Robby Ocktavian adalah seniman keempat yang mempresentasikan hasil residensi daringnya dalam rangkaian Lapuak-lapuak Dikajangi (LLD) #3. Sebuah perhelatan dari studi nilai-nilai tradisi yang digagas oleh Gubuak Kopi melalui proyek seni berbasis media. Proyek ini dikuratori oleh Albert Rahman Putra, selain Robby, LLD #3 juga menghadirkan 5 seniman muda lainnya untuk merespon tema kuratorial “Merayakan Silaturahmi di Normal Baru”.
Para seniman yang berpartisipasi antara lain: Theo Nugraha, seniman sound dan seni perfromans asal Samarinda; Taufiqurrahman, yang biasa disapa Kifu, designer dan seniman visual asal Palu; Siska Aprisia, penari, koregrafer, dan pegiat budaya yang kini berdomisili di Yogyakarta; Avant Garde Dewa Gugat, komposer dan sound artist asal Padangpanjang; dan Utara Irenza, penari dan aktor asal Agam.
Proyek ini sudah berlangsung pada 5 September 2020 lalu, terdiri dari rangkaian workshop, residensi daring, diskusi terarah, kolaborasi, dan presentasi publik secara bergantian hingga 26 September nanti. Selama proses residensi virtualnya, Robby menjelajahi dan mengalami fitur-fitur komunikasi terkini yang biasa memfasilitasi silaturahmi. Sebagai tindak lanjut, ia memfokuskan percobaan-percobaan artistik pada salah satu fitur meeting room. 19 orang partisipan meeting yang tersebar di 8 kota di Indonesia, dipertemukan Robby dalam satu ruang untuk bersilaturahmi dalam kerangka percobaan artistiknya.
Dalam presentasi yang bertajuk “Kabar” ini, Robby mengajak partisipan meeting-nya untuk membacakan “partitur” teks yang ia susun sebagai acuan. Partitur ini terdiri dari rangkai kata: “Apa”, “kabar”, “kamu”, dan “baik”. Para partisipan meeting akan membacakannya sebagai kalimat yang acak, dengan intonasi yang beragam, tergantung keinginan partisipan. Bunyi-bunyi kata yang terpenggal memberi makna yang beragam, baik itu menyerupai makna kalimat yang sering kita dengar sehari-hari, ataupun upaya mendistorsinya.
Para partisipan meeting antara lain: Alifah Melisa (Jakarta); Charderry Pratama (Samarinda); Dini Adanurani (Jakarta); Faturrahman Arham (Samarinda); Hilary Pasulu (Jakarta); Jaeffri Kaharsyah (Bekasi); Pychita Julie (Jakarta); Syahrullah Ule (Samarinda); Niskala Utami (Tangerang); Ogy Wisnu S. (Bukittinggi); Panji Anggira (Jakarta); Prashasti W. Putri (Jakarta); M. Risky (Solok); M. Biahlil Badri (Solok); Biki Wabihamdika (Solok); Veronica P. Kirana (Padang); Zekalver Muharam (Solok); Raenal (Batusangkar); Mak Ben (Padang); Valencia Winata (Jakarta).
Karya ini ditampilkan secara live pada Selasa, 22 September 2020, pukul 20.00 WIB di halaman web gubuakkopi.id/kabarkabar, dan saat ini kita semua bisa menyimak tayangan ulangnya di halaman tersebut.
“Silaturahmi bertatap muka diniscaya akan memberikan banyak kebaikan dan keuntungan di masa mendatang bagi yang mengamalkannya. Namun, pada kondisi belakangan, ketika bertatap muka memiliki resiko dan bencana, silaturahmi dipaksa dilakukan jarak jauh dengan menggunakan teknologi yang ada. Tapi dalam praktik penggunaannya, terdapat beberapa hal yang menjadi hambatan dalam komunikasi.” Ujar Robby.
Selain pengguna yang gagap terhadap teknologinya, sering pula teknologi yang menjadi gagap karena keadaan serta bergantung pada kualitas perangkat dan jaringan. Hal ini dapat dijumpai dalam obrolan daring, di mana pesan yang disampaikan bisa terputus atau teracak akibat jaringan di suatu wilayah yang belum mumpuni.
Dalam pernyataanya kurator menyebutkan, seperti halnya satu ruang pertemuan yang dihadiri puluhan orang: sebelum tuan rumah memulai acara, semua saling berinteraksi memilih lawan bicaranya ataupun mumbuat grup-grup kecil. Di sana, kita tetap bisa menyaksikan seluruh wajah yang hadir dan suara-suara yang samar dalam ruang tersebut. Jika ruang itu fitur online meeting room, semua menjadi kebisingan yang seru, semua bisa mendengar, semua wajah hadir untuk setiap suara. Semua berebutan atau mengira-ngira siapa bicara pada siapa, atau “yang lain” harus mengalah untuk “yang lain”. Sebab, semua suara hadir di satu media pengantar suara, dalam getaran frekuensi sama.
Albert menambahkan, belum lagi, perangkat dan kualitas jaringan internet yang sering macet juga membuat kita menerka-nerka, dan menyusun sendiri kata-kata yang terpenggal itu dalam pikiran. Tidak hanya pesan-pesan yang terputus, tidak hanya orkestra kata-kata dan intonasi yang acak, aksi performatif Robby dan para partisipan meeting-nya juga mengajak kita meninjau kembali kemampuan teknologi mengakomodir “ruang” untuk kebiasaan kita sehari, semisal bergosip dan berbisik dalam arisan.* (rel)
Portofolio dan kuratorial project: Lapuak-lapuak Dikajangi #3