Catatan hari ketiga Lokakarya Literasi Media: Daur Subur di Parak Kopi
Rabu, 19 juni 2019, masih dalam agenda kolaborasi Gubuak Kopi denga Surau Tuo AMR: Daur Subur di Parak Kopi, pada hari ketiga ini sesuai yang dijadwalkan ada dua materi yang akan disampaikan oleh dua narasumber, yang pertama materi mengenai kolase yang disampaian oleh Mia Aulia. Mia adalah seorang seniman kolase yang kini berkuliah di DKV ISI Padangpanjang. Dan yang kedua materi Fonomenal Keagamaan Di Sumatera Barat, yang nantinya akan disampaikan oleh Uda Robby Kurniawan yang juga termasuk bagian dari Surau Tuo (AMR).
Seperti biasanya, kawan-kawan dari Komunitas Gubuak Kopi dan Surau Tuo melakukan observasi setiap hari. Tapi, pada hari ini saya tidak bergabung dengan kawan-kawan yang lain, karena ada jadwal perkuliahan. Selepas perkuliahan, saya kembali ke Surau Tuo sekitar pukul tiga. Setiba di Surau Tuo ternyata kawan-kawan sudah membagi kelompok tentang pembuatan kolase, ada tiga kelompok, kelompok pertama ada 4 orang yaitu Caam, Kitiang, Bang Riski dan Bang Badri dan kelompok kedua ada 3 orang yaitu Bang Zaikal, Bang Volta dan saya sendiri kemudian kelompok terakhir adalah Holil, Haykal, Kak Mia dan Bang Albert.
Sebelumnya telah dilakukan kelas yang dipandu oleh Kak Mia dengan materi mengenai kolase. Kolase adalah menempelkan atau menyusun potongan gambar-gambar menjadi kesatuan gambar baru. Dalam kegiatan ini masing-masing kelompok diberikan beberapa koran bekas dan memanfaatkan koran-koran tersebut sebagai bahan membuat karya kolase. Kami memotong koran-koran tersebut, memilih gambar-gambar yang bisa disusun menjadi sebuah narasi baru.
Selepas sholat magrib maka masing-masing kelompok mempertasekan hasil karyanya. Kelompok pertama menghasilkan karya kolase yang menceritakan tentang pencitraan. Kelompok kedua menampilkan tentang perjudian dan olahraga, dan kelompok terakhir juga menampilkan tentang kediktatoran. Maka agenda kolase pada hari ini selesai dan dilanjukan keesokkan harinya.
Materi selanjutnya adalah Fonomena Keagamaan di Sumatera Barat. Dalam diskusi kali ini ada tiga poin kesimpulan yang dikemukan diawal oleh Uda Robby. Pertama ia katakan bahwa sulit mengatakan masing-masing organisaai ke-islaman di Sumatera Barat berlaku ideologis dengan paham keagamaannya; kedua, watak orang Minangkabau menetralisir prilaku statis; dan yang ketiga adalah bahwa point yang kedualah yang terus diselimuti belakangan ini sebagai tantangan keagamaan di Sumatera Barat. Pada kesempatan ini Robby menguraikan beberapa model kerja organisasi keagamaan di Sumatera Barat, serta bagaimana organisasi merespon pandangan publik yang dibangun oleh media terhadap dirinya.
Kami juga disuguhkan beberapa video pendek dan siaran televisi dakwah. Bersama-sama kita mengkritisi gaya atau karakteristik seorang ustadz dalam menyampaikan pengajian di salah satu media televisi dan juga ada video tentang sebuah aksi demonstran yang terjadi di Sumatera Barat. Dari kedua video tersebut Uda Robby mengatakan bahwa dalam pengajiannya tersebut tidak ada menyinggung tentang teks keagamaan, tetapi pengajiannya lebih mengenai raso dan pareso, alua jo patuik (Rasa dan Periksa, Alur dan kepantasan). Di ranah itulah kita sebagai audiens “diotak-atik”, sedikit sekali penguraian berbasis teks. Jadi pada dasarnya orang Minangkabau memang diajarkan untuk tidak mudah menerima sesuatu yang baru, tapi gampang luluh jika sudah berbicara soal rasa dan kepatutan.
Secara prinsip orang Minang juga diajarkan untuk memperkuat sifat empati atau sifat yang selalu dibawakan ke ranah perasaan (raso) dan juga mempunyai insting analisis (pereso), serta alur yang sesuai dengan konteks lokal (alua) dan juga sangat memikirkan sesuatu yang disampaikan itu haruslah dengan keadaan atau cara yang pantas. Tidak terasa diskusi selesai hingga pukul sebelas. Setelah diskusi, ageda kita lanjutkan dengan menceritakan kegiatan observasi siang tadi, berjalan-jalan mengelilingi kampung Parak Kopi.