Kinari Bersiul

Catatan Observasi Awal Mengenal Silek Tuo Nagari Kinari

Kamis, 18 Oktober 2018, kegiatan para partisipan proyek seni Lapuak-Lapuak Dikajangi #2 lebih mengarah kepada penelitian lapangan. Beberapa partisipan dari kegiatan ini terdiri dari Prasasti Wilujeng Putri (Jakarta) yang biasa saya sapa Asti, Jatul Dokter Rupa (Lombok), Ragil Dwi Putra (Jakarta), Hafizan (Padang), dan saya sendiri Dewi Safrila Darmayanti (Pekanbaru) memilih untuk pergi ke Nagari Kinari. Perjalanan ini didampingi oleh Volta, salah satu fasilitator yang akan memberi petunjuk kepada partisipan untuk menelusuri bagian-bagian tertentu di Nagari Kinari.

Perjalanan dimulai oleh Asti, Jatul, Ragil, dan Volta menggunakan kendaraan roda dua. Sedangkan saya dan Hafiz menyusul. Ketika berangkat cuaca di Kota Solok sangat cerah, sehingga dari beberapa partisipan tidak membawa jaket untuk melindungi tubuh. Pertama partisipan mengunjungi kediaman keluarga Volta, di kediaman keluarga Volta kami disuguhi makan siang. Lauk pauk yang hadir menggugah selera makan teman-teman, seperti telur dadar, gulai pucuik ubi (daun singkong), sambal jariang (jengkol) dicampur kentang.

Setelah makan siang selesai, mulai rasa mengantuk menyerang, Asti posisi di dekat sofa untuk berbaring sejenak. Tidak hanya Asti, Jatul juga mengambil posisi untuk membaringkan tubuh. Tetapi tidak berselang lama, Jatul mengajak Volta bermain angka seperti sulap, bahwa jatul akan menebak hasil dari angka yang sudah ditulis volta sebelumnya.

Setelah main tebak-tebakan diiringi minum kopi yang ditungkan di piring kecil, waktu pun menunjukkan kami harus segera beranjak untuk mengunjungi Rumah gadang.

Rumah gadang adalah nama untuk rumah adat tradisional Minangkabau yang banyak dijumpai di provinsi Sumatera Barat. Rumah ini juga disebut dengan nama lain oleh masyarakat setempat dengan nama Rumah Bagonjong atau Rumah Baanjuang. bagonjong merujuk pada model atap yang sangat khas, menyerupai tanduk dan disebut gonjong. Lalu, baanjuang merujuk pada model badan bangunan yang sekilas juga menyerupai kapal.

Siang itu kami mengunjungi salah satu rumah gadang dari pihak keluarga Volta. Salah satu rumah gadang yang sudah berdiri sejak 1955. Kira-kira sebulan sebelum partisipan mengunjungi Solok telah terjadi banjir bandang di sekitar sini. Sehingga ruangan di bawah rumah gadang yang dijadikan tempat ternak ayam akhirnya dibersihkan dan dipindahkan tempatnya. Kalau tidak dipindahkan maka rumah gadang tersebut terseret oleh banjir bandang tersebut.

Setelah berbincang-bincang dengan keluarga Volta, partisipan pun diperbolehkan melihat-lihat rumah dan memfoto rumah termasuk ukiran yang terdapat di rumah gadang tersebut. Volta pun juga menunjukkan tempat menggantung lampu pada zaman dahulu sebelum listrik masuk ke Nagari Kinari. Dari penjelasan Volta ada terdapat salah satu perbedaan dari rumah gadang, salah satunya adalah jenjang di dalam ruangan rumah gadang. Ibarat pepatah tagak samo tinggi, duduak samo randah yang artinya tegak sama tinggi, duduk sama rendah. Berarti ada beberapa aturan dalam rumah adat salah satunya siapa yang akan duduk di tengah rumah, dekat pintu kamar, dekat pintu masuk, dekat tiang rumah, dan sebagainya. Begitulah peraturan adat di rumah gadang ketika acara adat sedang berlangsung.

Selanjutnya partisipan mengelilingi rumah gadang tersebut, hingga ke belakang rumah dan melihat keadaan di ruang bawah rumah gadang. Terdapat banyak kayu dan bahkan ada sangkar burung. Di belakang rumah gadang terdapat sungai. Sungai tersebut sudah diberi batu yang dilapisi kawat, gunanya untuk mengantisipasi keadaan air sungai yang meluap. Di belakang rumah, Jatul mencoba mengunakan caping, memegang cangkul, dan berfoto. Dia terlihat seperti petani, ditambah ada gerobak di depan Jatul, oleh karena itu Ragil mencoba mengambil gambar dengan efek hitam putih sehingga terlihat seperti zaman dahulu.

