Bulan ramadhan telah berakhir, maka datanglah hari Raya Idul fitri. Berbagai kegiatan dilakukan oleh warga dalam rangka merayakan hari kemenangan ini. Dari mendatangi sanak keluarga di luar kota, di kampung halaman, dan pergi berlibur ke tempat-tempat wisata. Namun di beberapa daerah warga memiliki cara sendiri menyambutnya. Nagari Gunuang Malintang adalah salah satu contohnya, Nagari yang terletak di Kecamatan Pangkalan Koto Baru, Kabupaten Limpuluh Kota ini melalukan tradisi tahunan pada hari ke -4 setelah lebaran, yang disebut “Alek Bakajang”.
Hari ke-3 setelah lebaran, tepatnya Jumat 7 juni 2019 jam 08.00 WIB malam dari kota Solok, saya dan Albert Rahman Putra, pegiat Gubuak Kopi, menuju lokasi diadakannya Alek Bakajang. ini adalah pertama kali bagi saya begitupun Albert untuk bergabung dalam kegiatan Alek Bakajang. Perjalanan terasa amat jauh, macet di beberapa jalan sudah termaklumi, karena memang biasa terjadi di hari lebaran dan setelahnya.
Dini hari sekitar jam dua, kami sampai di simpang Pangkalan, atau masyarakat sekitar menyebutnya Simpang TPR. Tidak lama setelah itu, Enggla Apertu Arfy, ketua Pemuda Nagari Gunuang Malintang datang dengan mobil menjemput kami yang baru saja tiba. Sembari perjalanan, kita saling berkenalan dan berbincang-bincang ringan tentang perjalanan kami tadi dan membicarakan tentang Alek Bakajang yang akan dilaksanakan.
“acara ini rutin kami adakan setiap tahunnya, sudah se-abad Alek Bakajang diadakan di kampung ini, meskipun ada yang tidak terlaksana itupun karena cuaca, yang mengakibatkan besarnya arus sungai,” ujar Enggla.
Sesampai di lokasi tujuan, kami menyempatkan untuk menyaksikan proses pembuatan Kajang (kapal). saya kaget dengan ukuran kajang yang cukup besar, di luar yang saya pikirkan sebelumnya. Banyak pemuda yang bekerja sampai pagi untuk persiapan kajang mereka. Kamipun tidak banyak bercerita hanya mendokumentasikan proses pembuatan kajang tersebut.
Menjelang subuh, kami menuju ke rumah orang tua Enggla untuk beristirahat dan beberapa hari kedepan selama acara Bakajang berlansung. Di mobil, Enggla juga bercerita, bahwa mereka (para pembuat kajang) bekerja sampai pagi, bahkan tidak tidur sebelum kajang mereka siap. Hal pertama yang saya pikirkan adalah begitu seriusnya mereka dan semangat gotong royong yang dilakoni oleh pemuda, tentu saja ini bukan hal yang kecil.
Hari pertama Alek Bakajang, kami bergegas menuju lokasi, tentunya masih penasaran dengan Tradisi yang satu ini. Sesampainya di lokasi acara tidak terlalu banyak orang yang datang, namun saya melihat ada satu kajang terparkir di tepi sungai. Sembari menunggu bagaimana berjalannya acara ini, kami memutuskan untuk minum kopi dulu di salah satu kedai kopi di pinggir sungai, yang hanya beratap plastic. Sepertinya ibu-ibu penjual kopi ini memang sengaja berjualan selama Alek Bakajang berlangsung, tidak hanya pedangang kopi, tapi ada juga yang jualan jajanan ringan. Kopi kami sudah hampir habis, tanda akan dimulainya acara belum juga terlihat, lalu kami memutuskan untuk berjalan kaki mengelilingi lokasi acara ini, melewati jembatan. Di sana terlihat beberapa kajang yang ditarik dengan tambang dan juga didorong oleh Anak Buah Kapal (ABK), ternyata memang begitu cara kajang ini berlayar di sungai.
Sesampainya di seberang sungai, terlihat banyak masyarakat berkumpul dari kejauhan, ada yang menggunakan pakaian adat dan juga pakaian penari, sepertinya akan ada Tari Pesambahan di sini. tak lama setelah itu, rombongan bapak-bapak berpakaian penghulu dan ninik mamak berjalan dan berhenti di tepi jalan surau, terlihat tulisan ” Selamat datang di Istano Dt. Bandaro, Jorong Koto Lamo”. Setelah tari pasambahan, rombongan ninik mamak beserta tamu undangan dipersilhkan masuk kedalam surau yang telah dihias, disebut dengan istano. Setelah ninik mamak dan tamu undangan duduk, Terdengar pantun-pantun adat oleh ninik mamak dan bundo kanduang di dalam “Balerong” (ruang khusus Bundo Kanduang).
