karena seluruh partisipan diharapkan memberikan masukan terkait ide yang dijabarkan.

Diskusi berlangsung sampai pukul 02.30 WIB dini hari dan memicu munculnya topik-topik yang potensial untuk diangkat sebagai riset. Seperti perilaku UKM (Usaha Kecil Menengah) yang ada di Kampung Jawa, keberadaan rusunawa, model multikultural masyarakat JAMBAK (Jawa, Minang, Batak dan Keling atau India), fenomena TPA (Tempat Pembuangan Akhir) dan pemukiman yang ada di sekitarnya, sampai obat-obatan herbal yang potensial tumbuh di tanah Kampung Jawa. Topik ini kedepannya akan difokuskan untuk diriset lebih lanjut oleh masing-masing partisipan. Metode penelitian ini dinamakan riset kolektif karena seluruh partisipan hadir menemui persoalan yang diperoleh di lapangan, berpencar dan saling berbagi data. Metode ini sangat membantu karena ada banyak sudut pandang untuk melakukan riset tertentu. 

Amelia Putri (Padang Pariaman, 1993) biasa disapa Amel. Mewakafkan diri sebagai relawan kemanusiaan sejak tahun 2017. Hingga sekarang terlibat di bidang Disaster Emergency Relief Management, sebuah lembaga respon bencana di ACT (Aksi Cepat Tanggap) Sumbar. Juga Aktif berkegiatan di Literasi dan konservasi di OrangUfriend Padang. Awal 2021, ia bergabung di Komunitas Seni Dangau Studio. Amel juga murupakan partisipan Lokakarya Daur Subur #6 di Kampung Jawa, Solok, 2021.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.