Jatul berpose di bawah Rumah Gadang

Di depan Rumah Gadang milik Nenek Volta

 

Melihat salah satu rangkiang di Nagari Kinari.

Gemuruh tiba-tiba terdengar padahal ketika dilihat awan mendung bukan berada di Nagari Kanari, maka partisipan yang telah dipimpin oleh Volta segera meminta izin kepada tuan rumah untuk melanjutkan kegiatan selanjutnya. Partisipan pun singgah ke salah satu rumah yang di depan rumah tersebut terdapat rangkiang (lumbung padi). Seiring melihat-lihat rangkiang (lumbung padi), partisipan bertemu dengan uda (sapaan/abang) hendra. Ternyata uda Hendra salah satu murid silek tuo Kinari. Uda Hendra bercerita sedikit tentang silek Kinari dan mengajak partisipan dan Volta menuju kediaman guru silek tuo Kinari.

Partisipan dan Volta diiringi oleh Uda Hendra menuju kediaman guru silek tuo. Seluruh yang pergi ke kediaman guru melewati sawah dan bukit. Rumah guru silek tuo Kinari masih sangat tradisional. Masih terbuat dari kayu dan ruang tamu dalam rumah tersebut seperti anjungan. Sehingga apabila kita berdiri posisi langit-langit rumah sangat dekat dengan kepala. Kami bertemu dengan beberapa orang tua di sana dan Mak Siren sebagai narasumber utama. Sebelumnya Uda Hendra menjelaskan bahwa silek Kinari adalah silat yang tidak untuk dipertontonkan dan berbeda dengan silat lainnya. Sifat silek Kinari pun sangat tertutup, yang belajar silat ini juga tidak banyak ketika pelatihan seperti terdiri dari dua atau empat orang. Menurut Uda Hendra tidak boleh banyak-banyak harus dituntaskan satu persatu.

Dipertegas kembali oleh Mak Siren bahwa silek tuo Kinari adalah silek yang diperuntukkan untuk kebatinan atau untuk latihan pendalaman spiritual serta melatih kesabaran. Sehingga butuh waktu untuk mempelajari bertahun-tahun atau waktu yang tidak sebentar. Dikatakannya kembali bahwa waktu minimal mempelajari silek tuo adalah 3 tahun. Mak Siren sudah belajar silek tuo Kinari dari umur 15 tahun.

Kurun waktu yang sudah lama dengan umur Mak Siren yang tidak tergolong muda lagi, Mak Siren tetap mengajarkan kepada siapapun yang ingin belajar silek tuo Kinari tersebut. Sebelum belajar silek tuo Kinari maka sang murid membawa ayam sebagai syarat mempelajarinya. Ayam yang dibawa memiliki kriteria khusus yaitu berumur di atas 6 bulan atau dewasa, memiliki paruh kuning dan kaki kuning, dan harus ayam berjenis kelamin jantan.

Silek tuo Kinari mempunyai tahap-tahap dalam setiap pembelajarannya yaitu mempelajari bungo silek (bunga silat) terlebih dahulu atau dinamakan mencak/pencak. Kemudian melatih bunga silat tersebut di ruang tertutup biasanya di dalam rumah. Setelah menguasai dasar silat maka akan dibawa ke lapangan terbuka atau lebih luas, kemudian di atas sajadah, di atas papan sekeping, dalam kain sarung, latihan menggunakan pisau khusus bernama kerambit atau kurambik, di lapangan luas kembali atau di sawah.

Bagian di lapangan luas awal mula menggunakan lampu minyak atau biasa disebut lampu semprong, setelah melewati beberapa waktu maka diganti menggunakan serabut kelapa. Serabut kelapa tersebut dibakar dan menjadi penerangan latihan di malam hari, walaupun serabut kelapa tersebut mati latihan terus berlanjut hingga adzan subuh berkumandang.

Setelah murid dianggap mampu untuk menguasai mencak dan kepekaan, maka latihan kepekaan memasuki tingkat selanjutnya. Latihan pada akhirnya tidak menggunakan penerangan. Ketika sudah mencapai titik puncak maka sang murid yang melawan guru akan melawan harimau, begitu diceritakan Mak Siren. Harimau akan datang sendiri ketika murid sudah menguasai seluruh pelajaran yang diberikan oleh guru. Penanda akan ‘tamat kaji’ (menguasai keseluruhan/khatam) adalah ketika harimau kalah. Pertanda kalah akan dirasakan apabila harimau tersebut mundur sebelum subuh. Apabila murid belum menguasai secara penuh maka harimau tersebut akan menyerang terus-terusan hingga adzan Subuh berkumandang. Apabila harimau tersebut tidak pergi, maka sang guru melempar ranting ke arena latihan seperti memberitahukan bahwa murid sudah melewati batas kemampuan dan tidak mampun untuk melawan harimau. Hal itu dilakukan secara terus menerus hingga sang murid ‘tamat kaji’.

