*Sambungan dari Gejolak Bersendikan Kopi (bagian I)
Gerakan di Tanah Sebelah
Ujung tombak serangan orang Minangkabau atas orang-orang Batak adalah Lembah Rao yang mengikuti Alahan Panjang menerima asas-asas Padri. Rao memiliki tradisi hubungan yang lama dengan dunia Minangkabau lainnya.[1] Rao juga menjadi salah satu daerah pertambangan yang paling penting di Minangkabau. Tidak heran juga kalau Tuanku Imam Bonjol melirik ke arah Rao. Sawah yang luas dan juga tanaman kopi menjadikan daerah ini menarik untuk digarap. Bahwa masyarakat Padri Alahan Panjang menyadari ini sebagai dimensi dan kekuatan di bidang perdagangan. Gerakan pertama Padri di sini ialah menaklukkan dan mengalih-imankan masyarakat sekitarnya. Seperti halnya Rao Mandailing juga kawasan penghasil emas.
Dalam kerangka kerajaan dengan pelabuhan-pelabuhan di tanah Batak ini, Bonjol berusaha mengkompensasi ketidakmampuannya berkembang lebih ke selatan pantai Minangkabau. Di sini Bonjol juga ingin menguatkan kedudukan dagangannya.
Persaingan Dagang
Tahun 1795 kota pelabuhan Pantai Barat Padang sudah dukuasai oleh Inggris. Sedangkan di pantai sebelah utara Padang, Padri menjadi saingan dagang terhadap Inggris. Kemudian pada abad ke-19 Inggris berada dalam kecemasan bahwa Padri Lintau merebut kekuasaan dan memaksa mereka menyerah. Pada tahun 1818 Juli, Raffles memasuki pedalaman Minangkabau, kedatangannya ingin memiliki suatu wilayah kekuasaan Inggris di Sumatera setelah pulau Jawa dikuasai oleh Belanda pada perang Napoleon. Selain kecintaannya pada sastra melayu kuno.
Ketika Meninggalkan Tanah Datar Raffles meninggalkan 1 detesmen di Simawang, untuk menjaga penduduk dari Padri Lintau dan menjaga agar jalur dagang via Singkarak hingga Limau Manih tetap terbuka. Tak lama, garnisum ini dikuasai kembali oleh Residen Belanda di Padang James Du Puy. Kemudian pada tanggal 28 Februari 1821 dilakukan perjanjian antara Du Puy dengan Rajo Alam terakhir Minangkabau (Sultan Syah Alam Bagagar), Tuanku Saruaso beserta calon penghulu dari desa-desa rute jalur emas di Padang. Hasilnya adalah penyerahan pusat wilayah kekuasaan Aditiawarman yang lama sebagai ganti penempatan tentara Belanda di Simawang. Pada bulan yang sama tentara Belanda menduduki Simawang. Maka, sejak inilah konfik antara Belanda dengan Kaum Padri.
Penyerangan pertama mereka bertempat di Simawang dan Sulit Air. 1821 Padri diusir dari Sulit Air oleh Garnisum Belanda pada 28 April. Pada tahun 1824, kenyataannya Belanda hanya menguasai daerah-daerah pusat seperti Pagaruyuang, Saruaso, Sungai Tarap, Lima Kaum dan Batipuh, yang sejak abad ke-17 menjadi mitra dagang VOC di Padang. Pada kondisi ini Padri yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol cukup kuat untuk dikalahkan.
Padri terus melakukan penyerangan, begitu juga dengan Belanda. Desa-desa yang benar mengikuti paham Padri tidak akan membuka peluang masuk bagi Belanda. Namun, juga dengan desa-desa yang tidak senang pada Padri, mereka merasa senang mendapat perlindungan dari luar, tidak hanya itu mereka juga menjadi tentara cadangan Belanda.
