Kaget, mendengar dan menanggapi persoalan yang kemudian menjadi masalah besar lalu serius. Kadang melelahkan, ini tidak hanya peristiwa dunia kesehatan, namun juga ekonomi, sosial, pilitik agama dan budaya. Bagaimana tidak, bagi umat muslim peristiwa ini menghantarkannya pada sesuatu yang sangat jarang dialami. Hadir menjelang Ramadhan banyak hal yang berubah dari sebelumnya hingga praktik dan lokasi ibadah menjadi persoalan yang berat untuk diterima. Seperti pemberitahuan untuk beribadah di rumah saja.
Beberapa pekan lalu di kampung saya, Gantuang Ciri, Solok pemerintah nagari memutuskan untuk selektif memilih siapa saja yang boleh masuk ke dalam nagari. Keputusan ini direalisasikan dengan membuat Posko Pencegahan Percepatan Penyebaran Covid-19 di semua pintu masuk, Kampuang Baru, Kapalo Koto dan Pinang Sinawa. Juga himbauan untuk tidak shalat di masjid lalu tetap melaksanakannya di rumah. kemudian setiap harinya sektif itu semakin ketat, bagi para penagih hutang dan tukang kredit lainnya tidak boleh memasuki daearah Gantuang Ciri.
Di beberapa kesempatan saya ikut dalam penjagaan di salah satu posko, bersama relawan lainnya. Dengan topik yang saya rasa sama di kalangan masyarakat manapun. Salah satunya menanti hasil tes warga yang berstatus PDP (Pasien Dalam Pengawasan) di daerah tetangga. Masyarakat yang lewat dihimbau untuk menggunakan masker jika keluar dari nagari dan mencuci tangan sehabis dari luar. Ada yang sadar akan penyebaran, namun dengan jumlah kecil ada yang malas untuk mengikuti protokoler ini. Ya, namnya saja kaget tanggap. Keluarnya peraturan yang lamban oleh pemerintah pusat, membuat daerah ingin cepat-cepat menggapi ini dengan caranya sendiri.
Himbauan untuk tidak membuat keramaian, dalam bentuk apapun lebih terasa saat nenek saya meningal (6 April 2020). Tidak boleh menyalatkan di masjid, namun menggantinya di rumah duka saja. tentu dengan jumlah yang terbatas pula. Di Gantuang Ciri biasanya jika ada yang meninggal dunia, maka ada yang namanya mando`a atau berdoa bersama di rumah duka dengan bilangan waktu seperti, manigo ari (hari ke-3) manujuah (hari ke-7) duo puluah, tigo puluah, ampek puluh, hinga ada yangsampai seratus hari setelah kematian tersebut. Namun, saat pandemi ini tentu saja hal yang yang demikian dilakukan dengan keterbatasan. Tetap melakukannya namun dengan jumlah kecil.
Minggu, 26 April 2020 telepon saya berdering dari tempat tidur, ternyata seorang kawan mengabarkan kabar dari gang sebelah rumah saya. Kabar itu adalah terkait ramainya berita di Facebook Grup adanya salah satu warga Gantuang Ciri yang berstatus PDP meninggal dunia, kemudian dimakamkan dengan SOP Covid-19. Seketika saya langsung berjalan menuju lokasi untuk memastikan kabar tersebut. Di lokasi, terlihat pintu masuk sudah ditutup. Uni saya yang rumahnya tepat di simpang tersebut menceritakan runut meninggalnya warga tersebut.
Tak lama mobil dinas nagari datang membawa sembako untuk warga gang yang berada di sekeliling rumah duka. Gang tersebut di-lock down sampai hasil tes keluar. Peraturan bertambah dengan adanya pemberitahuan untuk menggunakan masker jika berbelanja sembako ke warung-warung. Semenjak itu Gantuang Ciri semakin kelihatan sepi, lalu ramai di Facebook Grup. Berbagai pandangan pun tumpah ruah di sana. hingga hasil tes keluar menunjukkan bahwa pasien terbukti negatif dari Covid-19. Mereka yang di-lock down bisa kembali keluar rumah. Lalu kemudian sedikit lebih ramai dari sebelumnya.
