Akhir-akhir ini “beragama” sedang maraknya diperbincangkan di Indonesia. Setidaknya pasca-terlapornya mantan wakil Gubernur DKI Jakarta pada 7 Oktober 2016 lalu, kerena diduga melakukan tindak pidana penghinaan agama. Peristiwa ini bermula saat dia melakukan kunjungan kerja ke Kepulauan Seribu. Saat berpidato dihadapan warga, yang mengatakan tidak memaksa untuk memilih dirinya pada Pilkada 2017. Pernyataan itu disertai kutipan Surat Al-Maidah ayat 51 yang menuai banyak reaksi publik. Saat itu berbagai media di Indonesia seakan berperang membela keyakinannya masing-masing melalui akun sosial media. Pembelaan terhadap suku dan ras pun begitu. Juga pada saat itu tidak sedikit pula berita-berita “hoaks” berkembang semakin banyak. Begitu sensitif dan berdampak besar jika menyinggung persoalan “keyakinan”. Merasa terpanggil, merasa benar dan tidak bersalah seakan menjadi peluru.
Di Indonesia saat ini ada sekitar enam agama yang secara resmi diakui, diantaranya, Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu. Keenam agama tersebut memegang peranan penting dalam kehidupan bermasyarakat. Peranan tersebut tak lepas dari pengaruh dari masing-masing, yang membentuk kebudayaan di tanah air. Banyaknya keyakinan dan kepercayaan, berbagai konflik antar agama tidak sedikit terjadi dan juga tak terelakkan. Semua ini seperti terjadi begitu saja. Mengenali suasana yang menganut ragam kepercayaan, kita bangsa indonesia meyakini bahwa Pancasila bisa menyatukan semua keberagaman. Sejatinya memang begitu, kita akan terlihat aman saja bila semua masyarakat memang meyakini betul, sebuah Bhineka Tunggal Ika.
Keberagaman, tidak hanya dalam kepercayaan dan keyakinan. Suku, adat, hingga kulitpun beragam. Saat saya mengakses laman Wikipedia, “ada lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa di indonesia. Atau tepatnya 1.340 suku bangsa menurut sensus BPS tahun 2010” (diakses rabu, 18 September 2019). Dari sekian banyaknya suku bangsa, dan agama, naluri takut kehilangan pun melekat dalam diri dan kelompok. Maka menyangkut persoalan yang di atas sangatlah rumit untuk dibicarakan di hadapan umum.
Beberapa konflik antar agama pernah terjadi, seperti konflik Aceh Darussalam. Tepatnya di daerah Singkil pada tahun 2015 yang diawali dengan demonstrasi umat muslim menuntut pemerintah untuk membongkar sejumlah gereja kristen yang berdiri. Namun, dapat terselesaikan dengan baik. Poso, Ambon, Lampung Selatan, Situbondo dan Sampang pun pernah terjadi karena beragam persoalan keyakinan. Kita tahu yang terpenting dari semua konflik tersebut bukanlah agama mana atau siapa yang benar dan salah. Akan tetapi, interaksi sosial yang terjalin dengan baik.
Di Minangkabau konflik mengenai persoalan agama juga sudah pernah terjadi. Padri, dikenal dengan perperangan besar akibat perbedaan pandangan tentang praktek beragama. Sebetulnya Islam mampu di terima dengan baik di tanah Minangkabau. Perkembangan fungsi surau adalah salah satu contohnya, surau sudah ada sebelum Islam masuk ke Minangkabau. Istilah surau sudah dikenal di Minangkabau jauh sebelum kedatangan Islam. A.A Navis menggambarkan surau merupakan tempat berkumpulnya anak laki-laki yang sudah akil baligh untuk tidur di malam hari dan menekuni bermacam ilmu dan keterampilan. Ini tidak berubah setelah kedatangan Islam, tetapi diperluas menjadi tempat ibadah dan penyebaran ilmu keislaman.