Pada Desember 1824 Sebuah pandangan yang berbeda dengan Residen sebelumnya, kali ini Kolonel H.J.J.L. de Stuers. Menganggap serbuan yang sangat tergesa-gesa. Dia berpendapat bahwa ingin membuat perjanjian dengan pemimpin utama Padri yang bertujuan untuk menetapkan wilayah kekuasaan masing-masing. Juga beberapa tuntutan yang diberikan Padri atas keprihatinannya terhadap suasana pasar. Salah satunya adalah meminta bantuan Belanda untuk secara bertahap melarang penghisapan candu dan adu ayam jago. Lalu kedua belah pihak berjanji saling melindungi pedagang-pedagangnya.
Maka, saat inilah Padri mengalami perubahan pada gerakannya, yang semula bersifat kekerasan tidak dapat lagi ia pertahankan lagi. Perubahan juga sudah terlihat beberapa tahun setelahnya ditemui orang-orang yang memakan sirih dan menghisap tembakau pada tahun 1824.
Perjanjian yang dinamakan “Perjanjian Masang” pada 15 November 1825 merupakan upaya Belanda untuk berdamai dengan Padri yang pada akhirnya perjanjian tersebut di atas, dilanggar oleh Belanda. Pandai Sikek yang merupakan salah satu kawasan yang memproduksi senjata api diserang. Maka dengan ini tentu saja kekuatan Padri akan melemah. Kemudian Belanda kembali menguatkan pertahanannya dengan mendirikan benteng di Fort de Kock. Penguasaan perdagangan kopi yang belum dianggap sempurna oleh Belanda, kembali berupaya untuk memikirkan ulang upaya pembelian kopi yang lebih menguntungkan. Pada waktu ini, semua kegiatan penjualan kopi dipegang lansung oleh belanda, termasuk Lembah Dataran Solok dengan bukit-bukit sekitarnya, yang diabaikan selama perang Padri, lalu diserang dan direbut pada 28 Februari 1838.
Setelah menguasai perdagangan, Belanda memberlakukan pajak sebesar 5% terhadap pedagang-pedagang di pasar. Hal ini memberatkan bagi pedagang Minangkabau, keresahan terhadap kekuasaan Belanda yang semakin ingin untung, masyarakat Minangkabau merasa tidak nyaman dengan ini. Pemberontakan atas pajak ini menjadi salah satu alasan Belanda tak harus ada lagi di Tanah Minangkabau. Guru-guru tarekat beserta murid-muridnya menentang pemberian pajak pada pedagang Minangkabau. Perlawanan ini juga dilakukan oleh keluarga raja sebelum tahun 1833.
Setelah sekian lama perperangan antara Padri dan Kaum Adat, timbul kesadaran atas gencatan yang mereka lakukan selama ini, bahwanya ini adalah perang sesama saudara. Maka dengan ini perjanjian yang sangat dikenal rata di masyarakat Minangkabau di Puncak Pato yaitu Adat Basandi Sarak, Sarak Basandi Kitabullah tercipta dengan tujuan persatuan mengusir asing. Kalimat yang disebut sebagai falsafah, secara tidak langsung memengaruhi watak atau kepribadian masyarakat Minangkabau sampai saat ini. Jati diri hingga kemurnian dari asli atau tidaknya masyarakat Minangkabau kerap disandingkan dengan latar belakang agamanya.
Perlawanan yang dilakukan masyarakat Minangkabau pada Belanda belum membuahi kemenangan. Penyerangan ini membuat pertahanan semakin melemah. Hingga dari sekian banyak tokoh Padri meninggal dunia, dan Tuanku Imam Bonjol dibuang ke Minahasa, Sulawesi Utara.
Perlawanan fisik maupun dagang oleh masyarakat Minangkabau terhadap pendatang merupakan suatu bentuk keinginan untuk memimpin pemerintahan sendiri. Beberapa sistem yang dibawa oleh pendatang di tanah Minangkabau salah satunya untuk penguasaan petani kopi. Juga kunjungan Van Den Bosch pada tahun 1833 yang diikuti denga plakat panjang yang terkenal atau deklarasi panjang kepada penduduk Minangkabau salah satunya juga berkaitan dengan kopi. Selain itu, sesudah, pemberontakan di Minangkabau pada Tahun 1833, Van den Bosch mempertahankan perubahan-perubahan yang menyangkut hubungan dengan urusan intern desa. Seperti penghapusan pajak untuk desa-desa dan menyatakan bahwa semenjak itu pemerintah Hindia Belanda tidak lagi menganggu pemerintahan desa.