Rasa penasaran sayapun belum terpenuhi. Pidato adat di dalam Istano masih berlangsung, kami kembali berjalan menuju panggung acara di tepi sungai. Di sana terlihat beberapa Kajang yang sudah terparkir dan anak-anak yang begitu asik bermain air. Kajang yang terparkir ini adalah kajang milik lima Jorong yang terdiri dari Koto Lamo, Batu Balah, Bencah Lumpur, Koto Mesjid, dan Balik Bukit. ” .
Kajang yang mereka buat menyerupai kapal pesiar besar yang mengarungi samudera. Meski bukan sebesar kapal pesiar sungguhan, namun pembuatan satu unit kajang ini membutuhkan dana belasan bahkan puluhan juta.
“bentuk kajang selalu berkembang setiap tahunnya, dulu kajang yang kami buat hanya memakai satu sampan, sekarang kan sudah dua. Dulu kami menghiasnya menggunakan bambu kemudian dibelah dan dibungkus dengan kain hingga menyerupai kapal” terang Pak Imi salah satu warga di lokasi acara.
Menurut cerita warga setempat, kajang adalah kendaraan ninik mamak beserta datuak dalam kegiatan adat. Karena belum adanya jalur darat waktu itu dan juga kedatangan nenek moyang mereka juga melalui jalur ini.
sesudah penyambutan tamu dan pidato adat dilakukan, mereka bergegas menuju lokasi acara di tepi sungai. Namun, ada sesuatu yang ditunggu-tunggu pemuda setelah pidato adat dilaksanakan, yaitu panjat pinang. Tidak ada peraturan khusus untuk itu. Berbeda dengan di beberapa daerah yang pernah saya kunjungi.
Kajang yang sudah mununggu kedatangan ninik mamak, kemudian siap untuk berlayar di sekitar lokasi acara. Kajang ditarik oleh pemuda masing-masing jorong menyusuri sungai untuk memamerkan keindahannya dan di dalam kajang juga terdengar dendangan alat musik tradisional talempong yang dimainkan berbeda-beda setiap Kajangnya. Setelah selesai dipamerkan, Kajang ditarik kembali dan dibawa ke jorong masing-masing untuk dipamerkan lagi besok harinya.
Malam setelah selesai acara di hari pertama, kami datang ke Istana Bancah Lumpur, sekitar jam delapan semua kalangan mulai dari anak-anak sampai orang tuapun ikut bergotong royong di dalam surau di sana juga berlangsung latihan penyambutan ninik mamak. ini sama seperti pembuatan kajang, mereka bekerja hingga pagi di Istano. saya begitu terkagum melihat semangat gotong royong yang begitu mereka senangi, jelas saja terlihat dari raut wajah mereka yang begitu gembira.
Alek Bakajang berlangsung selama lima hari berturut-turut dan berpindah-pindah setiap jorongnya. Selama lima hari kajang terus diperbaiki dan dihias semakin menarik. Setelah berlayar di jorong terakhir tidak ada lagi penghiasan Kajang, hari itu akan diumumkan jorong pemenang lomba Bakajang, biasanya ada pacu sampan untuk memeriahkan acara penutupan.
Sampai hari terakhir kami terus mengikuti kegiatan di lima jorong Nagari Gunuang Malintang ini. namun ada saja cerita-cerita lain dari masyarakat setempat mengenai Bakajang dan suasana beberapa tahun belakang di nagari ini. Salah satunya ialah keresahan masyarakat dibidang ekonomi. Mata pencarian masyarakat yang dominan di bidang pertanian gambia (gambir) ini harus rela menerima kenyataan hasil panen mereka yang jatuh harga hingga 75%. Dari beberapa warga kami mendengar bahwa ini adalah akibat dari berdirinya pabrik pengolahan gambia yang dimiliki oleh perusahaan asing, yang berdiri dua tahun belakang. Di mana-mana saya selalu mendengar cerita ini. Bagaimana tidak, dengan melemahnya ekonomi masyarakat Gunuang Malintang ini bisa berakibat pada tradisi yang rutin mereka lakukan setiap tahunnya, bisa saja tidak terlaksana, mengingat biaya dekorasi Istano dan pembuatan Kajang yang tidak murah. Semoga saja ketakutan itu tidak terjadi.