Jika, Islam di terima dengan baik di Minangkabau, lalu kenapa perperangan terjadi. Masyarakat Minangkabau tidak menolak kedatangannya, dan juga Islam bukanlah agam yang keras. Salamnya saja adalah doa untuk keselamatan orang tersebut. Kalau begitu, tentu saja bukan hanya tentang persoalan keyakinan dalam memeluk kepercayaan saja. Di sekolah, kita belajar sejarah tentang penyebaran agama dan kedatangan nenek moyang. Bahwa beberapa pengaruh tersebut salah satunya adalah melalui interaksi perdagangan. Setelahnya, para pedagang tersebut menikahi para wanita lokal lalu kemudian dengan mudahnya suatu paham disebarkan. Sejatinya perdagangan sangatlah berpengaruh besar pada sebuah kebudayaan.
Jati Diri dan Pengaruh Luar.
Kegiatan adat masyarakat Minangkabau sangat bergantungan pada perekonomian. Garis keturunan ibu, menjadikan harta pusaka diperoleh dengan cara yang berbeda dari suku-suku lainnya. Upacara-upacara adat yang sangat banyak dan mahal menuntut masyarakat Minangkabau mampu mempertahankan perekonomiannya. Upacara kematian, pernikahan, pemberian gelar, membangun hingga menaiki Rumah Gadang dan tentu masih banyak lagi upacara-upacara lainnya. Kesemuanya ini membutuhkan materi yang tidak sedikit. Tuntutan melaksanakan semua prosesi ini, harus terbayarkan oleh penghasilan suku kaum, atau keluarga yang harus mencari penghasilan tambahan di luar harta pusaka. Kemudian bentuk pekerjaan selain pertanian tercipta dengan adanya pasar-pasar yang mulai berkembang di Minangkabau.
Pada akhir abad ke-18 Minangkabau semakin berkembang dalam dunia perdagangannya. Ada daerah tertentu di Minangkabau Tengah yang selama berabad-abad berperan penting dalam ekonomi Samudra Hidia, suatu ekonomi yang dalam banyak hal lebih dinamis daripada ekonomi eropa dalam periode yang sama.[1] Daerah ini adalah sumber utama penghasil pelumas penting untuk ekomi Samudra Hindia, yaitu emas. Dengan emas, pemerintahan dan sistim perdagangan Minangkabau dibangun, dan juga mempengaruhi kehidupan agama, politik dan budaya daerah itu. Majunya perdagangan emas di Minangkabau menarik perhatian petualang-petualang dari berbagai wilayah untuk datang dan ingin mendapatkan barang dagangan dari sumbernya.
Beberapa kali perekonomian di Minangkabau mengalami pasang surut. Usaha-usaha masyarakat dalam mengembangkan kembali perdaganganya adalah salah satunya dengan memutuskan hubungan perdagangan dengan pihak yang menurut masyarakat Minangkabau merugikan mereka. Pendatang dari luar sangat mempengaruhi perokonomian. Sebelum abad ke-16 Aceh datang ke tanah Minangkabau untuk berdagang. Saat itu Aceh menguasai perdagangan, hingga awal abad 16 Belanda datang, namun belum ada transaksi perdagangan apapun. Tahun 1606 Aceh mengizinkan VOC berdagang dan membangun kantor dagang di Tiku. Perdagangan ini masih tetap dalam pengawasan Aceh, hingga saat meninggalnya seorang Iskandar Muda yang digantikan oleh Iskandar Tani, perdagangan bebas diizinkan Aceh pada belanda pada tahun 1637. Negeri Paman Sam juga sudah pernah menjajaki dataran Minangkabau pada tahun 1788. Kedatangan Amerika juga sama dengan negara-negara lainnya, yaitu ingin mendapatkan barang dagangan langsung dari pusatnya. Perdagangan kopi dan hasil pertanian Minangkabau lainnya meningkat setelah banyaknya permintaan luar negeri atas itu.
