Mengkaji Fenomena Keislaman dan Budaya di Surau Tuo AMR
Rabu, 22 Mei 2019, pada hari ketiga ini masih dalam agenda yang sama saya bersama kawan –kawan Surau Tuo dan Komunitas Gubuak Kopi melakukan aktivitas seperti dua hari sebelumnya, bercerita dan diskusi. Dan pada hari ini cuaca lagi tidak bersahabat, hujan dan petir begitu awet sampai waktu berbuka tiba. Rencana yang sebelumnya, sore ini kami akan berjalan-jalan mengelilingi kampung Parak Kopi, tempat Surau Tuo berdiam sejak 18 hari lalu. Jalan-jalan ini selain mengenali lingkungan sekitar, juga ingin mengambil beberapa dokomentasi tentang Parak Kopi. Tapi karena cuaca, agenda ini tidak terlaksana seperti yang kami harapkan.
Hari semakain sore dan tidak memungkinkan untuk jalan-jalan sementara waktu berbuka sudah dekat, seperti biasa persiapan untuk berbuka sudah harus dipikirkan. Volta Ahmad Jonneva adalah anggota dari Komunitas Gubuk Kopi, ia tidak hanya piawai dalam bermedia tetapi ia juga jago dalam masak-memasak. Dia lah – dan dibantu oleh kawan-kawan lainnya – yang memasak untuk berbuka kami nanti. Tidak lama berselang, saya dan kawan-kawan selesai berbuka, datanglah Robby Kurniawan dari kampungnya di Padang Panjang. Ia juga salah seorang anggota dari Surau Tuo Institute yang ada di Jogja. Kedatangan ia kali ini dalam rangka bersilahturrahmi sekaligus bertukar pikiran bersama kami, termasuk teman-teman dari Komunitas Gubuak Kopi.
Seperti malam sebelumnya, agenda diskusi lanjutan kami mulai pada pukul 20.00 WIB. Diskusi kali ini, dimoderatori oleh saya sendiri. Tema diskusi yang akan disampaikan oleh Robby adalah “Fenenoma Keagamaan di Indonesia”. Ia memulainya dengan memperkenalkan latar belakangnya, sebagai mahasiswa pasca-sarjana Universitas Islam Negeri di Yogyakarta, dengan fokus studi Muqhashid Syariah (Tujuan-tujuan Syariat). Bahwasanya ada beberapa fonemena keagamaan yang menarik untuk kita bahas, baik yang terjadi di Indonesia pada umumnya, maupun di Sumatera Barat.
Di Minangkabau dikenal adanya sebuah adagium “Adaik Basandi Syara’ – Syara’ Basandi Kitabullah” (ABS-SBK) bahwasannya adat itu tidak lepas dari yang namanya syarak/syariat. Jika kita menelusuri adat lebih dalam lagi, menurut Robby, nanti muaranya kita juga akan bertemu dengan syariat. Sebaliknya, adat di Minangkabau jauh sebelum Islam masuk, masyarakat juga sudah melakukan aktivitas yang ‘islami’ atau aktivitas yang benar menurut Islam.
Ketika Islam masuk di Minangkabau, Islam tidak lantas merubah kebudayaan, tetapi menyelaraskannya dengan adat, atau merubah alasan/latar belakang kebiasaan itu sebagai cara untuk mendekatkan diri kepada tuhan. Merespon pembahasan tersebut timbullah pertanyaan dari Biahlil Badri, seorang anggota Komunitas Gubuak Kopi, ia mengenang kembali ketika dahulu ia belajar Budaya Alam Minangkabau (BAM) di sekolah, ia mempertanyakan apakah ABS-SBK ini sudah final?
Menanggapi pertanyaan Badril, Robby Kurniawan berasumsi bahwa sebenarnya istilah ABS-SBK itu adalah harga ideal yang mestinya orang minang capai, namun kita lihat masih belum terealisasikan keseluruhannya. Artinya ABS-SBK masih dalam diskursus atau wacana yang masih mencari ‘bentuk’nya.
Robby juga menyinggung teori Fazlur Rahman yaitu double movement (gerak ganda/bolak balik), misalnya mengembalikan sebuah peristiwa kepada tekstual (ayat) Al-Quran dan dikembalikan lagi kepada kita yang dianugerasi kemampuan berfikir. Dalam hal ini mengkaji kembali maksud dari ayat tersebut kemudian disesuaikan dengan sifat persoalan hari ini.
Kemudian fonemena keagamaan di Indonesia memuncak pada tahun 1970-an, dengan pernyataan “Islam Yes, Partai Islam No” oleh Nurcholis Majid. Pada fase ini, Islam sudah mulai membuka diri pada modernitas. Pada tahun sebelumnya, Islam masih membicrakan masalah-masalah taabudi atau masih dalam persoalan takaran ibadah. Ibadah di sini masih membahas masalah sholat, puasa, zakat, dan lain sebagainya.
Nurcolis Majid dan Syafii Maarif, mereka juga berguru ke Fazlur Rahman, kemudian mulai mengembangkan pola pemikiran yang lebih segar di Indonesia, bahwasanya Islam saat sekarang ini tidak lagi membahas masalah taatbudi saja, tetapi lebih menyeluruh dan juga merespon persoalan-persoalan kontemporer, lebih terbuka dan tidak ‘kaku’ lagi. Artinya Islam juga relate pada dunia porpolitikan, kebudayaan, perdagangan, dan lainnya atau dikenal dengan istilah taatquli, yang juga mengedepankan proses berfikir.
Kemudian kembali lagi pada masalah adat dan kebudayaan, bahwasannya seni, budaya, adat dan agama itu saling keterkaitan, khususnya yang ada di Minangkabau. Albert Rahman Putra, penulis dan pendiri Komunitas Gubuak Kopi, menuturkan bahwa penting untuk membedah persoalan-persoalan yang kecil dengan beragam kaca mata. Penting untuk mengkaji kembali teks-teks lama ataupun kitab suci, menarik esensinya, dan kemudian bagaimana kita bisa menerapkannya sesuai isu dan konteks sosial sekarang. Dan tugas kita hari ini, salah satunya adalah bagaimana kita mengolah media di masa depan, dan hal-hal futuristik lainnya.
Dengan agenda silaturahmi yang sudah berlangsung tiga hari ini, saya merasa beruntung bisa berkolaborasi dengan Komunitas Gubuak Kopi, sedikit banyaknya saya dapat mempelajari persoalan agama, seni, dan budaya, begitu juga dengan cara berkomunitas. Setelah selesai diskusi saya sebagai moderator menarik beberapa kesimpulan, seperti yang kita uraikan di atas, dan forum saya tutup. Kemudian malam kami lanjutkan dengan bercerita lepas dan bersenda gurau sampai sahur.