Mampir ke Rumah Gadang Nenek Volta, di Kinari

Setelah mendengarkan penjelasan dari Mak Siren, maka Partisipan bernama Ragil bertanya bagaimana cara untuk mempelajari silek lidah. Mak Siren mengatakan bahwa silek lidah  adalah tahap terakhir pencapaian dari keseluruhan silat. Silat sesungguhnya terdapat disini. Mempelajari silek lidah adalah mempelajari ilmu kebatinan. Ilmu kebatinan tersebut dipelajari di Surau. Murid akan dilatih terus menerus bagaimana berbalas pantun dan berbicara. Ibarat pepatah alun takilek, alah takalam. Maksud dari pepatah ini adalah belum terlihat sudah tahu apa yang akan dilakukan.

Oleh karena itu, mempelajari tentang cara ber-silek lidah juga mengalami proses yang sangat panjang. Hal ini yang paling penting dalam tingkat mempelajari silat. Dan sebab itu mempelajari silek tuo Kinari yaitu melatih kesabaran. Contohnya saja murid akan dituntut untuk tidak menangkis serangan, serangan pertama hingga ketiga. Seseorang yang belajar silek tuo Kinari akan menghindar. Tetapi akan menyerang ketika pukulan ke empat ditujukan. Tidak ada negosiasi yang akan dilakukan ketika pukulan ke empat dari lawan sudah dilayangkan ke murid silek tuo Kinari. Ibaratnya menggunakan silek tuo Kinari adalah satu detik sebelum mati. Alasannya digunakan dalam keadaan terdesak, apakah ingin bertahan hidup atau mati. Begitulah sakralnya silek tuo Kinari.

Pernah suatu hari Mak Siren kedatangan tamu dari Belanda. Jadi orang Belanda ini ingin mempelajari silek, background mereka ada yang dari karate, taekwondo, kungfu dan silek lintau. Dan mereka melakukan tantangan terlebih dahulu. Mereka mengeluarkan kemampuan mereka dan meletakkan kamera di empat sudut untuk merekam pertandingan. Tanpa diduga pergerakan dari penyerangan Mak Siren tidak bisa terlihat dengan jelas dikamera. Sehingga orang Belanda mengatakan “kenapa yang berbeda dengan yang telah diajarkan”.

Menurut pengakuan dari Mak Siren bahwa yang diajarkan kepada orang Belanda itu adalah mencak/pencak dari silat itu sendiri, bukan silatnya. Mempelajari mencak/pencak silat yang merupakan hal dasar dan bisa dipelajari oleh siapapun termasuk Non Muslim. Tetapi mempelajari silat yang sesungguhnya harus memenuhi syarat berdasarkan kaedah-kaedah atau ketetapan-ketetapan yang telah ditentukan berdasarkan ajaran Al-Qur’an.

Dijelaskan kembali bahwa silek di Kinari ini asal mulanya berasal dari Aceh. Beriring masuk dengan tari Saman. Jadi ada tiga bagian beriringan yaitu Agama, Tari Saman, dan Silat. Sekarang silat sudah tidak ada lagi Aceh, dan  silat lebih berkembang di Sumatera Barat. Begitulah hasil dari beberapa diskusi bersama Mak Siren karena terputus oleh waktu dan hujan rintik juga sudah menunggu sedari tadi hingga tidak bisa dipastikan kapan akan terhenti. Partisipan, Volta, uda Hendra, dan Bapak Jhon Afendi biasa dipanggil Pak Jorong (ayah dari Volta) memutuskan untuk menempuh perjalanan pulang. Setelah bersalaman dengan Mak Siren berserta keluarga dari Mak Siren maka perjalanan pulang segera ditempuh.

Di balik perjalanan pulang menuju Solok, partisipan serta Volta bersama Uda Hendra dan bapak Jhon Afendi singgah ke Wali Nagari. Wali Nagari adalah sebuah jabatan politik untuk memimpin sebuah nagari di Provinsi Sumatera BaratIndonesia. Jabatan Wali Nagari ini setara dengan kepala desa, perbedaannya hanya pada penamaannya saja. Wali Nagari Kinari sangat antusias dan men-support kegiatan dari Komunitas Gubuak Kopi sehingga Wali Nagari memberikan kesempatan kepada seluruh Partisipan dalam kegiatan Komunitas Gubuak Kopi apabila ingin mengapresiasi kesenian tradisional di Kinari, mereka bersedia menampilkan.