Kemakmuran para pedagang Minangkabau, menjadikan mereka lebih mudah untuk menunaikan ibadah haji ke kota suci Makkah. Mereka yang berada di makkah pada tahun 1803 mengalami masa yang mengguncangkan. Kota suci diserbu oleh pejuang-pejuang padang pasir yang tidak saja menyerukan “kembali ke syariat”, tetapi juga menyerukan tuntutan untuk kembali ke ajaran sang Nabi dan sahabat-sahabatnya yang paling fundamental. Mereka adalah kaum Wahabbi dari Arab Timur. Rupanya ajaran mereka sangat berkesan bagi beberapa peziarah Minangkabau sehingga mereka juga bertekad untuk melaksanakan pembaruan total apabila mereka tiba kembali ke rumah. Mereka dikenal sebagai Padri, yang berarti orang dari Pedir (Pidie), sebuah kota pelabuhan di Aceh . Dari tempat itu kebanyakan peziarah Minangkabau memulai pelayarannya ke Arab.[2]
Tentara Wahabbi memasuki Mekkah pada awal tahun 1803. Walaupun kelompok Wahabbi beberapa kali ikut menunaikan ibadah haji dan banyak doktrin mereka telah dibicarakan di mekkah sebelum tahun 1803, mereka sesungguhnya bertentangan dengan para ahli di kota itu. Akan tetapi sekarang, isi ajaran Wahabbi telah langsung dijelaskan kepada para jemaah dari Minangkabau yang ada di kota itu.[3] Para wahabbi tersebut berjihad dengan menimbulkan kehebohan di Mekkah. Mereka mulai melakukan kekerasan di sepanjang jalan ke Mekkah. Beberapa peraturan dan keharusan yang mereka terapkan seperti menghisap tembakau, memakai sutra, hingga menggunakan tasbih mereka serukan dalam pergerakan untuk meninggalkan kebiasaan tersebut. Suasana inilah yang melatar belakangi pergerakan para Padri di tanah Minangkabau sekembalinya mereka dari kota ini.
Kembalinya para jamaah haji Minangkabau dari kota suci Makkah adalah awal dari Padri dimulai, kebiasaan dan perilaku masyarakat yang mereka anggap melenceng dari nilai-nilai Islam dibenahi dengan cara mereka sendiri. Menghisap candu, kegiatan sabung ayam di pasar-pasar merupakan salah satu yang membuat para Padri gelisah. Tokoh-tokoh Padri menyampaikan ajarannya dengan berbagai cara.
Pada suatu ketika, dalam tahun 1803, tiga jemaah dari Minangkabau yang telah menyaksikan pendudukan Wahabbi atas Mekkah kembali ke tanah air. Salah seorang yang paling terkenal di antara mereka adalah Haji Miskin. Dia pernah terlibat dalam gerakan kebangkitan lokal yang dipimpin Tuanku Nan Tua sebelum pergi ke Mekkah. Selain Itu, dia sendiri selama empat puluh tahun menganjurkan pertobatan di rumahnya, di desa Batutebal, di Dataran Agam, dekat Koto Tuo. [4] setelah kembali dari Kota Mekkah bersama dua orang rekannya yaitu, Haji Piobang dari Luhak Limopuluh dan Haji Sumanik dari dari Luhak Tanah Datar. Kemudian Haji Miskin mulai berkhotbah di Pandai Sikat. Ia berkerjasama dengan Datuk Batuah yang merupakan seorang penghulu. Di sana Haji Miskin mulai memasuki pasar yang suka melakukan adu ayam jago, minum tuak dan menghisap candu. Ternyata keadaan di sana tidak siap dengan apa yang disampaikan Haji Miskin pada Khotbahnya. Keseruan para pengadu ayam jago atau dikenal dengan sabung ayam mulai terusik ulah kedatangan Haji Miskin di lokasi mereka. Benar saja, kegiatan seperti ini jelas haram bagi Haji Miskin, yang digolongkan pada pejudian. Begitu juga dengan menghisap tembakau dan candu. Setelahnya, usah Haji Miskin berlanjut pada kekerasan, dia membakar balai di Pandai Sikat, kemudian dia pergi ke Kota Lawas untuk melarikan diri dari Pandai Sikat.