Sewaktu saya berada di perbatasan Bukittinggi dengan Payokumbuh, saya memesan semangkok kawa, minuman yang dibuat dari sari daun kopi yang telah dikeringkan, kemudian direbus. Waktu itu kawa diberi susu, supaya manis. Latar belakang ini juga sempat saya lihat di internet, bahwanya masyarakat setempat tidak dapat menikmati kopinya dengan bebas, hingga mereka memutuskan untuk meminum kopi dari daunnya saja, Entahlah. Hingga kini pun kopi menjadi hidangan penting bagi masyarakat Minangkabau, sehingganya keinginan ingin menjadikan kopi daerahnya terbaik, kembali dikeluarkan produk kopi dengan kemasan dan bentuk yang menyesuaikan selera para pecinta kopi hari ini.
Pada tahun 1890-an, Minangkabau disapu oleh gerakan pembaru ortodoks. Ahmad Chatib adalah seorang pedagang kecil di Agam yang pergi ke Mekkah pada tahun 1876. Di sana ia menjadi guru yang berpengaruh di kalangan murid-murid Minangkabau [2]. Kemudian pada tahun 1900 awal gerakan pembaru ini rupanya sudah diturunkan pada murid-murid Ahmad khatib sendiri yang kembali ke Minangkabau untuk hidup sebagai guru agama independen dan di luar kerangka kerja persaudaraan di Minangkabau.
Banyak negara atau daerah kecil sekalipun menolak akan terjadinya perang, biaya yang begitu mahal mengancam akan lumpuhnya perekonomian negara tersebut. Mungkin saja pihak yang menang akan mendapatkan wilayah dan “harta”, namun tetap saja mereka telah kehilangan banyak putra-putri mereka. Kita sebut saja “Andalusia” yang dulu menjadi wilayah yang ditaklukan Islam, lalu menjadi Al-Andalus setelah ditakluti, tentunya masih dalam cara perperangan senjata dan dagang. Bahwa sesuatu yang dipaksakan dengan keras tidak akan bertahan lama. Hingga kini kita tahu Islam tidak lagi menjadi mayoritas di sana. Menguasai perdagangan mungkin saja menjadi awal dari pergerakan atau bahkan tujuan dari semua pergerakan merebut kekuasaan. Pada akhirnya mereka menjadi penguasa dengan membentuk sistem dagang hingga pemerintahan. Entah apa yang mengahurskan suatu kelompok atau golongan memutuskan untuk berperang. Pemahaman terhadap suatu paham oleh dua orang yang berlatang pendidikan, lingkungan yang membesarkan, tentu outputnya akan berbeda. Samakin maju dan berkembangnya Islam di dunia, tidak sedikit pergerakan kekerasan yang mengaitkannya dengan latar belakang agamanya, bahkan dituding sebagai bagian dari karakter agama itu sendiri. Terlalu banyak contoh perkara yang mengatas namakan agama, dalam artian kebencian pada yang lain atau kefanatikan yang tidak tepat.
Memang dari beberapa sejarah adalah teka-teki, tapi yang terpenting dari
semuanya bagi saya adalah memahami sejarah itu sendiri sebagai seni perjalanan,
yang berkesan atau bahkan diberi kesan sendiri oleh perancang, pelaku dan sang
penulis sejarah itu sendiri.*
* Sambungan dari Gejolak Bersendikan Kopi (bagian I) Artikel ini sebelumnya telah dipublikasi di Buku Kurun Niaga: Kala Negeri Dikelola Pemodal, diterbitkan oleh Gubuak Kopi – Art and Media Studies (2019)
[1] ibid, hlm, 280
[2] ibid, hlm, 377