Setelah berakhirnya silaturami kepada Wali Nagari Kinari, maka partisipan singgah sebentar ke rumah keluarga Volta untuk mengambil barang-barang yang kami titipkan sementara ketika perjalanan ke rumah gadang dan bertemu guru silek tuo Kinari. Kami siap-siap kembali ke SKB Kota Solok. Melanjutkan perjalanan yang disuguhi oleh pemandangan alam yang indah dengan nuansa kesejukan tersendiri dan kenyamanan yang hakiki dari insan manusia. Melihat Gunung Talang yang menjulang dan tertutup awan, di bawah lereng terdapat bentangan sawah begitu luas membuat ingin kembali kepada tempat yang sama.

Akan kembali dan akan bersilaturahmi ke Kinari lagi, lagi, dan lagi. Sebuah keinginan yang sangat dalam tanpa membuat pertimbangan. Perjalanan yang semakin malam memberikan kami kesempatan singgah ke tempat sate terkenal di Kinari. Menikmati sate bersama ketupat ditemani oleh kerupuk cabe serta kerupuk jangek (kerupuk dari kulit sapi yang sudah dikukus) memberikan kenikmatan tersendiri dalam menikmati makanan tersebut.

Setelah terhenti sejenak maka partisipan melanjutkan perjalanan kembali menuju SKB Kota Solok. SKB Solok adalah salah satu sarana belajar lembaga pemerintahan yang khusus melayani pendidikan luar sekolah (non formal). Seperti yang dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara “Jadikan setiap tempat sebagai sekolah, jadikan setiap orang sebagai guru”. Dan  pepatah lama mengatakan juga “alam takambang menjadi guru”. Alam Takambang Sebagai Sumber Pengetahuan.

Alam Takambang jadikan guru pengertian yang paling pas untuk itu adalah “alam” (sama juga artinya dengan di dalam bahasa Indonesia alam) yang “Takambang” (membentang luas tanpa batas) ini atau alam raya ini dengan segala isinya. “Jadi“ diartikan dijadikan sebagai dan “guru ” ( sama dengan arti bahasa Inonesia ). “ Guru ” maksudnya adalah apa saja yang ada yang dapat kita pelajari atau memberikan pengetahuan kepada kita, atau apa yang dapat kita pelajari padanya. Maka guru disini bermakna luas, berlaku untuk semua baik berupa orang dan alam sekitar di segala tempat dan keadaan. Dengan kata lain maksud guru itu adalah sumber belajar dan atau sumber pengetahuan. Sebagai sumber belajar dan pengetahuan sangat baik untuk di sekolah maupun di luar persekolahan. Anak dapat belajar dirumah dengan buku dan internet, anak dapat belajar dengan binatang piaraan dan tanaman dikebun atau air yang mengalir di sungai.[1]

Begitulah untuk sebuah pengetahuan harus dicari dan semua dalam kehidupan menjadi pembelajaran yang begitu berharga, tidak memilih-milih tetapi harus berhati-hati juga. Diakhiri dengan kalimat manis dari Frank Ocean “Kita bertemu untuk sebuah alasan. Entah Sebagai anugerah, entah sebagai pelajaran.”


[1] Alam Takambang Jadikan Guru diakses dari blog Jalius HR (https://jalius12.wordpress.com/2017/10/10/alam-takambang-jadi-guru/)

Dewi Safrila Darmayanti (Pekanbaru, 1992) biasa disapa Dewi. Sebelumnya ia pernah menempuh studi Sendratasik di Universitas Islam Riau, dan melanjutkan studi di Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang (2015-2017). Sejak 2012, ia aktif terlibat sebagai penari bersama kelompok-kelompok tari di Pekanbaru. Selain itu ia juga berkarya sebagai koreografer. Beberapa karya tarinya baru-baru ini antara lain: Karya “Z(AMAN)” (2017) dipresentasikan bersama Otaku Dance Company di Taman Budaya Riau. Karya “Edanis” (2018) dipresentasikan dalam agenda perayaan Hari Tari Dunia, di Laman Bujang Mat Syam dan Taman Budaya Riau. Karya “5411929” (2018) bersama Otaku Dance Company, pernah dipresetasikan di Laan Bujang Mat Syam, Pekanbaru. Ia juga merupakan partisipan untuk proyek seni media Lapuak-lapuak Dikajangi #2 - Silek, yang digagas oleh Komunitas Gubuak Kopi di Solok, 2018. Saat ini Dewi aktif berkesenian bersama Otaku Dance Company dan mengelola kelompok musik Blacan Aromatic di Pekanbaru.

One comment

  1. Rumah gadang dengan ukiran orange dan juga rangkiang itu dibangun oleh Kakek buyut saya, rindu rasanya untuk pulang ke kinari bersama keluarga besar..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.