“December is hotter than November, this month warms up the murals scattered accros the city. But something else happened, the leafs, wells, and our clothes dry faster. So, if you are missing something — it’s just change taking its place”
(m.biahlil_badri Instagram caption, 22 Desember 2020)
Sekarang kita sampai pada Desember, yang sejak dari awal lebih panas dari bulan-bulan sebelumnya. Di pertengahan bulan ini kita menyambangi Sawahlunto. Kota yang dikenal dengan hasil alam batu bara, kareta api, dan bentuk geografisnya yang memiliki kekhasan tersendiri.
Seperti kuali, begitu Da Boy menjelaskan bentuk kota ini kepada Nica sebelum memasuki Sawahlunto. Dari Solok kita berangkat menjelang siang, bersama ; Albert, Anggra, Bohdana, Biki, Da Boy, Nica, Teguh, saya, dan Volta. Perjalanan ini adalah merupakan proses riset dan membuat sketsa untuk kebutuhan Kurun Niaga. Sebuah proyek seni dan arsip yang digagas oleh Komunitas Gubuak Kopi sejak 2019 lalu. Pada tahun sebelumnya kita membahas persoalan Jalur transportasi, kedatangan ‘asing’, dan pertukaran pengetahuan dan kebudayaan yang terjadi dari aktivitas perniagaan dan kolonialisasi di Sumatera Barat.
Beberapa minggu ini, teman-teman sudah mengunjungi beberapa titik di Solok. Membuat sket dalam bingkaian Kurun Niaga. Kali ini kita lanjut ke kota tetangga, yakni Sawahlunto. Kita singah di sejumlah titik penting di kota ini. Pertama adalah museum kereta api. Kita sampai di sana pada saat jam istirahat di mana pintu museum sedang ditutup. Lalu di sebelah kiri pintu masuk terlihat induk gerbong kereta berwarna hitam yang sedang diperbaiki. Kita dipersilahkan oleh penjaga untuk menyaksikan lebih dekat. Dia adalah Mak Itam, sebuah Lokomotif E1060 kareta api wisata sejak 2009, yang bertenaga uap. Kereta tua produksi Jerman antara tahun 1965/66. Kereta ini sepesialis untuk medan tanjakan. Kereta dengan status yang sama terdapat di Ambarawa dan Jaladara.
Mak Itam sedang diperbaiki dan akan beroperasi kembali di bulan ini. Sembari menyaksikan petugas memperbaikinya kita melanjutkan dengan membuat sketsa tubuh lokomotif ini. Beberapa saudara dari E1060 ini juga diperlihatkan oleh Pak Nurwansah ia terpajang sebagai sebuah foto di bengkel itu. Pak Nurwansah adalah seorang dari Dinas Perhubungan, yang turut memantau proses perbaikan ini. Katanya, saudara dari Mak Itam ini tidak dapat beroperasi lagi. Yang kemudian berhenti pada lelangan dan museum. Ia juga menceritakan pada kami bahwa di hari-hari sebelumnya Mak Itam juga kedatangan komunitas pecinta kereta dan penelitian mahasiswa teknik yang juga ingin mengetahuinya lebih dekat. Obrolan kami menghantarkan pada suasana foto bersama di depan Mak Itam.
Selang beberapa saat kami pindah ke depan museum, membuat sketsa lainnya. Saya bersama Volta dan disusul yang lain. Kami berdiri di atas Pasar Sawahlunto, dari sini terlihat bentang kota yang mengikuti kontur bukit. Juga jarak bangunan yang terlihat berdempetan satu sama lainnya.
“Setiap melihat ini, saya jadi ingat film Valparaiso, karyanya Joris Ivens” kata Albert ketika melihat ke atas bukit yang dipenuhi rumah-rumah dan gedung lainnya. Sementara itu teman-teman mengamati pebukitan itu dan mengabadikannya sebagai sebuah sketsa. Dari sini hawa panas pun terasa sedikit kuat, ya, wajar saja kita sedang berdiri diatas tanah batu bara.
Setelah ini, kita menuju Goa Mbah Soero, goa ini hampir saja akan ditutup karena melewati jam operasinya. Kita berkenalan dengan petugas di sana, katanya jika ingin masuk ke dalam goa kita tutup saja pintunya, agar pengunjung lain tidak ada yang masuk lagi. Setelah berputar melihat galeri arsip foto di lantai dua, kita masuk ke ruang ganti, menggunakan protokol keamanan; helm dan sepatu boot. Penjaga sudah menunggu di gerbang goa, sebelum masuk ia menjelaskan bagaimana goa ini ada, tentang bagaimana pekerja tambang dan tetap ada hingga kini.
Goa ini merupakan salah satu goa tambang pertama di Lembah Sugar Sawahlunto. Beliau menjelaskan tambang ini sudah dimulai semenjak tahun 1891,
“Cuma, yang di sini, tahun 1930 lobang ini sudah ditutup. Belanda yang tutup dulu, ya dengan berbagai alasan mungkin ya. Mungkin juga dengan rembesan air yang tinggi dan menjadi stock cadangan batu bara Belanda. Di 2007 lobang ini dibuka kembali untuk dijadikan objek wisata. Jadi di sini adalah tempat orang-orang rantai dulu bekerja. Sekitaran sini juga menjadi tempat tahanan ribuan orang”.
Sisi goa yang selalu basah, beberapa arsip foto orang-orang rantai dan rembesan air yang tinggi adalah visual yang menemani kami selama berada di dalam goa. Kita berhenti sejenak di lorong goa menuju keluar. Penjaga menjelaskan bahwa air ini sering disedot beberapa waktu jika ia terus menggenangi goa. Ada banyak lorong di dalam itu. Tapi belum aman untuk diakses. Pintu keluar goa ini berada di depan museum goa ini.
Sketsa dilanjutkan ke Puncak Cemara, konstruksi kota ini terlihat lebih luas dari sini. Bangunan-bangunan, menara pencucian batu bara, perumahan dan beberapa gonjong seperti Rumah Gadang. Sepertinya hari belum terlalu sore, kita masih sempat mampir ke Museum Gudang Ransum, sekitar 200 meter dari Goa Mbah Soero. Bangunan bekas dapur umum pekerja batu bara dan pasien Rumah Sakit Umum Sawahlunto, jumlah yang mencapai ribuan. Dalam lemari kaca, terlihat berbagai replika makanan. Sayur, roti hingga daging.
Sawahlunto memang tumbuh ketika tubuhnya dikeruk. Semua isi perutnya berjalan di atas tubuhnya. Hingga aktivitas itu berhenti, orang-orang datang mempertanyakannya kembali, menghibur keluarga, dan foto bersama setelahnya.