Fenomena Keislaman di Indonesia

Memahami Islam Jangan Hanya Sebatas Tekstual

Sebagai negara mayoritas Islam di dunia, Indonesia memiliki ragam kebudayaan. Tersebab itu, antara kebudayaaan dan agama begitu erat kaitannya. Ia bagaikan dua sisi koin yang tak bisa dipisahkan. Sehingga kajian kebudayaan dan agama akan terus menarik hingga kini.

Begitu juga dalam persoalan politik. Islam dalam konteks politik di Indonesia pernah  mendapat angin segar pada tahun 1970an. Saat itu, intelektual Islam Indonesia, Nurcholish Madjid mengeluarkan slogan “Islam yes, partai Islam no”. Slogan ini membuka mata publik Indonesia akan kajian Islam yang lebih terbuka.

Demikianlah diungkapkan Robby Kurniawan, selaku pemateri pada acara silaturahmi Komunitas Gubuak Kopi dengan Surau Tuo AMR, di Alai Parak Kopi, Padang, Rabu (22/05). (Tulisan lainnya terkait Silaturhami Gubuak Kopi ke Surau Tuo AMR)

Dalam diskusi yang dimulai pukul 20.00 itu, terang Robby, maksud slogan yang dikemukakan Cak Nur itu, bagaimana Islam tidak disemata-mata digunakan untuk politik praktis. Bukan berarti Islam anti politik. Islam lebih luas dari sekadar politik.

Mengingat pada tahun itu, ada tiga partai yang ikut sebagai peserta pemilu. Di antaranya ada partai Islam sebagai kontestasi politik pada masa itu. Adapun partai yang ikut pemilu pada saat itu yaitu, Partai Golongan Karya (Golkar),  Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Sebelum tahun 1970an, pembicaraan tentang Islam lebih banyak pada persoalan-persolan تعبد (ibadah) saja. Diskusi yang mengarah kepada تعقل (berdasarkan pikiran), seperti memikirkan kelangsungan hidup, kesejahteraan masyarakat, dan kemiskinan belum banyak mendapat sorotan. Sedangkan ajaran Islam tidak sebatas persoalan ibadah saja. Sebagai agama penutup yang dibawa Nabi Muhammad Saw, Islam memikirkan seluruh aktivitas kehidupan di dunia.

“Pada 1970an, merupakan angin segar bagi diskusi Islam. Di tahun ini, pembicaraan terkait Islam yang berdampak kepada hajat orang banyak dimulai. Misalnya, bagaimana Islam untuk kepentingan publik, seperti memandang kehidupan petani dan upaya menyejahterakan masyarakat,” terang mahasiswa pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta itu.

Fenomena itu tidak hanya terjadi di Indonesia saja, tapi sudah menjadi pembahasan umum di seluruh dunia. Islam, jamak dianggap sebagai ajaran yang kuno dan kolot. Anggapan tersebut terjadi karena keterbatasan dalam memahami teks ajaran Islam.

Melihat fenomena itu, menurut Fazlur Rahman yang juga guru Cak Nur di Chicago, Amerika Serikat, untuk memahami Islam hari ini, muslim tidak bisa hanya terpaku pada teks. Dalam teorinya double movement, ia menyebut Al-Quran sebagai sumber teks keagamaan mesti dipahami semangat dan pesannya. Hal tersebut mesti dilakukan sebelum diterapkan dalam kehidupan kontemporer. Pola pikir seperti itu akan membuat pemahaman Islam selalu relevan di setiap zaman.

“Dalam persoalan ganja. Kita tidak dapat mengatakan budidaya ganja semata-mata haram. Dalam kondisi tertentu mengubah fungsi ganja sebagai tanaman yang bisa dimanfaatkan untuk publik juga mesti dipikirkan, sebagai penganti plastik, misalnya,” kata Robby.

Solusinya, kembali ke Al-Quran dan Al-Quran itu kembali pada konteks kekiniaan. Maksudnya, Al-Quran dijadikan sebagai sumber pengetahuan yang mesti diambil intisarinya. Intisari Al-Quran itulah yang kemudian diterjemahkan dalam konteks kekinian. Sebab, tidak semua persoalan kekinian terjamah oleh Al-Quran secara tekstual.

Robby Kurniawan saat menyampaikan materi diskusinya di Surau Tuo AMR (22/05/2019)

Persoalan keagamaan cukup kompleks seiring komentar tokoh Islam lainnya, seperti M. Arkoen. Menurutnya, pemikiran Islam luput membahas persoalan yang belum terpikirkan pada zaman sebelumnya, seperti penemuan internet dan dampaknya dalam kehidupan sosial. Akibat lanjutnya, produk-produk pemikiran Islam dewasa ini melahirkan kesimpulan yang parsial (setengah-setengah).

Lebih lanjut, kelatahan terhadap pemahaman agama yang parsial kian menjamur. Di Sumatera Barat, diskusi keagamaan dapat dikatakan sempit. Hal itu dipengaruhi oleh mayoritas ulama dan buku-buku bacaan berhaluan konservatif. Sumber keagamaan yang hanya dipahami sebatas tekstual saja ikut mempengaruhi kesempitan diskusi tersebut.

Seiring kelatahan itu, pemahaman keislaman yang terbuka cukup mendapat banyak tantangan di Sumatera Barat. Meski begitu, perlu dicatat, meski berpemahaman konservatif, karakteristik masyarakat Minangkabau juga tidak bisa dipengaruhi ke arah radikal. Itu ditangkal oleh tradisi kebudayaan yang berkembang di Minangkabau. Kebudayaan Minangkabau tidak memberikan akses pada pemahaman radikal.

Zulfikar (Bukittinggi, 1991). Biasa disapa Fikar, lulusan studi Hukum Keluarga, Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol, Padang. Anggota Surau Tuo AMR. Sebelumnya ia juga sempat bekerja selaku jurnalis di beberapa media lokal di Sumatera Barat.

One comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.