Di Facebook Grup ini pandemi memang sudah ramai dibicarakan semenjak adanya posko. Lalu ditambah dengan banyaknya perantau yang pulang kampung, akibat sepinya pusat perbelanjaan di perantauan. Membuat mereka memutuskan pulang sebelum peraturan PSBB diberlakukan. Juga setelahnya ramainya komentar di salah satu postingan warga, yang bermaksud mengajak untuk shalat kembali di masjid, komentar terus bertambah setiap harinya. Namun menanggapi hal tersebut ia memutuskan untuk menghapus postingan tersebut dengan alasan menghindari perpecahan. Memang kurangnya interaksi secara langsung membuat orang-orang memaksimalkan penggunaan teknologi untuk tetap berkomunikasi dengan yang lainnya.
Gantuang Ciri memang nagari yang pertama di Kabupaten Solok tanggap akan percepatan penyebaran virus ini. Hingga mendapatkan perhatian dari pemerintah kabupaten. Sehingga masyarakat membandingkannya dengan aktifitas daerah lain yang statusnya sama. Inilah sebetulnya yang membuat masyarakat merasa jauh berbeda dari sebelumnya. Sedangkan di nagari sebelah, mereka masih bisa melaksanakan shalat taraweh berjamaah di masjid, sedang kita tidak.
Di Kota Solok juga sudah ada posko pengamanan di berbagai pintu masuk, berbagai peraturan seperti, menggunakan masker bagi pengendara dan jika tidak mereka akan diperintahkan untuk balik kembali untuk menjemput masker, juga membatasi jumlah penumpang telah diterapkan. Kemudian berbagai upaya pencegahan semakin kuat semenjak adanya peristiwa salah seorang warga yang mendadak pingsan di Pasar Raya Solok.
Ramai lalu kemudian hening memang cukup sering terjadi di kota dan kabupaten Solok. Selektif yang kuat seiring adanya warga yang meninggal lalu dimakamkan dengan SOP Covid-19 di daerah kabupaten. Pemberlakuan jam malam, membuat perekoniam terancam, namun sepertinya ini tidak tepat. Iya, apa bedanya siang dengan malam?
Sekali lagi kita gagap menanggapi ini dari pusat hingga daerah. Tidak saja bagi rakyat biasa, kalangan selebritis juga ikut bicara akan pandemi ini. Bermodal popularitas mereka dengan mudah didengar banyak orang, terlepas setuju atau tidak. Dari sini semua semakin bingung dan sebagian mulai “terserah”.
Harimau!
Sesuatu mengagetkan terjadi lagi di Gantuang Ciri pada kamis, 14 Mei 2020. Sehabis berbuka di jalan menuju pulang, saya melihat masyarakat yang ramai sekali dari biasanya. Keramaian itu adalah kumpulan warga yang ingin menjemput enam orang warga yang terhalang menuju pulang karena dihadang tiga ekor harimau. Dan diramaikan oleh yang penasaran, termasuk saya.
Beberapa ada yang bersiap untuk pergi ke lokasi lalu sebagian ada yang justru sudah berada lokasi kejadian, namun belum memberi kabar. Mencoba Ingin sedikit lebih dekat dari lokasi bersama warga lainnya. Belum separuh perjalanan, kabar itu datang. Bahwa warga sudah berhasil dievakuasi. Namun di batas pemukiman dengan ladang, masyarakat bersama petugas yang berencana untuk menuju lokasi ramai menunggu mereka turun.
Malam itu tak terdengar pembicaraan pendemi yang sedang terjadi, semua topik didominasi oleh tiga ekor harimau. Kemudian di waktu sahur terdengar himbauan untuk tidak pergi ke ladang tiga hari kedepan. Pagi harinya BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) bersama Polisi Kehutanan menuju lokasi untuk menghalaunya dari ladang masyarakat.
Dari Shubuh masjid dibuka untuk shalat berjamaah, begitu juga dengan shalat Jumat. Dari sini semuannya seperti normal kembali, seakan kita akan menikmati hari lebaran tampa halangan. Tapi tunggu dulu, hari-hari berikutnya terdengar kembali kabar bahwa seorang warga di Koto Baru meningal dunia dengan hasil tes positif Covid-19. Malamnya saya dapat kiriman foto dari kawan, yang mana posko penjagaan yang sempat berhenti beberapa hari di Gantuang Ciri, kembali dibuka.
Tidak saja pandemi yang seolah datang dan pergi, harimau kemarin, muncul kembali di ladang warga nagari sebalah yang berbatasan dengan Gantuang Ciri. Mungkin saja benar itu harimau yang sama, dan mungkin juga harimau dari bukit lain yang pulang kampung.
Solok, 22 Mei 2020
Baca artikel lainnya terkait situasi Corona Sumbar