Perjuangan Haji Miskin tidak satu kali di Pandai Sikat saja. Kekurangan-kekurangan dalam perjuangannya dibenahi di daerah yang dikunjungi selanjutnya. Seperti kekurangan guru agama membuat pergerakannya kurang maksimal. Sama seperti ke Pandai Sikat Haji Miskin pergi menuju daerah yang perekonomiannya maju. Sumber akasia dan kopi membuatnya terpanggil. Kedatangan Haji Miskin ke Kota Lawas juga menjadikan desa pecah menjadi dua kubu yang akhirnya berujung pada perkelahian. Di sini Haji Miskin dan pengikutnya kalah dalam perkelahian. Akhirnya Haji Miskin melarikan diri ke Bukit Kamang di utara.[5]
Di Bukit Kamang utara, juga ada seorang tokoh Padri, dia adalah Tuanku Nan Rinceh. Di kampungnya masyarakat juga giat dalam pertanian akasia dan kopi. Pada suatu masa, Tuanku Nan Rinceh demi mengabdikan usahanya dia mendirikan sebuah dewan di desanya. Dewan ini didirikannya untuk melindungi para pedagang-pedagang kecil yang dagangannya dirampok. Maka dengan dewan ini mereka bisa menuntut keadilan. Setelah mendirikan dewan ini, pergerakan Tuanku Nan Rinceh berlanjut pada mencatat nama-nama desa yang dikenal sebagai desa perampok itu. Kemudian dia mulai menghancurkannya satu persatu. Dengan munculnya Haji Miskin di Bansa pada kira-kira tahun 1805, tujuan perjuangan Tuanku Nan Rinceh tampak lebih beraspek militan.[6]
Tuanku Nan Rinceh segera dianggap sebagai sosok dasar Padri. Menurut laporan Belanda pada tahun 1830-an, dia bertubuh kecil, kurus, bertabiat berangasan, dan memiliki mata yang “berapi-api luar biasa”.[7]
Tuanku Nan Rinceh tidak sabar dengan pergerakannya, dia ingin secepat mungkin menjadikan semua desa menjadi masyarakat Islam. Menurutnya, dia akan langsung bergerak dengan pergerakan jihad akhir, yaitu akan memerangi semua yang tak beriman dengan pedangnya. Ia menganggap dua tahap perang suci lainnya jihad hati, yang ditunjukkan pada daging serta jihad lidah dan tangan, yang ditunjukkan untuk melarang tindakan-tindakan di luar hukum telah gagal di Minangkabau.[8] Dasar argumennya adalah bahwa sudah tiba pada saat untuk berjihad dalam kekerasan, karena dengan cara pembiretahuannya dan rekan-rekannya tidak dihiraukan. Tidak hanya itu ia membunuh kakak ibunya karena memakai tembakau. Setelahnya, ia pergi ke Bansa untuk mengumumkan sebuah peraturan atau tata tertib baru yang ekstrim dan harus diikuti.
Tanda-tanda lahiriah desa yang dulu, yaitu adanya adu ayam jago, perjudian, dan penggunaan tembakau, candu, sirih, dan minuman keras telah dilarang. Kini orang harus menggunakan pakaian berwarna putih sebagai lambang kesucian, para wanita harus menutupi wajahnya dan para pria membiarkan jenggotnya tumbuh, tidak boleh memakai perhiasan emas, dan pakaian sutra harus dijauhi. Tidak perlu dikatakan lagi, sembahyang lima waktu sudah menjadi keharusan sistim denda diberlakukan untuk yang melanggar peraturan ini.[9] Penggunaan kekerasan seakan menjadi ciri tersendiri bagi gerakan ini. Menggunakan alasan jihad dan melakuklannya penuh dengan ketidaksabaran, menjadikan dasar halal untuk sebuah kekerasan.
Strategi-strategi baru Tuanku Nan Rinceh dimulainya pada kampung halamannya di tiga desa di Bukit Kamang, yaitu Dala Magek dan Kota Baru telah menjadi Islam di bawah sistem baru. Strategi ini adalah mengadu desa satu dengan desa lainnya. Ada strategi serupa yang juga berhasil di dalam desa-desa. Terutama di dataran, banyak desa yang memiliki kekayaan dan status yang luar biasa daripada pegunungan. Desa-desa ini dengan mudah dibujuk untuk menerima sistem baru. Di sinilah terdapat kebanyakan desa-desa Padri asli. Setelah beralih iman, desa ini bisa diyakinkan dengan kewajiban moralnya untuk menyerang di daratan dan memeberlakukan sistem baru di sana.[10]
Semakin banyaknya desa yang diberlakukan sama, lambat laun, Tuanku Nan Tua tidak senang dengan kekerasan yang dilakukan Padri. Ia menolak menggunakan gengsinya untuk menolak tawaran Tuanku Nan Rinceh, dan Ketujuh malin di desa pegungan Canduang, Sungai Puar da Banuhampu membentuk persekutuan dengan Tuanku nan Rinceh di sebut harimau nan salapan. Karena masih adanya rasa kepatuhan kepada guru, mereka kembali memberikan penawaran kepada Tuanku Nan Tua agar mau bergabung dan merestui keinginan mereka. Mereka mengadakan pesta untuk melancarkan perundingan. Akhirnya para pemimpin Padri ini tidak berhasil dalam upaya membujuk sang guru. Tuanku Nan Tua tetap menolak dengan berlandaskan Al-quran dan Hadist, yang mana bahwa dakwah ini tidak haruslah dengan kekerasan.
Di Agam, para pemimpin Padri ini mencari Tuanku Mensiangan, yang cukup berpengaruh di Kota Lawas. Selain itu Tuanku Mesiangan juga tertarik pada gerakan Haji Miskin. Berbagai tantangan mereka ajukan kepada Tuanku Nan Tua, yang berakhir pada penyerangan ke desa-desa sekitar Koto Tuo. Akibatnya Tuanku Nan Tua kehilangan anak-anaknya dalam peperangan.
Kira-kira pada tahun 1811, Haji Miskin pergi ke Limapuluh Kota untuk menyebarkan ajarannya setelah meninggalkan bekas desanya di Bukit Kamang. Ia telah melihat keberhasilan Tuanku Nan Rinceh. Dia menetap di desa Aia Tabik yang kaya kopi di Gunuang Sago.[11] Di sini ia mendapat dukungan dari beberapa orang yang berpengaruh, baik penghulu maupun penguasa adat.
Tokoh Padri yang berpengaruh lainnya ada di daerah Lintau, yaitu Tuanku Lintau, dia adalah seorang yang cukup kaya. Dia pernah belajar di Natal, kemudian Pasaman. Dia terkesan dengan semangat Tuanku Nan Rinceh dalam pergerakannya, akhirnya pada tahun 1813, ia kembali ke kampung dengan keinginan untuk merubah sikap dan tingkah laku masyakat sekitarnya. Target awalnya adalah keluarga kerajaan yang ia sadarkan dari kebiasan yang melenceng dari Islam. Akhirnya para pemimpin Padri meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Sultan Arifin Muningsyah bersama Kaum Adat untuk meninggalkan kebiasaan mereka yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Memang Tuanku Lintau mempunyai hubungan kekerabatan dengan Yang Dipertuan, sehingga dengan ini ia ditunjuk oleh para pemimpin Padri untuk memimpin perundingan.
Namun dari perundingan tersebut, tidak ditemukan kata sepakat antara kedua belah pihak, akhirnya kawasan Pagaruyuang diwarnai dengan peperangan yang cukup panjang. Menurut catatan Thomas Standford Raffles, ia telah mendapati negeri ini terbakar sebanyak tiga kali.
(bersambung ke Gejolak Bersendikan Kopi – Bagian II)
* Artikel ini sebelumnya telah dipublikasi di Buku Kurun Niaga: Kala Negeri Dikelola Pemodal, diterbitkan oleh Gubuak Kopi – Art and Media Studies (2019)
[1] Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri, (London: Curzon Press,1983), hlm 97.
[2] ibid, hlm 204.
[3] ibid,hlm 206
[4] ibid,hlm 206
[5] ibid,hlm 208
[6] ibid,hlm 208
[7] ibid,hlm 208
[8] ibid,hlm 209
[9] ibid, hlm 210
[10] ibid, hlm 213
[11] ibid,hlm 217
_____________
Foto sampul: Peletakan batu pertama Sekolah Eropa Solok Sumatra (Tropenmuseum, tahun tidak diketahui)